INDONESIA tergolong jago dalam menabur pesan untuk khalayak. "Oleh dunia internasional, kita dinyatakan paling berhasil dan berpengalaman dalam social marketing," kata Nuradi, pemimpin biro iklan Intervista. Pernyataan tokoh periklanan Indonesia ini cukup mengejutkan sebaian besar peserta Seminar Periklanan Indonesia II, yang diselenggarakan majalah TEMPO, pekan lampau. Tapi social marketing, promosi yang juga bersifat penyuluhan, itu bukannya tak menemukan rintangan selama ini. Langkanya media dan rendahnya jangkauan serta pengaruhnya terhadap masyarakat muncul sebagai hambatan. Padahal, pesan-pesan seperti ORT (Oral Rehydration Therapy) penanggulangan serangan diare secara darurat, ataupun manfaat air susu ibu dan masalah gizi, teramat penting bagi kesehatan anak-anak. Kini 16% penduduk Indonesia adalah anakanak di bawah usia lima tahun. Walaupun social marketing seperti yang dilakukan Intervista ini mendapat pujian dari Orsanisasi Kesehatan Dunia (WHO), anggaran yang dikerahkan untuk ltu sebetulnya sangat mlnim. Tahun lampau, misalnya, untuk kampanye jenis ini - yang dikategorikan sebagai Iklan pemermtah - hanya disediakan biaya Rp 3 milyar. Itu, menurut Nuradi, cuma 1,7% dari omset periklanan Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp 176 milyar pada tahun yang sama. "Untuk kampanye KB hanya disediakan Rp 300 juta," kata lulusan Universitas Harvard, AS, yang pernah mempelajari periklanan di Prancis dan Inggris itu, "angka ini sangat kecil dibandingkan dengan biaya promosi yang disediakan pabrik rokok ataupun minuman ringan." Seminar periklanan ini adalah forum kedua yang diselenggarakan TEMPO. Yang pertama diadakan pada 1972. Dihadiri sekitar 50 peserta praktisi periklanan, penerbitan pers, ilmuwan, wakil PWI, SPS, YLK, dan Departemen Penerangan - seminar dua hari pekan silam itu diadakan di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta. Forum ini berpendapat, untuk menghadapi tantangan masa depan, perlu dirumuskan posisi periklanan Indonesia masa kini. Struktur dan kebijaksanaan pokok periklanan dipandang perlu dibicarakan terlebih dulu, karena ia, kendati hal yang sekunder, sebenarnya subordinated terhadap struktur yang ada. Dirjen PPG Deppen, Sukarno S.H. menyatakan kepada para peserta bahwa kebijaksanaan pemerintah untuk periklanan tetap meneruskan yang sudah digariskan selama ini. Perusahaan periklanan, yang kini diakui sebagai "keluarga pers", dalam Dewan Pers yang dilantik Mei lalu menempatkan seorang wakilnya. Tapi hingga kini tampak tak ada persyaratan elas yang harus dipenuhi untuk bergerak di bidang ini. "Sekarang, paling tidak terdapat 150 sampai 200 perusahaan periklanan" kata Kenneth T. Sudarto dari Matari Advertising. Selain itu, juga ada belasan perusahaan periklanan multinasional dan transnasional yang beroperasi di sini. Padahal, jumlah anggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) konon belum sampai 40. Berbicara sebagai wakil media, Jakob Oetama, pemimpin umum dan pemimpin redaksi Kompas, mengingatkan peserta bahwa dalam masa ekonomi surut sekarang yang harus disadari adalah kenyataan tentang jumlah pemasang iklan yang terbatas dan tertentu saja. "Mereka ini adalah orang yang punya disiplin kuat dalam pemikiran ekonomi," kata Jakob. Karena itu, peningkatan jumlah biro iklan di masa surut seperti sekarang, katanya, sangat mungkin menimbulkan masalah dalam ketaatan terhadap "aturan main". Walau Jakob menyebut dalam enam bulan pertama 1984 terlihat penurunan dalam periklanan, salah satu kertas kerja task force PPPI, Agustus lalu menyajikan angka-angka peningkatan. Omset yang pada 1978 hanya Rp 86 milyar melonjak menjadi Rp 176 milyar pada tahun 1983. Diperkirakan angka tersebut, tahun ini, akan jadi Rp 179,5 milyar. Di Indonesia kini terdapat 590 stasiun pemancar radio siaran swasta niaga dan 267 penerbitan pers. "Kini", kata Ken Sudarto, "trend persaingan begitu mantap, hingga diperkirakan akan mengubah wajah industri periklanan modern Indonesia pada tahun 80-an ini." Di arena persaingan itu sekarang muncul pula pendatang baru yang langsung sudah punya captive client, yaitu anggota kelompok perusahaannya sendiri dan relasirelasi dekat "Kita harus mengubah diri dan memingkatkan pelayanan,' kata Sudarto tentang strategi untuk bersaing. Karena itu pula seminar ini mehhat pentingnya memperbaiki hubunan biro iklan dengan pengiklan, danmengharapkan kesempatan lebih besar bagi biro itu untuk terlibat langsung dalam menyusun siasat pemasaran bersama kliennya. Pemimpin PT Multi Bintang, Tanri Abeng, juga berpendapat seperti itu. "Agency yang profesional," katanya, "harus bisa berperan sebagal pengatur strategi pemasaran." Tapi beberapa masalah lain tampaknya harus diselesaikan terlebih dulu. Tolok ukur dalam membicarakan masalah periklanan, menurut forum ini, belumlah jelas. Ia timbul karena kekeliruan informasi, tapi berakibat tidak mendukung pertumbuhan industri periklanan. Juga dilihat pentingnya kerja sama antara berbagal instansi, terutama untuk iklan pelayanan sosial. Partisipasi masyarakat - yang bercorak paternalistis perlu digairahkan disertai rasa tanggung jawab, lewat kelompok yang dapat jadi panutan. Untuk memasarkan produk dalam negeri, misalnya, menurut Menteri Muda UPPPDN, Ginandjar Kartasasmita, "Kampanyenya hendaknya dapat mengubah sikap masyarakat dan menyentuh hati nurani." Forum ini sepakat segera akan membentuk badan yang mewadahi aspirasi dan upaya iklan layanan masyarakat, agar lebih terarah dan kongkret. Badan ini akan menghimpun unsur biro iklan, pengiklan, media dan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini