FESTIVAL film kali ini mencatat juga peristiwa lain, yakni adanya sorotan tajam ke alamat Badan Sensor Film (BSF). Badan ini tampil dengan anggota baru yang terlambat dilantik, Juli dua pekan lalu -- untuk masa bakti dua tahun -- padahal seharusnya April. Sementara itu, kasus film Ketika Musim Semi Tiba, yang direvisi itu, masih hangat. Satu hal lagi, film yang bertahun-tahun ditahan BSF mendadak dilepaskan, seperti Bung Kecil dan Saijah dan Adinda. Tapi kebaikan hati BSF tidak mengubah nasib film celaka itu. "Tidak ada distributor yang mau beli Bung Kecil. Bagaimana orang mau beli kalau film itu sudah rusak berat kena gunting sensor," kata sebuah sumber. Film yang disutradarai Sophan Sophiaan ini tidak kurang dari lima tahun mendekam di BSF. "Dosa" film itu tak lain karena tokohnya merupakan personifikasi Bung Karno. Adapun Saijah dan Adinda dinilai menampilkan kekejaman pribumi yang melebihi kekejaman penjajah Belanda. Seperti dikatakan Thomas Soegito Ketua Pelaksana Harian BSF yang terpilih kembali -- BSF punya pedoman khusus dalam menyensor, seluruhnya berangkat dari SK Menpen Nomor 03A/Kep/Menpen/ 1977. Tetapi banyak orang film yang tak mengerti apa kriteria yang mereka pakai. "Sampai sekarang sudah 14 film saya kerjakan, tetap saya tak tahu kriteria sensor BSF," kata Sophan Sophiaan. Jalan kompromi sering ditempuh antara BSF dan produser untuk menyelamatkan modal tak sedikit yang sudah tertanam itu. Produser kemudian menekan sutradara untuk membuat adegan baru, entah itu revisi atau adegan tambahan. Persoalannya kemudian tergantung sutradara, rela atau tidak. Arifin C. Noer, misalnya, pernah rela membuat adegan sisipan (film MatahariMatahari) tapi pernah juga menolak (film Petualang-Petualang). Sayang, banyak sutradara, juga produser, yang lebih memilih tutup mulut ketimbang angkat bicara soal sensor BSF. Toh, Sophan dan Slamet Rahardjo, dalam wawancara terdahulu dengan TEMPO, pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Arbitrase, satu lembaga yang bertindak sebagai penengah, andai kata terjadi kontradiksi antara BSF dan pihak perfilman. Seorang anggota BSF, Jusuf Ronodipuro, mengatakan, badan seperti itu bisa saja diusulkan kepada Menpen. Tapi dalam wawancara terpisah, Menpen menegaskan, Dewan Arbitrase tidak perlu. Adapun cara kerja BSF -- yang sudah diatur dalam buku pintar BSF -- agaknya tak terlepas dari para anggota BSF sendiri. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen misalnya Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabak, BP7. Dari organisasi kemasyarakatan ada MUI, MAWI, DGI (tidak ada wakil dari Agama Hindu dan Agama Budha), PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Mereka ditunjuk oleh instansinya masing-masing. Dari 38 anggota BSF yang dilantik dua pekan lalu itu hanya ada empat tokoh masyarakat -- ditunjuk Menpen -- yakni Dr. Husein Kartasasmita, Prof. Dr. Conny Semiawan, Prof. Dr. Saparinah Sadli, dan K.H. Abdurrahman Wahid. Tidak ada orang film yang duduk di lembaga ini. "Lho, mereka itu 'kan membuat film, bagaimana bisa menyensor dirinya sendiri," kata Menpen Harmoko, ketika ditanya soal ini. Jabatan Ketua BSF dipegang langsung oleh Dirjen RTF, Drs. Subrata, sementara Ketua Pelaksana Harian BSF masih tetap Thomas Soegito. Jusuf Ronodipuro, yang mewakili Dewan Harian Angkatan 45, mengatakan, pola penyensoran BSF tetap dilakukan seperti dulu, satu film disensor tiga orang. Hanya jika film dinilai kontroversial -- seperti Ketika Musim Semi Tiba baru diadakan sidang pleno. Ada kesan lembaga ini agak tertutup, tapi Jusuf membantah bahwa anggota BSF dinilai kurang berwawasan. Menpen Harmoko juga berkata, "Mereka itu para cendekiawan." Mudah-mudahan memang begitu, agar film yang diloloskan BSF masih bisa dinikmati ceritanya, dan bisa ditangkap pesannya. Film tentu saja bukan sekadar rangkaian gambar. Putu Setia, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini