HANYA "perusahaan tuyul" yang tak bisa diaudit -- begitu seloroh tajam Gandhi, Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dan, karena dunia perminyakan itu bukan perusahaan tuyul, maka sudah selayaknya pembukuannya bukan merupakan misteri yang tergembok bagi para akuntan. Gembok itu, Selasa pekan lalu, dibuka dengan penandatanganan naskah Piagam Kerja Sama Pengembangan Standar Akuntansi Perminyakan, antara Pertamina, BPKP, dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). "Pertamina akan bertindak sebagai narasumber yang menyediakan dan menyampaikan informasi yang diperlukan ," ujar A.R. Ramly, Direktur Utama Pertamina, dalam pidato sambutannya. Babak baru bagi para akuntan Indonesia. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan isi piagam itu, IAI akan bertanggung jawab dalam penyusunan standar baru yang bakal dijadikan suplemen dari Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) 1984. Sedangkan BPKP bertindak sebagai pemberi informasi, sekaligus pertimbangan-pertimbangan yang dianggap perlu. "Diharapkan penyusunan itu akan selesai dalam waktu dua tahun," ujar Subekti Ismaun, Ketua IAI, juga Direktur Utama Bapindo. Gagasan piagam itu juga berasal dari IAI, tahun silam, sebagai salah satu keputusan kongresnya di Surabaya. Hampir semua pesertanya, kala itu, sepakat perlunya disusun sebuah prinsip akuntansi perminyakan, agar Pertamina bisa mencapai apa yangdisebut "opini bersih" (Clean Opinion), sesuai dengan prinsip yang masih berlaku. Satu keputusan lainnya yang tak kalah menarik adalah soal koperasi, yang ternyata juga belum memiliki standar akuntasi. Selama ini, memeriksa laporan keuangan Pertamina memang cukup merepotkan bagi para akuntan, karena standar akuntansi yang ada ternyata tak mampu menjamah seluruh kegiatan bisnis BUMN itu. Termasuk dua kegiatan yang merupakan urat nadi Pertamina: akuntansi biaya sumur minyak dan pembelian kapal-kapal tanker secara sewa beli. Laporan keuangan, konon, dibuat hanya berdasarkan negosiasi. Standar yang tengah disusun itu dituJukan untuk menutup kekurangan-kekurangan tersebut. "Kalau perusahaan tuyul memang tak memerlukan standar akuntansi," ujar Gandhi, Ketua BPKP itu. Gara-gara belum ada standar yang baik itulah trilyunan rupiah milik negara kabur cntah ke mana. Bahkan pada 1978, cadangan dcvisa negara melorot tajam sampai tinggal US$ 0,5 milyar dari US$ 1,5 milyar, karena pemerintah harus menebus utang-utang luar negeri Pertamina. Padahal kala itu, harga minyak tengah seru-serunya. "Seharusnya, kenaikan itu dapa melipatgandakan kemampuan pembangunan kita," demikian kata Presiden Soeharto di depan Sidang Umum MPR, saat itu. Mengapa harus melibat IAI untuk membereskan kelemahan itu -- kok tidah BPKP atau Pertamina sendiri yang sebenarnya mampu melakukan? "Karena IAI berada di sudut netral," kat Gandhi. Dengan alasan, kalau pihaknya sendiri yang menangani, bisa-bisa hasilnya hanya akan menguntungkan pemerintah. Kalau diserahkan Pertamma, tentunya bisa sama saja. Jadi, siapa yang memikirkan kepentingan masyarakat? Lebih dari itu, pemerintah agaknya juga mulai memperhitungkan modal masyarakat untuk menyemarakkan industri perminyakannya. Mengingat tak ada satu perundang-undangan pun yang melarang BUMN terkaya itu mengeluarkan obligasi. "Sampai sekarang memang belum. Tapi, suatu saat, siapa tahu?" ujar Gandhi. Salah satu jaminan untuk memperoleh dana dari masyarakat, jelas, laporan keuangan yang bersih dan mudah dimengerti. Usaha membersihkan diri sebenarnya sudah mulai dilakukan Pertamina sejak tahun 1975. Yaitu dengan menyewa lima konsultan dari negeri seberang, Kuhn Loeb, Lazard Freres, dan SG Warburg, untuk menyiapkan laporan pembiayaan. Sedangkan untuk laporan keuangannya diserahkan kepada Arthur Young dan Price Waterhouse. Hasilnya, pada 1982, tersusun Pedoman Akuntansi Pertamina. "Pedoman itu mungkin masih perlu direvisi, sebagian atau secara keseluruhan," ujar Gandhi. Maklum, pedoman itu ternyata juga tak mampu mengangkat derajat laporan keuangan Pertamina. Bertolak dari pengalaman itulah, agaknya, IAI merasa tak perlu melibat konsultan asing. Dan sejak awal bulan ini, sembilan anggotanya yang tergabung dalam Komite Prinsip Akuntansi sudah mulai mengolah masukan-masukan berupa draft dari Pertamina dan BPKP. "Saran dan masukan dari akuntan lain juga kami harapkan," ujar Subekti, yang mengaku proyeknya kah ini memang luar biasa. Katanya, kalau menyusun standar akuntansi lain, koperasi misalnya, dalam waktu enam bulan sudah beres. Kerangka acuan yang bakal dipakai adalah sistem akuntansi perminyakan Amerika Serikat, yang dianggap Subekti termasuk paling komp!et di dunia. Bayangkan, slstem itu sampai mampu mengatur soal penyusutan deposit minyak, sedangkan sistem yang sudah dijalankan Pertamina, untuk menilai aset yang diserahkan ke anak-anak perusahaan pun belum mampu. Sebelumnya menjadi tanda tanya mengapa proyek itu baru dllaksanakan sekarang. Kata Gandhi, memang diperlukan waktu untuk mengkaji kembali pengalaman-pengalaman di masa lampau, serta pengumpulan data yang memadai dan akurat untuk mempersiapkan diri, plus kesediaan dari pihak Pertamina sendiri. "Sekarang semuanya sudah ada di tangan," ujar Gandhi. Go! Praginanto, laporan Muchsin Lubis (Biro Jakarta) & Budiono Darsono (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini