TAK kurang dari Presiden Soeharto yang pekan lalu mengeluarkan
instruksi kepada para menteri Ekuin, gubernur BI, dan beberapa
pejabat tinggi lain, agar melanjutkan keputusan kabinet untuk
pentahapan kembali (rephasin.) sejumlah proyek di Indonesia.
Dikeluarkan pada 14 Mei, Instruksi Presiden bernomor 12 itu
merupakan penegasan terhadap pengumuman Menko Ekuin dan
Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana, 6 Mei lalu (TEMPO 21 Mei).
Instruksi itu terutama menyangkut penjadwalan kembali empat
proyek besar bernilai kontrak US$ 5,05 milyar: pusat aromatik
Plaju yang US$ 1,5 milyar, kilang minyak Musi dengan US$ 1,35
milyar, proyek alumina Bintan US$ 600 juta, dan proyek olefin di
Lhok Seumawe dengan US$ 1,6 milyar. Instruksi Presiden itu
dengan sendirinya melenyapkan keragu-raguan yang agaknya masih
timbul, baik di kalangan kontraktor asing maupun beberapa
pejabat yang dekat dengan proyek tadi.
Secara jelas dan sistematis, Presiden menuraikan tahap-tahap
penjadwalan kembali itu. Tentang proyek terpadu aromatik,
Presiden menginstruksikan agar pada tahap pertama dilaksanakan
pembangunan bagian dari proyek yang menghasilkan prified
terephtalic acid (PTA), dengan memperkecil kapasitasnya dari
250.000 ton menjadi 150.000 ton setahun. Kegiatan engineering,
sesuai kapasitas yang diciutkan, diteruskan. Kontraktor utama
proyek aromatik itu adalah Thyssen Rheinsthal Technik (Jerman
Barat), dan M.W. Kellogg (AS).
Adapun proyek kilang Musi, yang baru Oktober lalu disetujui
dengan empat swasta Jepang, juga akan melanjutkan apa yang
disebut pembangunan dari bagian front end engineering, yang
hasilnya merupakan persiapan untuk pembangunan seluruh proyek
kelak. Sedang pembangunan alumina Bintan untuk sementara
ditunda. Demikian pula proyek olefin yang rencananya akan
menghasilkan ethane dan ethylene. Bagian lain dari proyek
olefin, yang antara lain menghasilkan chloor alkali,
penyelesaiannya, kata Presiden, "diserahkan kepada perusahaan
swasta yang bersangkutan."
Proyek olefin di Aceh itu adalah patungan antara Exxon Chemicals
(45%), Pertamina (40%), dan Tonen Sekiyu Kagaku (15%). Menurut
seorang pejabat dari Tonen Sekiyu, pekerjaan proyek olefin masih
dalam taraf permulaan, "belum lagi diapa-apakan," katanya.
"Pemesanan, dan pengapalan mesin-mesinnya pun belum dilakukan."
Adalah Menteri Pertambangan dan Energi Subroto yang oleh
Presiden dipasrahi tanggung jawab atas pelaksanaan instruksi
itu, "dengan bantuan sepenuhnya dari Dirut Pertamina dan Dirut
Aneka Tambang." Tapi itu belum semua. Karena dalam instruksinya,
Presiden mengatakan masih akan ada lagi proyek yang dijadwalkan
kembali, antara lain di bidang listrik.
Proyek listrik yang belum lagi dimulai pembangunannya, adalah di
Jawa Barat, yang diperkirakan akan menelan US$ 4,9 milyar. Konon
rencana perluasan tambang Ombilin yang cuma US$ 90 juta juga
akan ikut terkena. Demikian pula proyek perluasan tambang Bukit
Asam di Sumatera Selatan yang benilai US$ 1,3 milyar kabarnya
akan diciutkan.
Beberapa proyek lain yang diduga juga akan terkena pentahapan
kembali adalah pabrik kertas di Lhok Seumawe, Aceh, berkapasitas
175.000 ton setahun. Para investornya adalah Georgia Pacific
dari Amcrika (25%), dan PT Alas Helau -- perusahaan swasta
Indonesia (25%), sedang pemerintah sendiri rencananya akan
memiliki saham 50%.
Sebuah proyek tambang nikel di Pulau Gag, Irian Jaya, menurut
koran Asian Wall Street Journal, juga akan ditunda, antara lain
karena harga nikel di pasaran dunia kini amat jatuh.
Disebutkan pula sebuah proyek kertas di Barito, Kalimantan
Selatan, yang rencananya akan menelan US$ 860 juta akan terkena
penundaan. Sebuah konsorsium swasta Prancis, dipimpin perusahaan
Sogee, disebut sebagai investornya, bersama sekelompok pengusaha
Indonesia.
Lis yang akan terkena pentahapan kembali bukan mustahil akan
lebih panjang. Sebab, pemerintah, seperti dikatakan Presiden
Soeharto dalam instruksinya, "perlu mengambil berbagai langkah
untuk pengamanan dan kelancaran perekonomian, serta pembangunan
nasional dalam jangka panjang."
Sebagian besar dari komponen berbagai proyek itu masih harus
didatangkan dari luar negeri. Sedang rencana pembiayaannya juga
akan dicari dari kredit ekspor dan pinjaman komersial, yang kini
makin sulit. Pemerintah sendiri, untuk mengamankan anggaran
belanjanya, masih membutuhkan pinjaman komersial, yang biasanya
digunakan untuk memperkuat benteng cadangan devisanya.
Cadangan devisa di Bank Indonesia, sampai akhir April lalu,
seperti pernah dikatakan Menko Ekuin Ali Wardhana, sudah turun
menjadi sekitar US$ 3 milyar. Kalau sampai berbagai proyek besar
itu diteruskan, pemerintah khawatir, itu akan mengurangi
kesempatan memupuk cadangan devisa yang berasal dari pinjaman
komersial. "Tak bisa lain, pemerintah Indonesia harus menempuh
jalan itu, sekalipun mungkin menjengkelkan bagi banyak
perusahaan asing," kata seorang bankir Amerika di Jakarta.
Berapa jumlah total yang akan terkena penjadwalan kembali, belum
lagi dikemukakan oleh pemerintah. Tapi diduga itu tak akan
kurang dari 20 milyar dollar. Di tengah harga minyak yang sedang
jatuh dan diperkirakan akan berjalan cukup lama -- penundaan
sebesar itu agaknya bisa meringankan kewajiban pemerintah untuk
mencicil beban utang komersialnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini