Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari cilacap ke saudi

Selain program latihan, penempatan peralatan, dan disiplin terhadap waktu turut menentukan produktivitas buruh. dengan prinsip manajemen peningkatan terpadu (tqc) yang dilakukan oleh pt gaya motor. (eb)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN lelaki, mengenakan tanda pengenal Fluor di dadanya, tampak memasuki lapangan terbang Halim Perdanakusuma awal pekan ini. Mereka adalah sebagian dari 450 buruh terampil perusahaan Fluor Eastern Inc., di Cilacap, yang akan dikirim ke Arab Saudi. "Mereka akan dipekerjakan di salah satu proyek kami di sana," kata seorang pejabat Fluor. Adalah berkat mereka pula, perluasan kilang minyak raksasa di Cilacap itu bisa selesai 4 bulan lebih cepat dari jadwal semula. Jika segalanya lancar, Agustus mendatang Fluor Eastern Inc. sebagai kontraktor utama, akan menyerahkan proyek bernilai US$ 874 juta itu kepada pemerintah. Fluor yang semula memperkirakan proyek itu memerlukan waktu 38,5 juta jam kerja ternyata bisa menyelesaikannya dalam waktu 22 juta jam kerja. Penyelesaian lebih awal itu dimungkinkan karena, menurut Fluor, tingkat produktivitas pekerja Indonesia 1,6 kali lebih produktif dari perkiraan. Fluor melakukan pengukuran itu dengan hasil standar penelitian tahun 1961 di sejumlah industri petrokimia di AS. Penelitian dilakukan dengan memperbandingkan jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap proyek itu. Dari upaya memperbandingkan inilah kemudian diperoleh jumlah jam kerja rata-rata, yang dijadikan standar penyelesaian sebuah proyek petrokimia, yang dinyatakan dengan bilangan "1". Untuk mengukur tingkat produktivitas pekerja di proyek petrokimia lain, jumlah jam kerja di proyek itu dibandingkan dengan jumlah jam kerja hasil penelitian 1961 di AS itu. Produktivitas buruh Korea Selatan tiga tahun lalu, misalnya, dinyatakan dengan bilangan 2,2. Itu berarti untuk menyelesaikan sebuah proyek petrokimia, buruh Korea Selatan membutuhkan waktu 2,2 kali lebih lama jika dibandingkan buruh Amerika di tahun 1961. Jalan untuk mencapai prestasi itu tentu makanbanyak biaya. Untuk melatih 2.500 lebih buruh Indonesia, misalnya, Fluor menyisihkan anggaran sampai sekitar US$ 1,5 juta. Sedikitnya 16 macam keterampilan telah diajarkan kontraktor itu, dengan lama antara 60 sampai 648 jam untuk setiap pekerja -- tergantung jenis keterampilan yang diajarkan. Tukang las dan listrik, misalnya, masing-masing memerlukan latihan 540 jam dan 648 jam, jika ingin disebut pekerja terampil. Kendati sudah dianggap terampil, di lapangan para lulusan baru itu masih perlu ditempatkan di bawah pekerja berpengalaman. "Jadi belajar dengan berbuat," ujar V.F. Medina, manajer lapangan Fluor kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Program latihan semacam itu juga dilakukan Bechtel International Inc., kontraktor utama perluasan pabrik gas alam cair Bontang, Kalimantan Timur. Guna menghasilkan tukang las terampil, misalnya, perusahaan itu menyelenggarakan latihan selama 8-12 minggu di kelas, dan 12-16 minggu di lapangan. Sedang di AS sendiri, program untuk melahirkan tukang las yang benar-benar diakui berjalan selama 5 tahun. Tapi keterampilan saja belum cukup untuk meningkatkan produktivitas seorang pekerja. Pemakaian teknologi sebagai alat bantu, menurut H.M. Wilson, wakil presiden Bechtel Inc., juga turut menentukan. Pemakaian alat yang semakin maju teknologinya, akan "memperkecil jumlah jam kerja, yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan," ujar Wilson kepada Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO. Penempatan peralatan, disiplin terhadap waktu, dan lay out suatu ruang di pabrik, menurut Bambang Partana, manajer umum PT National Gobel, juga berpengaruh besar pada produktivitas. Dibanding pekerja Jepang, kata Bambang, pekerja Indonesia ternyata banyak omong. "Orang kita juga terlalu sering ke belakang," katanya. Hal itulah, yang antara lain menyebabkan produktivitas pekerja Indonesia lebih rendah dibandingkan pekerja Jepang. Bambang, yang sudah bekerja 12 tahun di pabrik penghasil televisi dan kaset-radio merk National itu, memberi contoh. Sebanyak 98 pekerja Indonesia, yang bekerja efektif 465 menit sehari, ternyata hanya bisa merakit 600 televisi hitam putih 14 inci. Dengan jumlah buruh, dan jam kerja yang sama, peker)a Jepang ternyata mampu merakit 680 televisi serupa. Untuk mendorong produktivitas, setiap sarapan mereka memperoleh roti dan susu, serta makanan bergizi pada siang hari. Prestasi dan produktivitas setiap karyawan dicatat manajemen dengan cermat. Di dalam catatan itu bisa dijumpai kecepatan seorang karyawan memasang transistor, misalnya, juga mengenai kesalahan yang dilakukannya. Selain disesuaikan dengan pendidikan, "kecepatan naik pangkat dan gaji seorang karyawan sangat tergantung dari produktivitas mereka," ujar Bambang. Jadi tidak tertutup kemungkinan, "seorang tamatan SMA bisa punya pangkat lebih tinggi dari pada seorang sarjana." Benarkah semakin kuatnya serikat buruh menuntut perbaikan nasib di satu perusahaan, justru akan menurunkan produktivitas? Penelitian ulangan di sejumlah proyek industri petrokimia di AS tahun lalu membuktikan anggapan itu. Seringnya buruh menuntut kenaikan gaii dengan mogok, dan memperlambat pekerjaan, telah menurunkan produktivitas para buruh di sana. Bambang tidak setuju dengan anggapan itu. Jika pengusahanya bijaksana, menurut dia, tuntutan macam-macam dari buruh jelas tidak akan muncul. Apalagi kalau buruh juga diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan, dan manajemen, menurut dia, justru peningkatan produktivitas yang akan dicapai. Setidaknya dengan prinsip manajemen peningkatan mutu terpadu (total quality control). PT Gaya Motor telah membuktikannya. Jika empat tahun lalu setiap karyawan perakitan mobil itu hanya bisa merakit 16 unit, tahun lalu setiap karyawan mampu merakit 24 unit mobil sejak TQC diterapkan mulai awal 1980. Pada hakikatnya TQC lebih menekankan semangat kerja sama yang erat di antara pelbagai tingkatan produksi di dalam perusahaan yang merakit mobil Daihatsu, Peugeot, dan Renault itu. Jadi masing-masing proses perakitan harus selalu "memberikan kepuasan pada proses berikutnya," ujar Teguh Purwadi, dari bagian TQC Gaya Motor Kelompok kerja pengelasan kerangka, misalnya, harus benar-benar mampu menunjukkan hasil pengelasan yang baik dan memuaskan, sebelum menyerahkannya ke bagian pengecatan. Dari situ, lalu memasuki proses perakitan keranka, dan berakhir sesudah dirakit dengan body di proses akhir perakitan. Dengan cara ini cacat dalam pengerjaan suatu proses bisa diketahui pada tingkat yang paling dini. Diskusi dan upaya mengatasi segera dilakukan jika suatu cacat ditemukan dalam suatu tahap perakitan. Secara langsung prinsip manajemen seperti ini akan melibatkan setiap buruh untuk kut bertanggung jawab secara maksimal terhadap pekerjaannya. Dengan demikian, "sejak awal, proses perakitan itu sudah dikontrol secarat ketat," ujar Hartanto Sukmono kepala bidang produksi Gaya Motor kepada Julizar Kasiri dari TEMPO. Mamo Suparmo, 29 tahun, buruh pengelasan kerangka, merasa puas dengan cara kerja semacam itu. Kelompok kerjanya, yang berjumlah 35 buruh las, setiap hari kini menghasilkan 35 unit kerangka mobil jip Daihatsu Taft. Guna menghindari kejenuhan, Mamo, yang sudah bekerja 9 tahun di bagian pengelasan kerangka, dalam jangka waktu tertentu diputar: dari mengelas kerangka jip Taft ke kerangka sedan Charade, Peugeot, atau Renault. Sejauh itu, perputaran dilakukan tetap pada keahlian buruh bersangkutan. Perputaran ekstrim, dari buruh bagian pengecatan ke bagian pengelasan kerangka, tidak mungkin dilakukan. "Sebab perputaran semacam itu memerlukan latihan yang lama untuk setiap pekerja," ujar Hartanto. Bagi Mamo perputaran itu menguntungkan. Dengan cara itulah dia merasa bisa mengenal lebih baik pelbagai cara pengelasan untuk bermacam-macam tipe mobil. Bertolak dari tingkat produktivitas buruh semacam Mamo, yang cenderung naik dengan sistem itu, Hartanto yakin "makin lama buruh bekerja pada sebuah keahlian, ternyata semakin terampil, bukan jenuh." Cara kerja semacam itu kemudian ditiru oleh pabrik mobil General Motors, AS, yang mendirikan perakitan mobil Cadilac di Kota Livonia, Michigan. Sejak Juli 1981, perakitan GM di kota itu memperkenalkan cara kerja dalam sistem "tim bisnis" yang hakikatnya sama dengan TQC. Perakitan di Livonia itu dipecah dalam 15 departemen. Setiap departemen dipecah lagi dalam tim bisnis, beranggotakan 15-20 pekerja. Setiap tim bisnis ini secara aktif ikut dalam pengelolaan, dan bertanggung jawab penuh terhadap tahap perakitan di lingkungannya. Di situ manajer dan buruh memakai fasilitas kafetaria yang sama. Jarang yang kelihatan mengenakan dasi, bahkan kebanyakan pengawas lebih sering terlihat pakai jeans. Hasilnya: peningkatan produktivitas dan efisiensi buruh di Livonia itu berhasil mengurangi bahan terbuang sampai 50%, dan tahun lalu diperkirakan mampu menekan pengeluaran US$ 1,2 juta lebih. Tak jelas benar, apakah GM Livonia juga menerapkan sistem kompensasi seperti dilakukan Gaya Motor. Bagi buruh, yang setiap hari hadir, misalnya, Gaya Motor memberikan perangsang Rp 400 sehari. Juga pekerja, yang selama sebulan penuh masuk kerja tidak lambat, dan tidak pulang sebelum waktunya, kemungkinan besar bisa memperoleh 10 hadiah bulanan, yang besarnya masing-masing Rp 15 ribu. Dengan pelbagai macam kompensasi itu, Mamo yang bergaji pokok Rp 80.900, kadang bisa membawa pulang Rp 100 ribu lebih setiap bulannya. Dalam skala kecil, sistem kompensasi semacam itu kini juga sudah lama diterapkan PT HM Sampoerna, Surabaya, yang menghasilkan rokok Dji Sam Soe. Di situ para buruh wanita di bagian giling, sejak 5 tahun lalu, tidak menerima upah dengan sistem borongan. Tapi berdasarkan standar beban kerja minimal: setiap buruh minimal harus menghasilkan 325 batang rokok tiap jamnya, dengan upah Rp 165,61 per jam. Uang kompensasi akan diberikan jika setiap jamnya rokok yang dilinting bisa melampaui batas minimal 325 batang. Jika selama 10 hari berturut-turut seorang buruh hadir terus, juga akan diberi kompensasi 5% dari penghasilannya selama periode itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus