Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Bergandengan Tangan di Monas

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS siang pekan lalu, Dewi Motik Pramono berdiri berjajar dengan Muchtar Pakpahan di depan Istana Negara. Sama-sama berkeringat, seiring dalam aksi unjuk rasa, bergantian meneriakkan pidato. Kelihatan sependeritaan. Rupanya, slogan para politikus ?tak ada musuh yang abadi, yang ada kepentingan bersama? juga berlaku di bidang ekonomi. Dewi, si pengusaha garmen, punya kebutuhan sama dengan Muchtar, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI): menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif listrik, dan tarif telepon secara berbarengan. Setiap kelompok membawa sekondannya. Ada pengusaha Haryadi Sukamdani, Poppy Dharsono, dan puluhan pengusaha lainnya, yang berdampingan dengan puluhan organisasi buruh dan mahasiswa seperti Front Nasional Buruh Indonesia (FNBI) dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Peristiwa langka itu tak terjadi begitu saja. Sejak pengumuman kenaikan harga, sudah empat kali kelompok yang biasanya seperti minyak dan air itu bertemu. Rabu pekan lalu, pertemuan merancang aksi unjuk rasa diadakan di Ruang Andrawina, Sahid Jaya Hotel, Jakarta. Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan salah satu pemilik Sahid, bertindak sebagai tuan rumah. Bersama Djimanto dari industri sepatu, mereka berkumpul dengan Muchtar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan wakil dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Reformasi. (Tentu tak semua wakil buruh setuju dengan upaya rekonsiliasi ini. Sjukur Sarto, Sekretaris Jenderal DPP Konfederasi SPSI, salah satu yang tak mau datang. ?Kami independen. Tidak mungkin serikat pekerja mau diperintah pengusaha,? ujarnya.) Bagaimanapun, rapat pun berlangsung. Semula lancar-lancar saja. Kesepakatan pemilihan lokasi dan waktu unjuk rasa segera terjadi. Tapi, ujar Dita, begitu memasuki soal isu yang akan diangkat dalam demonstrasi itu, situasi mulai memanas. Masing-masing mengutamakan kepentingannya sendiri. Kelompok pekerja minta tak cuma soal harga yang diangkat, tapi juga masalah pemberian release and discharge (R & D) kepada pengutang kakap dan divestasi Indosat, yang jelas ditolak para pengusaha. ?Saya sempat takut, jangan-jangan kita enggak jadi turun ke jalan,? kata Dita. Akhirnya, kompromi bisa diambil. Isu utama yang diangkat tetap soal kenaikan harga, tapi para demonstran bebas mengemukakan aspirasinya yang lain. Itu bukan pertemuan pertama. Sebelumnya, mereka telah tiga kali bertemu. Adalah Rekso Agung Herman, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, yang menjodohkannya. Rekso menggagas pertemuan tiga pihak ini setelah DPR gagal menyelesaikan pembahasan dua rancangan undang-undang (RUU), masing-masing RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK), pada Oktober lalu. Dua kali Rekso hadir dalam pertemuan pengusaha dan pekerja untuk membahas kedua RUU tersebut. ?Kita intensif membahas dua RUU itu,? kata Suparwanto, Ketua Apindo, kepada Sapto Pradityo dari Tempo News Room. Dan kalau kini mereka berdemo bersama, itu hanyalah tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tapi tak semua organisasi buruh bersedia bergandeng tangan dengan pengusaha. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sama-sama ogah datang. ?Kami tak mau datang karena tak ingin dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk memperjuangkan kepentingannya,? ucap Saepul Tavip, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, yang menjadi salah satu anggota KSPI. Dia menunjuk sikap para pengusaha yang tak mau lagi turun ke jalan setelah pemerintah memberikan sejumlah stimulus fiskal, padahal dampak stimulus itu ke buruh amat kecil. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konfederasi SPSI Sjukur Sarto tak ingin hadir untuk mencegah rasa curiga di kalangan anggotanya. Sikap Saepul dikritik Dita. Menurut dia, untuk melawan sebuah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, diperlukan gerakan politik. Dan untuk itu, makin besar gerakannya, makin besar peluang untuk berhasil. Katanya, ?Kalau sampai ada tudingan bahwa kita ditunggangi, itu naif.?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus