Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika Indonesia datang hari ini ke pengadilan, besok ia akan pulang dengan kaki patah. Tak ada yang akan menyelamatkannya. Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan. Dengan itu, di atasnya sebuah negeri akan tumbuh sebagai sebuah negeri. Tanpa itu, hanya akan ada kemah-kemah peperangan, sebuah situasi yang digambarkan Hobbes dengan sikap dingin: di sanalah hukum dibuat oleh mereka yang punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Autoritas, non veritas facit legem.
Kini itulah yang sedang terjadi di Indonesia: sebuah negeri yang sedang patah-patah. Humus yang menyuburkan kebersamaan itu begitu tipis dan semakin habis. Hakim-hakim tak bisa dipercaya lagi, apalagi jaksa dan polisi. Para pengacara hanya dianggap sibuk memilih warna dasi dan datang ke mahkamah sebagai makelar, mempersiapkan jual-beli tuntutan dan keputusan.
Orang mulai mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, demokrasi tak menolong. Statemen ini bukan sesuatu yang baru. Ia sudah merupakan cemooh kaum aristokrat dan pendukung oligarki di zaman Yunani kuno. Kata mereka, demos, atau rakyat kebanyakan (yang dalam bahasa Indonesia juga disebut "orang ramai"), memang hanya sejumlah suara riuh ramai. Di abad ke-4 Sebelum Masehi seorang bernama Isocrates telah menulis ketus ke arah para demokrat: "Untuk urusan pribadi, tuan datang kepada mereka yang lebih cerdik pandai untuk mendapatkan nasihat, tapi untuk urusan Negara, tuan mencurigai dan tak menyukai orang yang punya karakter. Malah tuan lebih suka menjalin hubungan dengan tukang pidato yang paling sakit jiwa."
Tukang pidato seperti itu (katanya kini banyak di partai-partai politik dan parlemen) tentulah tak akan bisa diharapkan memperbaiki keadaan. Sebab politikus pun, sekarangdengan mobil baru, rumah baru, dan perjalanan ke luar negeri yang sarat bekal, dan tanpa tahu dari mana mereka mendapatkan semua itusudah dianggap jadi bagian dari autoritas, kekuasaan, bukan veritas, kebenaran.
Tapi apa gerangan "kebenaran"? Apa gerangan "keadilan"? Bagaimana mungkin itu didapat oleh orang ramai? Bagaimana pula itu diperoleh para orator jelek itu? Namun saya kira, di sinilah justru jawaban kenapa demokrasi pentingselama demokrasi berada bersama parrhesia, sebuah kata kuno untuk menggambarkan "kemerdekaan bicara".
Menarik, bahwa kata itu datang dari dunia teater. Euripides di abad ke-4 Sebelum Masehi memperkenalkannya dalam keenam lakon yang ditulisnya. Dalam lakon Perempuan-Perempuan Phoenisia, sang ibu, Iocasta, bertanya kepada anaknya, Polyneises, yang datang dari tanah buangan untuk merebut takhta dari kakaknya: Apa yang paling menyakitkan selama hidup di tanah pengasingan? Jawab Polyneices: "Yang terburuk ini: kemerdekaan bicara tak ada."
Satu segi baru dikemukakan Euripides dalam lakon Ion. Dewa Apollo, yang memerkosa seorang perempuan, tak mengakui anaknya yang lahir dari perbuatan itu. Sang dewa diam. Tapi toh manusia kemudian menyimpulkannya sendiri, ketika orang datang bertanya kepadanya. Jawaban itu memang ternyata dusta, tapi satu proses telah dimulai. Seperti diutarakan Michel Foucault tentang parrhesia dalam Ion, yang terjadi adalah "pencarian tahu dengan cara interogatif", bukan dengan diam menunggu jawab sang dewa dalam bentuk orakel yang biasanya remang-remang. Dengan melalui tanya-jawab, yang gelap pun menjadi terang.
Teater adalah sebuah dunia di mana percaturan tanya dan jawab menjadi alasan hidup. Dari sini suspens tumbuh, dan dari sini gerak tampak. Tapi lebih dari itu, teater adalah sebuah arena, tempat manusia tampil sebagai makhluk yang harus memandang apa yang terbatas dengan sudut pandang yang terbatas. Teater adalah seni tentang perspektif. Tapi pada saat yang sama, dari perspektif yang dibentuk oleh tubuh dan posisinya, ada proses ke arah yang tak terbatas itu.
Teater juga sebuah dunia di mana bahasa menunjukkan sejarahnya yang tak lurus dan riwayatnya yang tak sepenuhnya terang-benderang. Bila bahasa adalah sesuatu yang 100 persen bersih dan transparan, teater akan berhenti. Di sini hidup tak dapat dibayangkan sebagai wujud matematik. Bahasa akan senantiasa gagal, atau separuh gagal, tapi ajaib: manusia tak selamanya harus saling menggembok mulut. Bisu bahkan sesuatu yang seperti titik hitam dalam geometri: di sana, semuanya berhenti.
Maka yang penting bukanlah jaminan akan datang solusi, bukan pula garansi bahwa akan terbit kebenaran. Yang penting adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adildengan sikap ingin tahu, ragu, juga gigih. Itu sebabnya mahkamah yudikatif lahir. Ada pendakwa, ada pembela, ada hakim. Ketika hakim jadi bisu karena disuap, parrhesia hilang.
Dengan demikian, memang kebenaran harus dilihat sebagai suatu yang hendak dicapai bukan dalam laboratorium. Mengutip Foucault di sini menjadi relevan: ia membandingkan parrhesia dengan pengertian yang datang kemudian, ketika modernitas mulai, yakni tentang evidence. Bagi pengertian ala Descartes itu, cocoknya keyakinan dengan kebenaran didapat dalam satu pengalaman dalam pikiran kita tentang evidence. Bagi orang Yunani seperti dalam teater Euripides, kecocokan itu tidak di sana, tapi dalam percakapan, dalam parrhesia.
Di situlah demokrasi jadi penting. Sebuah republik bukanlah sebuah ruang steril. Maka apa boleh buat, yang berbicara tak hanya para pakar dengan rumus, tapi orang biasadengan kesalahan-kesalahannya, dengan nafsunya, dengan ketakutannya. Kita hidup bersama mereka, dalam dunia mereka.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo