KETIKA hari baru terang tanah, Kuntari, buruh wanita pelinting
rokok itu sudah berjalan menuju tempatnya bekerja di PT
Nojorono, Semarang. Menjelang 40 tahun, telah 20 tahun ia
mencurahkan tenaganya di pabrik rokok cap Minak Jinggo. Dulu,
setiap hari Kuntari mampu melinting 5.000 batang rokok. Tapi dua
tahun belakangan ini hanya 2.000 batang.
Sebagai buruh borongan, kini Kuntari hanya bisa berpenghasilan
bersih Rp 300 sehari -- sesudah dipotong pelbagai keperluan, dan
jajanan Rp 50. Kemunduran produktivitas kerja seperti yang
menimpa Kuntari sudah diketahui Subiyanto, manajer Nojorono.
Jika empat tahun lalu 2.000 buruh di situ setiap hari rata-rata
menghasilkan 11 juta batang rokok, kini mereka mencapai 9,5 juta
batang. Untuk mengurangi kejenuhan dan kelelahan, yang diduga
bisa menurunkan produktivitas, Subiyanto sedikit melonggarkan
disiplin kerja. Juga, "kalau mereka capek, boleh pulang lebih
awal," katanya kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO.
Naikkah produktivitas buruh pelinting kalau diberi sedikit
kompensasi? Akhir tahun lalu, selama dua bulan Pusat
Produktivitas Nasional (PPN), Dep. Tenaga Kerja, telah melakukan
percobaan mengenai kemungkinan itu di 26 perusahaan, termasuk
pabrik rokok Gentong Gotri, dan Nojorono di Semarang. Pemberian
penyuluhan mengenai hak-hak buruh, penambahan gizi, dan sedikit
uang perangsang, ternyata punya akibat lain.
Sesudah diberi tambahan teh manis pada siang hari, dan uang Rp
100, buruh Gentong Gotri, misalnya, malah memerlukan waktu 0,092
menit untuk melinting sebatang rokok. Sebelum diberi kompensasi
hanya perlu waktu 0,090 menit. Tapi buruh Nojorono sesudah
diberi kompensasi memerlukan waktu 0,111 menit untuk melinting
sebatang rokok, sebelumnya 0,115 menit. Suatu perbedaan yang tak
berarti banyak bagi perusahaan.
Apa kesimpulannya? "Ada hubungan antara produktivitas dengan
upah," kata Ir. N.P. Lumban Toruan, kepala bidang Pengembangan
Produktivitas Industri dan jasa-jasa PPN. Untuk mencapai tingkat
produktivitas maksimal, menurut Toruan, buruh pelinting itu
sebaiknya digaji berdasarkan jam produksi -- bukan borongan
seperti yang berlaku sekarang. Bertambahnya jam produksi
dianggapnya belum tentu akan menaikkan produktivitas. Untuk
buruh rokok yang kerja borongan, "kini justru diperlukan
pengurangan waktu produksi," katanya.
Anggapan itu memang selaras dengan kemginan sebagian besar buruh
Gentong Gotri, yang bekerja rata-rata 11 jam sehari, sejak pukul
06.00 hingga 18.00. Menurut mereka, sebagai buruh borongan
mereka merasa terlalu ngotot mencapai terget. "Kalau bisa, saya
ingin pindah sebagai buruh harian, sekalipun upahnya hanya Rp
650," kata Waginah. "Bekerja sebagai buruh borongan seperti
tertekan."
Mungkin ibu lima anak ini benar. Penghasilan borongan yang
diperolehnya Rp 2.000 setiap hari, ternyata tidak cukup
membahagiakannya. Anak-anak, yang sejak pagi buta sudah
ditinggalkannya, dan dijumpainya kembali lepas magrib, tampaknya
lebih memerlukan perhatian. Jangan lupa: sebagian besar buruh
pelinting itu adalah wanita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini