Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pria berbaju biru itu bagaikan sedang mogok bicara. "Sir, are you from Maybank?" Tak ada jawaban. Keduanya malah bergegas menghindar. Hampir pukul 14.00 waktu itu, Kamis pekan lalu?tenggat memasukkan penawaran saham Bank Permata ke Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Tiga investor calon pembeli Bank Permata sudah datang, mengusung lima sampai enam kardus berisi dokumen. Label nama di tiap kardus menunjukkan: konsorsium Standard Chartered dan Astra International, Panin, dan Commerce.
Kedua pria yang membawa dua koper besar itu ternyata dari konsorsium Maybank dan Jamsostek. Artinya, tinggal bank dari Singapura, United Overseas Bank of Singapore (UOB) Ltd., yang belum muncul. Belakangan, bank terbesar Negeri Singa itu mundur dari bursa perebutan 51 persen saham pemerintah di Bank Permata. Juru bicara UOB, Vivian Song Koon Yin, menolak menjawab pertanyaan Tempo seputar pembatalan itu.
Investor lain juga tak sudi bicara. Doni Donosepoetro dari Standard Chartered, usai menyerahkan penawaran, memilih diam. Kompetisi ketat memang baru dimulai. Mereka tak ingin strateginya tercium investor lain. Itu sebabnya amplop penawaran dimasukkan di menit-menit terakhir. Tim independen yang dipimpin Pradjoto segera memelototi dokumen-dokumen itu. Hasil penilaian mereka dan PPA, yang dilakukan terpisah, diserahkan kepada Menteri Keuangan Boediono, Jumat pagi pekan lalu.
Sejak ditawarkan, saham Bank Permata diincar banyak investor. Selain karena Permata merupakan bank eks pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terakhir yang dijual pemerintah, kinerja bank ini belakangan juga makin kemilau. Per September 2004, bank itu mencatat laba bersih Rp 488,78 miliar, naik lebih dari dua kali dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan terjadi karena selisih bunga bersih (net interest margin) membaik dari 4,0 persen menjadi 5,7 persen. Hal itu juga karena penyaluran kredit (loan to deposit ratio) Permata meningkat cukup signifikan, dari 40,7 persen menjadi 52 persen.
Tingkat kredit seret (non-performing loan) Permata juga jauh di bawah yang disyaratkan Bank Indonesia. Pendek kata, kinerja Permata sekemilau logonya. Tak mengherankan jika investor yang berniat membeli Permata lumayan banyak. Lima penawar tersebut disaring dari 10 penawar. Yang gugur di tahap awal antara lain Bank Mandiri dan Bank BRI.
Setelah rapat seharian, Jumat petang Menteri Keuangan Boediono menetapkan bahwa penawar yang mendapat prioritas (preferred bidder) adalah konsorsium Standard Chartered dan Astra International. Keputusan ini didasarkan pada empat kriteria: perjanjian jual-beli, rencana bisnis, harga penawaran, dan kelengkapan administrasi. Wakil Direktur Utama PPA, Raden Pardede, menambahkan bahwa dua kriteria yang mendapat porsi paling tinggi adalah harga penawaran dan perjanjian jual-beli. Ini membuat nilai konsorsium gabungan bank dan perusahaan distribusi otomotif ini bagus.
Standard Chartered?biasa disebut Stanchart?dan Astra menawar dengan harga paling tinggi, 2,73 kali nilai buku 2004 atau 3,18 kali nilai buku Bank Permata pada 2003. Nilainya sekitar Rp 2,77 triliun. Boediono mengatakan itu adalah harga terbaik dan di atas rata-rata harga penjualan saham perbankan nasional, regional, bahkan global (lihat tabel). Dengan harga penawaran tinggi, pemerintah bisa dengan cepat memutuskan konsorsium ini sebagai penawar yang diprioritaskan.
Raden membandingkan ketika Stanchart menawar Bank Central Asia. Ketika itu mereka mengajukan harga lebih tinggi dibandingkan dengan Farallon. Tapi, dalam perjanjian jual-beli, mereka mengajukan banyak permintaan yang tak mungkin dipenuhi pemerintah. Akhirnya mereka kalah, dan BCA jatuh ke Farallon. "Kali ini mereka memenuhi keduanya, harga tinggi dan tak menuntut aneh-aneh," katanya. Secara keseluruhan, kata Raden, semua investor sudah menaikkan penawarannya dibandingkan dengan pada seleksi tahap pertama.
Anggota tim independen, ekonom Chatib Basri, mengatakan keputusan Menteri Keuangan itu tidak berbeda dengan penilaian tim independen dan PPA. "Hasilnya konsisten satu sama lain, meskipun penilaiannya terpisah," katanya. Konsorsium Stanchart dan Astra International dinilai lebih tinggi karena menyepakati banyak persyaratan yang diajukan pemerintah. Misalnya soal komposisi saham, wakil pemerintah, dan bersedia tidak menjual saham itu minimal tiga tahun. Mereka memang tak menyebut angka persisnya, tapi setuju berapa lama pun yang diminta pemerintah.
Dalam rencana bisnisnya juga disebutkan, mereka tidak akan menggabungkan Bank Permata dan tidak mengganti manajemen. Mereka berjanji akan memberikan komitmen kepada perusahaan lokal dan akan berfokus pada perusahaan berskala menengah dan kecil. "Pemahaman mereka tentang Bank Permata juga bagus," kata Chatib.
Analis perbankan dari BNI Sekuritas, Fendy Susiyanto, mengatakan sangat jelas bahwa pemerintah menjadikan harga sebagai faktor utama penilaian. Pemerintah terdesak menambal bolong APBN. Perusahaan Pengelola Aset dibebani menyetor Rp 2,8 triliun ke kas APBN untuk menutup defisit. Dari dividen sejumlah perusahaan negara, PPA baru mendapat Rp 250 miliar. Perusahaan itu setidaknya harus mengais Rp 2,55 triliun dari penjualan saham Permata. "Standard Chartered berani mengajukan harga tinggi dan ini klop dengan target pemerintah," kata Fendi.
Namun, Fendi mempertanyakan kemampuan Astra menyediakan dana pembelian. Sebelumnya, perusahaan otomotif ini menyatakan hanya menyiapkan duit kontan Rp 1 triliun. Kini, dengan harga penawaran tersebut, Astra harus menambah bagiannya sekitar Rp 380 miliar. "Apakah tidak mengganggu aliran kas Astra?" ia bertanya. Keraguan Fendi dibantah juru bicara Astra, Aminuddin. Dia mengatakan, dengan laba bersih sampai semester I 2004 Rp 2,6 triliun dan utang yang tinggal US$ 125 juta, tambahan dana pembelian itu tak akan mengganggu arus kas Astra.
Sebelum berhasil membeli Permata, Stanchart sudah dua kali gagal menguasai bank di Indonesia. Pada 1999, Bank Bali, yang nyaris di tangan, gagal dikuasai pada detik-detik terakhir. Kasus penjualan Bank Bali ini kemudian menyeret sejumlah petinggi BPPN, seperti Pande Lubis, ke bui. Bahkan Gubernur Bank Indonesia ketika itu, Syahril Sabirin, sempat divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syahril akhirnya dibebaskan di pengadilan tinggi, dan keputusan itu dikuatkan Mahkamah Agung akhir September lalu. Bank Bali inilah yang kemudian menjelma menjadi Bank Permata setelah merger dengan sejumlah bank lain yang dikuasai pemerintah.
Pada 2002, Stanchart mencoba membidik BCA. Pada saat itu pemerintah hendak menjual 51 persen sahamnya di BCA. Namun, Stanchart kembali gagal dan dikalahkan konsorsium Farallon-Djarum. Kali ini, setelah lima tahun, bidikan Stanchart tak meleset lagi. Fendi mengharapkan Stanchart benar-benar membawa teknologi seperti yang selama ini mereka dengungkan. Sedangkan Astra bisa membangun bisnis yang saling menguntungkan dengan Bank Permata. "Tapi bukan konglomerasinya. Itu tidak diharapkan," katanya. Astra sendiri sebelumnya pernah memiliki bank, yakni Bank Universal, yang kemudian diambil alih pemerintah dan digabung dalam Bank Permata. Jadi, bagi Astra, pembelian ini tak ubahnya merangkul anak yang sempat hilang.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo