Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buah Si Eyang Putri

Sesudah gagal mengekspor nanas kalengan, kini mulai mengekspor enau kalengan. Prospeknya masih teka-teki. (eb)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA ekspor Indonesia lesu, dengarlah selingan ini, kisah Mahidin Nasution. Petani berumur 50 tahun itu -- yang sekaligus pengumpul buah enau -- sejak bulan ini dapat pasar baru yang cukup potensial. PT Eyang Putri, perusahaan yang bergerak dalam industri makanan kaleng di Pematang Siantar (Sum-Ut), menyanggupi akan membeli enau, yang sudah dikupasnya seharga Rp 200 per kg. Mahidin sendiri, yang sehari bisa mengumpulkan 100 kg enau masak, membeli buah itu Rp 15-20 per kg dari para petani. Keuntungan besar memang sudah membayang di pelupuk mata Mahidin. Dari tempatnya di Serbelawan, Simalungun, dia kini tak perlu lagi bersusah payah, dan membuang ongkos banyak untuk menjual enau itu ke Medan. PT Eyang Putri, yang akhir bulan ini mulai mengekspor hampir 25 ribu enau kalengan ke Singapura, sanggup membelinya di tempat petani. Asal saja, "biji enau utuh itu berwarna putih transparan, dan kondisinya tidak cacat," ujar Toman Hutabarat, 29 tahun, Dirut PT Eyang Putri. Selain dari Simalungun, suplai dari petani diharapkan pula datang dari Deli Serdang, Tapanuli (Utara, Tengah dan Selatan) serta Dolok Nagodang. Di Dolok Nagodang, asal leluhurnya, Toman sering menyaksikan enau, yang buahnya bisa dipetik sesudah 5 tahun, seperti "hangus" di pelepah pohon, dan bertebaran di tanah. Dari situlah gagasan mengalengkan enau, dalam larutan sirop berkadar gula sekitar 20%, muncul di benaknya. Usaha ekspornya ke Singapura akan dicobanya selama 6 bulan terus menerus, dengan pengapalan setiap dua pekan sekali. Lewat importir di sana, buah kalengan tadi, menurut Toman, sekitar 60% didistribusikan ke toko-toko. Sisanya ke pedagang kaki lima. Dari para pedagang itu, dia memperkirakan konsumen di sana bisa memperoleh "buah pencuci mulut" itu dengan harga Rp 660,25 atau sekitar 1,5 dollar Singapura per kaleng. Itu memang jauh berada di bawah harga dalam negeri, yang Rp 850 per kaleng. "Pajak di Singapura lebih kecil," kata Toman memberi alasan perbedaan harga itu. Jika usaha ekspor ke Singapura mulus, Toman merencanakan mengekspor enau kalengan itu ke Hongkong. Pasar lokal juga sudah diincarnya. Menurut dia, seorang konco bisnisnya di Sumatera Barat sudah memesan kiriman 12 ribu kaleng sekali dalam dua pekan. "Misalkan sepuluh persen saja dari delapan juta penduduk Sumatera Utara membeli satu kaleng buah enau itu dalam setahun, berarti sudah perlu delapan ribu kaleng," gumamnya penuh harapan. Tapi kisah ini, seperti kisah lain di bidang yang sama, tidaklah 100% manis. Impian Toman bisa macet. Yang sudah pasti usaha ekspor nanas kalengan, yang sudah dirintis ayahnya sejak 8 tahun lalu ternyata kurang membuahkan hasil baik. Dua tahun lalu, ekspor nanas kalengan Eyang Putri masih mencapai US$ 4 juta, sebagian besar dilempar ke Timur Tengah, dan sisanya ke Eropa Barat, serta Singapura. Nanas asal Batak itu kalah bersaing dengan nanas eks Filipina dan Hawaii (Del Monte), serta Thailand. Dari hari ke hari produksinya merosot terus. "Kini tinggal sepuluh sampai dua puluh persen saja dari kapasitas produksi tiga ratus ton sehari," uiar Toman kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Selain kalah dalam persaingan, kelangsungan suplai buah nanas perusahaan itu memang kurang terpelihara dengan baik. Hanya sebagian kecil saja suplai nanas datang dari kebun perusahaan, yang 550 ha. Sedang sebagian besar, yang kelangsungan suplai dan kualitasnya kurang terjaga, datang dari petani nanas Simalungun dan Tapanuli Utara. Eyang Putri berharap sesudah 3.000 ha PIR (Perkebunan Inti Rakyat) nanas di Gajah Pokki, Simalungun diwujudkan, perusahaan itu tak perlu pusing lagi memikirkan suplai bahan baku. Pelajaran mahal dari situ rupanya belum lagi cukup bagi Eyang Putri. Buktinya untuk usaha ekspor enau kalengan ini, perusahaan itu masih mengandalkan suplai dari petani rakyat. Bagaimana nanti jika misalnya suatu saat pohon enau itu pada mati diserang hama, entahlah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus