Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyorot Gelagat Harga

Setelah pengumuman kenaikan harga bbm beberapa pedagang menaikkan harga. harga minyak tanah naik tak terkendali. harga bahan bangunan ikut naik. tarif angkutan naik kecuali bis kota dan kereta api.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-tiba saja Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita muncul di layar kaca. Kehadirannya yang sangat tidak terduga Kamis malam pekan lalu itu -- persis jatuh di hari libur -- cukup memukau para pemirsa. Tapi hanya dalam beberapa detik, mereka sudah tahu ke mana arah pidato Pak Menteri. Ya, ke mana lagi kalau tidak ke harga BBM, yang kenaikannya sudah didengung-dengungkan sejak enam bulan silam. Lantas, bagaimana reaksi penonton? Macam-macam. Pemirsa yang punya mobil -- baik pribadi maupun yang diusahakan langsung tancap gas ke pompa-pompa bensin terdekat. Mereka tahu betul, selepas pengumuman kenaikan harga BBM, pasti pelataran SPBU sesak oleh antre panjang kendaraan roda empat. Biasanya, harga BBM yang baru selalu berlaku keesokan harinya. Tepatnya, mulai pukul 00.00. Padahal, Menteri Ginandjar baru mengumumkan kenaikan tersebut sekitar pukul 22.00. Jadi, masih tersisa dua jam untuk memperoleh BBM dengan harga lama. Sekalipun begitu, tidak semua konsumen mujur. "Iya, ya, saya juga heran, kenapa Pemerintah selalu mengumumkan kenaikan minyak di malam hari," kata Hari, seorang pemilik mobil angkutan kota. Ketika pengumuman ditayangkan, dua mobilnya persis sedang mengangkut penumpang. "Teknik" pengumuman di malam hari itu ramai diperbincangkan keesokan harinya -- misalnya antara sesama penumpang Mikrolet. Apalagi beberapa kernet angkutan dalam kota -- atas persetujuan pak sopir -- langsung mene-rapkan tarif baru, de- ngan tingkat kenaikan yang beragam. Ada yang menaikkan Rp 50. Ada juga yang berani memasang kenaikan Rp 100. "Lo, apa Bapak tidak tahu, bensin kan naik," kata seorang kernet pa-da penumpangnya yang memprotes tarif baru tersebut. "Wah, kalau begitu, barang-barang akan naik juga, dong," timpal seorang ibu, yang tidak sempat menyimak pengumuman Menteri Ginandjar. Ternyata, dugaan ibu itu pas. Tidak sampai 24 jam kemudian, beberapa pedagang langsung menaikkan harga dagangannya. Mi- salkan beras. Di beberapa pasar yang tersebar di kawasan Jabotabek, harga beras naik antara Rp 50 dan Rp 200 per liter. Kenaikan serupa terjadi pula pada gula pasir (naik Rp 50 - Rp 150), cabai merah (naik Rp 500 per kilo), dan ayam potong yang harganya melonjak rata-rata Rp 500 per kilo. Bisa dibayangkan, betapa repotnya ibu-ibu rumah tangga, terutama yang anggaran belanjanya pas-pasan. Malangnya, kenaikan itu dilancarkan pada tanggal tua -- 24 Mei 1990. Lebih dari itu, harga minyak tanah, yang sudah dinyatakan mendapat subsidi, justru melambung paling duluan. Meski kenaikan harganya cuma Rp 25 per liter -- harga baru Rp 190 per liter -- ada yang berani jual Rp 300 per liter. Padahal, sebelumnya pengecer minyak tanah menjual Rp 200 - Rp 225 per liter. Artinya, ada selisih Rp 35 dari harga yang ditetapkan pemerintah (Rp 165). Kalau begini, siapa yang meraup untung? Distributor, warung, atau penjual keliling? Yang pasti, melihat gelagat seperti itu, Gubernur DKI langsung mengambil langkah pengamanan. Semua jajarannya mulai dari walikota hingga ke tingkat kelurahan, diinstruksikan untuk mengamankan minyak tanah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 205 per liter. Kok Rp 205? Begini perhitungannya. Harga minyak tanah eks instalasi Pertamina ditetapkan Rp 172,73 per liter. Angka itu ditambah dengan PPN 10% (Rp 17,27), keuntungan dari biaya angkutan PT Pengangkutan Minyak Tanah Rp 9, plus keuntungan untuk pangkalan Rp 6. Nah, dengan patokan itulah diharapkan, harga minyak tanah tidak melonjak-lonjak. Adapun HPS semen, kendati baru saja dinaikkan, ikut meloncat. Menurut Menmud Perindustrian Tungky Ariwibowo, HPS semen (sebenarnya) tak perlu dinaikkan lagi. Sebab, dalam harga penyesuaian terakhir yang dilakukan 10 Maret lalu, kenaikan harga BBM sudah diperhitungkan. Tapi di toko-toko bahan bangunan, harga semen rata-rata antara Rp 5.100 dan Rp 5.250 per sak. Padahal, HET-nya cuma Rp 5.000. Itu pun masih bisa lebih tinggi. "Melihat gelagatnya, sih, saya yakin, dua atau tiga minggu lagi harga semen akan menjadi Rp 5.500, atau mungkin juga Rp 5.700 per sak," begitu "ramalan cuaca" seorang pedagang. Tak jelas apa gelagat yang dimaksudkannya, tapi indikasi ke arah itu, memang ada. Paling tidak, Pj. Ketua Umum Kadin, Ir. Aburizal Bakrie, mengimbau para pengusaha agar, kalaupun ada kenaikan harga, hendaknya tingkat kenaikan itu realistis. "Janganlah mendorong berkembangnya iklim psi- kologis akibat kenaikan BBM, yang akan menimbulkan ketidakpastian," demikian Ical, dalam keterangan persnya pekan lalu. Sekjen Departemen Perhubungan, Dr. Djunaedi Hadisumarto, tak menyembunyikan kesibukan stafnya, yang sedang menghitung-hitung tarif angkutan baru. Direktur Pelni, Constantinus Kristanto, memang menunggu-nunggu tarif baru itu untuk tujuh kapal penumpang milik Pelni. Dikatakannya, kebutuhan solar triwulan I 1990 sudah mencapai Rp 6 milyar. "Apalagi sekarang harga BBM naik. Kami ingin tarif angkutan laut pun dinaikkan," ujar Kris, yang tak lupa menambahkan bahwa Pelni sama sekali tak memperoleh subsidi. Namun, penting untuk diingat bahwa tarif angkutan bis PPD dan NKA tidak boleh naik. "Kalau dinaikkan, harga-harga barang ikut naik. Dan ini yang tidak kami kehendaki . . . " kata Muharsono, Ketua Komisi APBN dari Fraksi ABRI. Lagi pula, sebelum harga BBM naik, PPD, PJKA, dan PLN sudah lebih dahulu menaikkan tarifnya. Tapi, bukan hanya Deperhub yang sedang menghitung-hitung. Para pengusaha, yang "intim" dengan bahan bakar pun, kini giat mengutak-atik kalkulator. Ketua INSA (Asosiasi Pelayaran Indonesia) Hartoto Hardikusumo menyatakan, dengan naiknya BBM, biaya produksi pasti membengkak. Namun, perusahaan pe- layaran tidak bisa menaikkan tarif angkutan seenaknya. "Uang tambang itu ditentukan oleh pasaran, bukan oleh pengusaha kapal," katanya. Lain di laut, lain pula di udara. Sektor pelayaran masih harus memperhitungkan kenaikan tarif yang "layak" -- dengan memperhitungkan faktor pasar -- tetapi perusahaan penerbangan justru sebaliknya. Mereka bergantung kepada kebijaksanaan Pemerintah. Ini berarti, perusahaan penerbangan tidak boleh menaikkan tarif semaunya sendiri. Achmad Soebiyanto, Direktur Keuangan Garuda, menegaskan bahwa bahan bakar avtur menduduki posisi 20% dari total biaya operasi. Tapi, kalau toh pemerintah tidak menaikkan tarif penerbangan, "Tidak jadi soal, Sebab, Garuda akan tetap untung," katanya, ringan. Maklum, sudah banyak jalur penerbangan domestik yang dihibahkan Garuda kepada Merpati, hingga BUMN ini lebih banyak mengandalkan jalur penerbangan internasional. Dan jalur internasional memang untung. Jadi, tinggallah Merpati dan Bouraq yang mengais-ngais jalur domestik. Memang, November tahun lalu, tarif penerbangan domestik sudah dinaikkan 20%, tapi buat mereka tarif itu terlalu rendah. Bahkan INACA (Indonesia National Air Carriers Association) pernah menuntut kenaikan tarif 100%. Dan gagal. Pengusaha angkutan darat pun kini sedang harap-harap cemas menanti "fatwa tarif baru". Perusahaan taksi, contohnya. Konon, untuk mereka Organda telah mengajukan kenaikan tarif 30%-50%. "Kalau usul itu dikabulkan, maka inilah kenaikan pertama sejak 1986," kata Poernomo, direktur operasi PT Blue Bird Taxi. Apakah tidak terlalu besar? "Tidak," jawab Poernomo, seraya menjelaskan bahwa angka 30%-50% itu bukan semata-mata dihitung berdasarkan kenaikan BBM. Katanya, sejak 1986, banyak biaya operasi yang sudah naik lebih dahulu. Contohnya suku cadang, di samping PPN taksi sebesar 10%. Tapi, buat PPD dan PLN, tidak ada kejutan. Ginandjar dari awal sudah menegaskan, "Pemerintah tidak akan menaikkan tarif bis kota dan tarif listrik." Ketentuan ini cukup dihayati oleh Direktur PPD, Wiryatmo. Ia sadar, PPD mengutamakan pelayanan pada masyarakat. Dan itu berat. Se- tiap hari, PPD mengonsumsi 18 ribu liter solar. Artinya, dari solar saja, biaya operasi PPD akan membengkak sekitar Rp 810 ribu sehari (setahun Rp 300 juta setahun). Bagaimana PLN? Walaupun porsi BBM dalam biaya produksi listrik mencapai 40%, kenaikan harganya tak terlalu merepotkan PLN. "Kenaikan tarif ini hanya akan menyebabkan keuntungan PLN berkurang," kata Dirut PLN, Ermansyah Jamin. Budi Kusumah, Riza S., dan Muchlis H.J.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus