JIKA ekspor Indonesia lesu, dengarlah selingan ini, kisah
Mahidin Nasution. Petani berumur 50 tahun itu -- yang sekaligus
pengumpul buah enau -- sejak bulan ini dapat pasar baru yang
cukup potensial. PT Eyang Putri, perusahaan yang bergerak dalam
industri makanan kaleng di Pematang Siantar (Sum-Ut),
menyanggupi akan membeli enau, yang sudah dikupasnya seharga Rp
200 per kg. Mahidin sendiri, yang sehari bisa mengumpulkan 100
kg enau masak, membeli buah itu Rp 15-20 per kg dari para
petani.
Keuntungan besar memang sudah membayang di pelupuk mata Mahidin.
Dari tempatnya di Serbelawan, Simalungun, dia kini tak perlu
lagi bersusah payah, dan membuang ongkos banyak untuk menjual
enau itu ke Medan. PT Eyang Putri, yang akhir bulan ini mulai
mengekspor hampir 25 ribu enau kalengan ke Singapura, sanggup
membelinya di tempat petani. Asal saja, "biji enau utuh itu
berwarna putih transparan, dan kondisinya tidak cacat," ujar
Toman Hutabarat, 29 tahun, Dirut PT Eyang Putri.
Selain dari Simalungun, suplai dari petani diharapkan pula
datang dari Deli Serdang, Tapanuli (Utara, Tengah dan Selatan)
serta Dolok Nagodang. Di Dolok Nagodang, asal leluhurnya, Toman
sering menyaksikan enau, yang buahnya bisa dipetik sesudah 5
tahun, seperti "hangus" di pelepah pohon, dan bertebaran di
tanah. Dari situlah gagasan mengalengkan enau, dalam larutan
sirop berkadar gula sekitar 20%, muncul di benaknya. Usaha
ekspornya ke Singapura akan dicobanya selama 6 bulan terus
menerus, dengan pengapalan setiap dua pekan sekali.
Lewat importir di sana, buah kalengan tadi, menurut Toman,
sekitar 60% didistribusikan ke toko-toko. Sisanya ke pedagang
kaki lima. Dari para pedagang itu, dia memperkirakan konsumen di
sana bisa memperoleh "buah pencuci mulut" itu dengan harga Rp
660,25 atau sekitar 1,5 dollar Singapura per kaleng. Itu memang
jauh berada di bawah harga dalam negeri, yang Rp 850 per kaleng.
"Pajak di Singapura lebih kecil," kata Toman memberi alasan
perbedaan harga itu.
Jika usaha ekspor ke Singapura mulus, Toman merencanakan
mengekspor enau kalengan itu ke Hongkong. Pasar lokal juga sudah
diincarnya. Menurut dia, seorang konco bisnisnya di Sumatera
Barat sudah memesan kiriman 12 ribu kaleng sekali dalam dua
pekan. "Misalkan sepuluh persen saja dari delapan juta penduduk
Sumatera Utara membeli satu kaleng buah enau itu dalam setahun,
berarti sudah perlu delapan ribu kaleng," gumamnya penuh
harapan.
Tapi kisah ini, seperti kisah lain di bidang yang sama, tidaklah
100% manis.
Impian Toman bisa macet. Yang sudah pasti usaha ekspor nanas
kalengan, yang sudah dirintis ayahnya sejak 8 tahun lalu
ternyata kurang membuahkan hasil baik. Dua tahun lalu, ekspor
nanas kalengan Eyang Putri masih mencapai US$ 4 juta, sebagian
besar dilempar ke Timur Tengah, dan sisanya ke Eropa Barat,
serta Singapura. Nanas asal Batak itu kalah bersaing dengan
nanas eks Filipina dan Hawaii (Del Monte), serta Thailand. Dari
hari ke hari produksinya merosot terus. "Kini tinggal sepuluh
sampai dua puluh persen saja dari kapasitas produksi tiga ratus
ton sehari," uiar Toman kepada Bersihar Lubis dari TEMPO.
Selain kalah dalam persaingan, kelangsungan suplai buah nanas
perusahaan itu memang kurang terpelihara dengan baik. Hanya
sebagian kecil saja suplai nanas datang dari kebun perusahaan,
yang 550 ha. Sedang sebagian besar, yang kelangsungan suplai dan
kualitasnya kurang terjaga, datang dari petani nanas Simalungun
dan Tapanuli Utara. Eyang Putri berharap sesudah 3.000 ha PIR
(Perkebunan Inti Rakyat) nanas di Gajah Pokki, Simalungun
diwujudkan, perusahaan itu tak perlu pusing lagi memikirkan
suplai bahan baku.
Pelajaran mahal dari situ rupanya belum lagi cukup bagi Eyang
Putri. Buktinya untuk usaha ekspor enau kalengan ini, perusahaan
itu masih mengandalkan suplai dari petani rakyat. Bagaimana
nanti jika misalnya suatu saat pohon enau itu pada mati diserang
hama, entahlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini