Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tilapia

Pemberian nama produk baru menentukan cepat tidaknya pemasaran produk itu ke konsumen. Nama yang tepat dan keren suatu produk, bisa menaikkan permintaan. Nama bisa berarti sangat banyak.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI ikan baru. Ini baru ikan. Dan semua grosir memesan tilapia -- begitulah namanya. Aneh? Agak berbau komersial memang, dan mengingatkan orang pada tequila. Dalam satu hal, ikan tilapia memang mirip tequila: membuat orang ketagihan. Bentuknya mirip mujair. Ada yang kulitnya berwarna merah seperti ikan emas, ada yang hitam -- ya, seperti mujair itulah. Kalau ditilik garis keturunannya, spesies ini merupakan hasil persilangan antara Oreochromis nolocticus dan Oreochromis aureus. Di samping susah untuk diucapkan, nama itu juga sangat panjang. Lalu apa akal? Ikan itu pun dikomersialkan dengan nama St. Peter -- Petrus Si Nelayan, murid Yesus. Tapi FDA (Food and Drug Administration) melarang penamaan St. Peter. Nama-nama yang bersangkut-paut dengan Injil tak boleh digunakan untuk kepentingan komersial. Mungkin juga FDA pernah dengar gosip tentang Presiden Coca-Cola yang beraudensi dengan Paus Yohanes Paulus II. "Boleh percaya boleh tidak, konon dalam audensi itu, sang Presiden minta agar kata "Amin" selalu diikuti dengan "Coca-Cola". Kembali pada soal si ikan gurih, entah bagaimana akhirnya ia diberi nama tilapia. Ikan yang semula dibudidayakan di kibbutz-kibbutz Israel itu sekarang mulai menemukan pula tambaknya di daerah-daerah panas Amerika Serikat. Dari Taiwan pun tilapia didatangkan, untuk memenuhi permintaan konsumen di Amerika Serikat. Dikabarkan bahwa tambak-tambak akuakultur di Hawaii pun sedang dipersiapkan untuk memproduksi lebih banyak tilapia. Barangkali kalau mujair diberi nama yang sexy, ia pun bukan tak mungkin akan menemukan pasar yang cukup gemuk di Amerika Serikat. Maklum, kecenderungan untuk memilih makanan yang berkadar lemak rendah menyebabkan lebih banyak konsumen Amerika mencari makanan dari hasil laut. Mungkin Anda ingat nasib ikan lele. Kecuali ikan itu disajikan sebagai "pecel lele", agaknya Anda takkan pernah ingin makan ikan yang kulitnya hitam dan bersungut panjang ini. Namun, ketika namanya diberi embel-embel "dumbo", serta-merta popularitas lele meningkat. Di restoran-restoran ia bahkan dikamuflase dengan nama ikan Bangkok. Di Amerika pun sama saja. Ketik namanya hanya catfish, ikan berkumis ini hanya laku di kalangan orang Asia belaka. Tetapi, seorang pengusaha ikan di Las Vegas lalu memberi nama gagah: Fillet de Goujon Rose (mohon diucapkan dengan lafal Prancis yang canggih) buat lele. Ikan ini tidak pernah dipasarkan dalam bentuk aslinya, karena khawatir penampilannya kurang cocok di atas piring porselin Wedgewood. Para penjaja mengambil daging di kedua sisi durinya saja. Maka, lain kali, bila Anda bersantap dengan relasi bisnis Anda di Caesars Palace, Las Vegas, ingatlah bahwa Fillet de Goujon Rose yang Anda santap itu tak lain adalah lele belaka. Belut pun menjadi bernilai-tambah ketika ia bernama unagi -- makanan favorit orang Jepang. Padahal, di Belanda dengan nama Gerookte Paling, ia hanya disukai orang-orang yang tidak masuk kelompok elite. Maklum, baunya memang membuat orang rada minderwaardig. Jadi, tidak benar juga ungkapan what is in a name. Anda tentu belum lupa bahwa biro iklan dibayar mahal untuk menciptakan nama bagi produk-produk baru. Dalam abad globalisasi ekonomi ini, nama bisa berarti sangat banyak. Kayu, misalnya, kebanyakan orang Amerika hanya mengenal jenis oak. Beberapa jenis kayu dari Indonesia kabarnya sulit dipasarkan di Amerika, karena namanya yang aneh-aneh: jelutung, ramin, sengon. Seorang pemasar yang saya jumpai di pameran mebel High Point mengusulkan nama Asian Oak, Java Oak, atau bahkan Tiger Oak, kalau perlu. Kayu karet yang teksturnya halus mirip gading bisa saja dipasarkan dengan nama baru, Ivory Oak. Pemberian nama sebenarnya hanya merupakan satu bagian dari pekerjaan besar memperkenalkan produk baru. Buah kiwi dari Selandia Baru toh tidak dalam semalam menjadi buah eksklusif yang mahal dan digemari kaum elite dunia. Bentuk buahnya tidaklah begitu menarik. Rasanya pun tidak mengalahkan mangga simanalagi. Tapi ketika ia diiris mengikuti penampangnya dan menampilkan warna hijau dan pola warna hitam yang menarik dalam daging buahnya, kiwi tiba-tiba memberikan visual attraction yang menakjubkan. Selandia Baru menganggarkan dana yang cukup besar untuk menampilkan kiwi dalam fruit cockail, fruit jelly, dan resep-resep lainnya yang menonjolkan visual appearance pada iklan-iklannya yang menyebar luas. Dan yang lebih penting, Selandia Baru bisa memasok dunia dengan kiwi, ketika dunia mulai meminta buah eksklusif ini. Kiwi telah menjadi high-priced fruit yang mempunyai niche tersendiri dalam pasar buah dunia. Pengalaman tilapia, Fillet de Goujon Rose, dan kiwi mestinya bisa memecut kita agar pandai-pandai menampilkan mujair dan simanalagi ke pasar dunia. Mutu barang memang sesuatu yang penting, tapi cara menjualkan barang itu adalah suatu hal lain yang tak kurang pentingnya. Iya, kan? Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus