PULUHAN lelaki, mengenakan tanda pengenal Fluor di dadanya,
tampak memasuki lapangan terbang Halim Perdanakusuma awal pekan
ini. Mereka adalah sebagian dari 450 buruh terampil perusahaan
Fluor Eastern Inc., di Cilacap, yang akan dikirim ke Arab Saudi.
"Mereka akan dipekerjakan di salah satu proyek kami di sana,"
kata seorang pejabat Fluor. Adalah berkat mereka pula, perluasan
kilang minyak raksasa di Cilacap itu bisa selesai 4 bulan lebih
cepat dari jadwal semula.
Jika segalanya lancar, Agustus mendatang Fluor Eastern Inc.
sebagai kontraktor utama, akan menyerahkan proyek bernilai US$
874 juta itu kepada pemerintah. Fluor yang semula memperkirakan
proyek itu memerlukan waktu 38,5 juta jam kerja ternyata bisa
menyelesaikannya dalam waktu 22 juta jam kerja. Penyelesaian
lebih awal itu dimungkinkan karena, menurut Fluor, tingkat
produktivitas pekerja Indonesia 1,6 kali lebih produktif dari
perkiraan.
Fluor melakukan pengukuran itu dengan hasil standar penelitian
tahun 1961 di sejumlah industri petrokimia di AS. Penelitian
dilakukan dengan memperbandingkan jumlah jam kerja yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap proyek itu. Dari upaya
memperbandingkan inilah kemudian diperoleh jumlah jam kerja
rata-rata, yang dijadikan standar penyelesaian sebuah proyek
petrokimia, yang dinyatakan dengan bilangan "1".
Untuk mengukur tingkat produktivitas pekerja di proyek
petrokimia lain, jumlah jam kerja di proyek itu dibandingkan
dengan jumlah jam kerja hasil penelitian 1961 di AS itu.
Produktivitas buruh Korea Selatan tiga tahun lalu, misalnya,
dinyatakan dengan bilangan 2,2. Itu berarti untuk menyelesaikan
sebuah proyek petrokimia, buruh Korea Selatan membutuhkan waktu
2,2 kali lebih lama jika dibandingkan buruh Amerika di tahun
1961.
Jalan untuk mencapai prestasi itu tentu makanbanyak biaya. Untuk
melatih 2.500 lebih buruh Indonesia, misalnya, Fluor
menyisihkan anggaran sampai sekitar US$ 1,5 juta. Sedikitnya 16
macam keterampilan telah diajarkan kontraktor itu, dengan lama
antara 60 sampai 648 jam untuk setiap pekerja -- tergantung
jenis keterampilan yang diajarkan. Tukang las dan listrik,
misalnya, masing-masing memerlukan latihan 540 jam dan 648 jam,
jika ingin disebut pekerja terampil. Kendati sudah dianggap
terampil, di lapangan para lulusan baru itu masih perlu
ditempatkan di bawah pekerja berpengalaman. "Jadi belajar dengan
berbuat," ujar V.F. Medina, manajer lapangan Fluor kepada
Bambang Harymurti dari TEMPO.
Program latihan semacam itu juga dilakukan Bechtel International
Inc., kontraktor utama perluasan pabrik gas alam cair Bontang,
Kalimantan Timur. Guna menghasilkan tukang las terampil,
misalnya, perusahaan itu menyelenggarakan latihan selama 8-12
minggu di kelas, dan 12-16 minggu di lapangan. Sedang di AS
sendiri, program untuk melahirkan tukang las yang benar-benar
diakui berjalan selama 5 tahun.
Tapi keterampilan saja belum cukup untuk meningkatkan
produktivitas seorang pekerja. Pemakaian teknologi sebagai alat
bantu, menurut H.M. Wilson, wakil presiden Bechtel Inc., juga
turut menentukan. Pemakaian alat yang semakin maju teknologinya,
akan "memperkecil jumlah jam kerja, yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan," ujar Wilson kepada Minuk
Sastrowardoyo dari TEMPO.
Penempatan peralatan, disiplin terhadap waktu, dan lay out suatu
ruang di pabrik, menurut Bambang Partana, manajer umum PT
National Gobel, juga berpengaruh besar pada produktivitas.
Dibanding pekerja Jepang, kata Bambang, pekerja Indonesia
ternyata banyak omong. "Orang kita juga terlalu sering ke
belakang," katanya. Hal itulah, yang antara lain menyebabkan
produktivitas pekerja Indonesia lebih rendah dibandingkan
pekerja Jepang.
Bambang, yang sudah bekerja 12 tahun di pabrik penghasil
televisi dan kaset-radio merk National itu, memberi contoh.
Sebanyak 98 pekerja Indonesia, yang bekerja efektif 465 menit
sehari, ternyata hanya bisa merakit 600 televisi hitam putih 14
inci. Dengan jumlah buruh, dan jam kerja yang sama, peker)a
Jepang ternyata mampu merakit 680 televisi serupa. Untuk
mendorong produktivitas, setiap sarapan mereka memperoleh roti
dan susu, serta makanan bergizi pada siang hari.
Prestasi dan produktivitas setiap karyawan dicatat manajemen
dengan cermat. Di dalam catatan itu bisa dijumpai kecepatan
seorang karyawan memasang transistor, misalnya, juga mengenai
kesalahan yang dilakukannya. Selain disesuaikan dengan
pendidikan, "kecepatan naik pangkat dan gaji seorang karyawan
sangat tergantung dari produktivitas mereka," ujar Bambang. Jadi
tidak tertutup kemungkinan, "seorang tamatan SMA bisa punya
pangkat lebih tinggi dari pada seorang sarjana."
Benarkah semakin kuatnya serikat buruh menuntut perbaikan nasib
di satu perusahaan, justru akan menurunkan produktivitas?
Penelitian ulangan di sejumlah proyek industri petrokimia di AS
tahun lalu membuktikan anggapan itu. Seringnya buruh menuntut
kenaikan gaii dengan mogok, dan memperlambat pekerjaan, telah
menurunkan produktivitas para buruh di sana.
Bambang tidak setuju dengan anggapan itu. Jika pengusahanya
bijaksana, menurut dia, tuntutan macam-macam dari buruh jelas
tidak akan muncul. Apalagi kalau buruh juga diikutsertakan dalam
proses pengambilan keputusan, dan manajemen, menurut dia, justru
peningkatan produktivitas yang akan dicapai. Setidaknya dengan
prinsip manajemen peningkatan mutu terpadu (total quality
control). PT Gaya Motor telah membuktikannya. Jika empat tahun
lalu setiap karyawan perakitan mobil itu hanya bisa merakit 16
unit, tahun lalu setiap karyawan mampu merakit 24 unit mobil
sejak TQC diterapkan mulai awal 1980.
Pada hakikatnya TQC lebih menekankan semangat kerja sama yang
erat di antara pelbagai tingkatan produksi di dalam perusahaan
yang merakit mobil Daihatsu, Peugeot, dan Renault itu. Jadi
masing-masing proses perakitan harus selalu "memberikan
kepuasan pada proses berikutnya," ujar Teguh Purwadi, dari
bagian TQC Gaya Motor Kelompok kerja pengelasan kerangka,
misalnya, harus benar-benar mampu menunjukkan hasil pengelasan
yang baik dan memuaskan, sebelum menyerahkannya ke bagian
pengecatan. Dari situ, lalu memasuki proses perakitan keranka,
dan berakhir sesudah dirakit dengan body di proses akhir
perakitan.
Dengan cara ini cacat dalam pengerjaan suatu proses bisa
diketahui pada tingkat yang paling dini. Diskusi dan upaya
mengatasi segera dilakukan jika suatu cacat ditemukan dalam
suatu tahap perakitan. Secara langsung prinsip manajemen seperti
ini akan melibatkan setiap buruh untuk kut bertanggung jawab
secara maksimal terhadap pekerjaannya. Dengan demikian, "sejak
awal, proses perakitan itu sudah dikontrol secarat ketat," ujar
Hartanto Sukmono kepala bidang produksi Gaya Motor kepada
Julizar Kasiri dari TEMPO.
Mamo Suparmo, 29 tahun, buruh pengelasan kerangka, merasa puas
dengan cara kerja semacam itu. Kelompok kerjanya, yang berjumlah
35 buruh las, setiap hari kini menghasilkan 35 unit kerangka
mobil jip Daihatsu Taft. Guna menghindari kejenuhan, Mamo, yang
sudah bekerja 9 tahun di bagian pengelasan kerangka, dalam
jangka waktu tertentu diputar: dari mengelas kerangka jip Taft
ke kerangka sedan Charade, Peugeot, atau Renault. Sejauh itu,
perputaran dilakukan tetap pada keahlian buruh bersangkutan.
Perputaran ekstrim, dari buruh bagian pengecatan ke bagian
pengelasan kerangka, tidak mungkin dilakukan. "Sebab perputaran
semacam itu memerlukan latihan yang lama untuk setiap pekerja,"
ujar Hartanto.
Bagi Mamo perputaran itu menguntungkan. Dengan cara itulah dia
merasa bisa mengenal lebih baik pelbagai cara pengelasan untuk
bermacam-macam tipe mobil. Bertolak dari tingkat produktivitas
buruh semacam Mamo, yang cenderung naik dengan sistem itu,
Hartanto yakin "makin lama buruh bekerja pada sebuah keahlian,
ternyata semakin terampil, bukan jenuh."
Cara kerja semacam itu kemudian ditiru oleh pabrik mobil General
Motors, AS, yang mendirikan perakitan mobil Cadilac di Kota
Livonia, Michigan. Sejak Juli 1981, perakitan GM di kota itu
memperkenalkan cara kerja dalam sistem "tim bisnis" yang
hakikatnya sama dengan TQC. Perakitan di Livonia itu dipecah
dalam 15 departemen. Setiap departemen dipecah lagi dalam tim
bisnis, beranggotakan 15-20 pekerja. Setiap tim bisnis ini
secara aktif ikut dalam pengelolaan, dan bertanggung jawab penuh
terhadap tahap perakitan di lingkungannya. Di situ manajer dan
buruh memakai fasilitas kafetaria yang sama. Jarang yang
kelihatan mengenakan dasi, bahkan kebanyakan pengawas lebih
sering terlihat pakai jeans. Hasilnya: peningkatan
produktivitas dan efisiensi buruh di Livonia itu berhasil
mengurangi bahan terbuang sampai 50%, dan tahun lalu
diperkirakan mampu menekan pengeluaran US$ 1,2 juta lebih.
Tak jelas benar, apakah GM Livonia juga menerapkan sistem
kompensasi seperti dilakukan Gaya Motor. Bagi buruh, yang setiap
hari hadir, misalnya, Gaya Motor memberikan perangsang Rp 400
sehari. Juga pekerja, yang selama sebulan penuh masuk kerja
tidak lambat, dan tidak pulang sebelum waktunya, kemungkinan
besar bisa memperoleh 10 hadiah bulanan, yang besarnya
masing-masing Rp 15 ribu. Dengan pelbagai macam kompensasi itu,
Mamo yang bergaji pokok Rp 80.900, kadang bisa membawa pulang Rp
100 ribu lebih setiap bulannya.
Dalam skala kecil, sistem kompensasi semacam itu kini juga sudah
lama diterapkan PT HM Sampoerna, Surabaya, yang menghasilkan
rokok Dji Sam Soe. Di situ para buruh wanita di bagian giling,
sejak 5 tahun lalu, tidak menerima upah dengan sistem borongan.
Tapi berdasarkan standar beban kerja minimal: setiap buruh
minimal harus menghasilkan 325 batang rokok tiap jamnya, dengan
upah Rp 165,61 per jam.
Uang kompensasi akan diberikan jika setiap jamnya rokok yang
dilinting bisa melampaui batas minimal 325 batang. Jika selama
10 hari berturut-turut seorang buruh hadir terus, juga akan
diberi kompensasi 5% dari penghasilannya selama periode itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini