Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Bimbingan Gratis Ke Usaha... .

Kanwil P dan K Jakarta mencabut izin usaha bimbingan tes. hal-hal yang mendorong lahirnya BT dan perkembangannya di berbagai kota. (pdk)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAG-dig-dug itu berlalu sudah, setelah singgah di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu. Ketika itu sekitar delapan ratus peserta latihan tes masuk PP (proyek perintis) I, diselenggarakan oleh bimbingan tes KSM (kelompok studi mahasiswa), sedikit was-was. Karena sehari sebelumnya ditandatangani pencabutan izin bimbingan tes (BT) oleh Kanwil P&K DKI. Untunglah, akhirnya, latihan tes berjalan biasa-biasa saja. Demikian juga latihan di hari-hari berikutnya oleh BT yang lain misalnya, oleh BT Teknos, Senin lalu. Soalnya, sudah ada penjelasan dari Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam pertemuannya, dengan Kakanwil P&K Jawa Timur, bahwa BT tidak dilarang. Izin dicabut hanya agar kesan bahwa BT mendapat backing dari Dep. P&K dihapus. "Bimbingan tes silakan berjalan dengan tanggung jawab sendiri," kata Menteri pada para wartawan di Surabaya, Selasa pekan lalu. Tapi pencabutan izin BT itu sendiri cukup mengundang perhatian. Karena sudah pasti bimbingan tes tidak muncul tanpa sebab. Dulu, ketika perguruan tinggi belum melaksanakan tes untuk menyeleksi calon mahasiswa, BT sama sekali belum terpikirkan. Bahkan ketika pada 1957, pertama kalinya perguruan tinggi membuka tes masuk, belum ada tanda-tanda BT mau muncul. Baru di awal 1960-an, ketika santer-santernya kegiatan organisasi mahasiswa ekstra universitas, muncul BT. Tapi tujuan utamanya waktu itu untuk mencari anggota organisasi. BT-BT waktu itu, diselenggarakan oleh HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, juga CGMI tentu, jauh dari tujuan komersial. Baru di pertengahan 1960-an, muncul beberapa BT di Jakarta yang menarik bayaran. Penyelenggaranya, ya, mahasiswa UI. Tak jelas motivasi berdirinya BT "swasta" itu. Mungkin beberapa mahasiswa yang mempunyai semangat wiraswasta melihat BT sebagai sumber rezeki. Salah satu BT awal, yang hingga kini masih berjalan ialah BT-nya Siky Muljono di Jalan Kaji, Jakarta. "Tahun 1964 saya mengikuti bimbingan tes yang diadakan HMI dan tahun itu saya diterima di Fakultas Kedokteran UI," tutur Siky, 37 tahun. Setahun kemudian selain ikut menjadi pembimbing di BT Dewan Mahasiswa UI, ia mendirikan BT sendiri. Dan jauh dari gambaran BT-BT sekarang ini, peserta Siky cuma delapan siswa SMA. Sistem belajar-mengajar BT waktu itu cuma mendiskusikan soal-soal. "Lulusan SMA waktu itu umumnya menguasai pelajaran dengan baik," kenang Drs. Med. yang tak melanjutkan meraih dr-nya ini. Lama BT kala itu maksimal 3 bulan. Tujuh tahun kemudian, 1972, Siky mencium perubahan. Diskusi BT-nya berjalan seret. Siswa SMA ternyata tidak lagi menguasai pelajaran. Tahun itulah Siky memutuskan untuk memperpanjang waktu BT-nya menjadi setahun. Toh, usahanya itu tidak bcgitu menolong. "Tahun 1975 sekitar lima puluh persen siswa saya tidak diterima di perguruan tinggi negeri," katanya. Maka Siky pun lantas menubo.h sistem mengajarnya. Ia buang cara diskusi. "Murid saya buat pasif, saya genjot dengan rumus-rumus dan soal-soal," tutur orang yang selalu memakai sandal ini. Hasilnya? "Lumayan. Rata-rata sembilan puluh persen siswa saya diterima di perguruan tinggi PP I," Jawabnya. Tak jelas apakah "merosotnya" kualitas lulusan SMA di tahun 1970-an itu, seperti yang dialami Siky, yang mendorong munculnya BT-BT. Tapi di tahun 1971 memang ada perubahan di dunia perguruan tinggi. Muncul yang disebut SKALU (Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas) beranggotakan UI, ITB, IPB, UGM, dan Unair. Waktu itulah muncul favoritisme: universitas SKALU adalah yang terbaik. Memang, sebelumnya pun beberapa universitas besar, UI dan UGM, misalnya, sudah merupakan kebanggaan bagi calon-calon mahasiswa. Tapi dengan SKALU citra itu semakin dikukuhkan. Maka wajar bila pandangan para lulusan SMA diarahkan ke lima perguruan tinggi negeri itu. Maka persaingan masuk perguruan tinggi SKALU semakin keras. Ditambah dengan merosotnya kualitas siswa SMA seperti yang disinyalir Siky Muljono, logis juga bila anak-anak SMA lantas mencoba mencari bekal tambahan. Dan memang di sekitar pertengahan 1970-an itulah lahir BT-BT yang kini laris itu. Misalnya, 1975 muncul BT Omega di Jakarta. Setahun sebelumnya di Yogyakarta lahir BT Newton Club. Selain itu kelompok yang mula-mula menyelenggarakan les-les privat, dan membuka bimbingan tanpa biaya, segera mengubah bentuk usahanya. BT Mecphico di Surabaya pun, yang mula-mula hanya memberikan bimbingan gratis bagi calon mahasiswa Fak. Kedokteran Unair, pada 1979 memutuskan diri menjadi BT dengan menarik bayaran. Bahkan memperluas bimbingannya untuk siswa yang hendak masuk jurusan non-eksakta. Juga BT IPIEMS, di kota yang sama, yang berangkat dari pelayanan les privat bagi siswa SMA pada 1969, empat tahun kemudian mengubah diri menjadi bimbingan tes universitas. Di Bandung, BT SautSantoso yang pada 1967 hanya memberikan les kepada mahasiswa tingkat I dan siswa kelas III SMA, di pertengahan 1970-an menjadi BT yang tidak hanya sekadar memberikan les. Hal lain yang mungkin mendorong lahirnya dan larisnya BT sesudah 1975 ialah diubahnya Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975. Ini kaitannya dengan dimulainya pengelompokan perguruan tinggi dari SKALU menjadi proyek perintis (PP) itu. Waktu itu dinyatakan jelas-jelas oleh pengelola PP, bahwa soal-soal dibuat berdasarkan Kurikulum 1975. Maka wajar jika lulusan SMA 1977, yang belum secara lengkap memakai Kurikulum 1975, dihinggapi kesangsian. Maka sejak itu BT pun mulai laris. Singkat kata, BT yang embrionya lebih kurang merupakan bimbingan yang sifatnya suka rela, telah tumbuh menjadi bisnis. Tak disangkal oleh sejumlah BT di berbagai kota yang diwawancara TEMPO, bahwa berkembangnya BT memang karena ada untung. Dengan terus terang Maringan Sitorus, 27 tahun, pendiri BT KSM, Jakarta, mengakui yang "mendorong saya membuka bimbingan tes, ya, aspek bisnisnya itu." Tapi semua pengusaha BT itu langsung mencak-mencak bila mereka dituding sebagai hanya pencari untung. "Kami juga punya idealisme," kata Daniel Hanaidi, 39 tahun, Dirut IPIEMS. Yang jelas, idealisme atau bukan, kesungguhan BT untuk membuat siswanya menjadi pintar, setidaknya untuk siap mengikuti tes PP I, tidak main-main. IPIEMS, misalnya, mempunyai bahkan punya seksi Litbang (penelitian dan pengembangan). Tugasnya memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam hal proses belajar-mengajar juga memberi rekomendasi apakah seseorang pantas menjadi pengajar atau tidak. Di BT ini siswa berhak menolak pengajar bila mereka merasa tidak cocok. Ini terjadi juga di BT Pra Gama, Yogyakarta. Januari lalu sejumah siswa Pra Gama mogok belajar. Mereka menuntut seorang pengajar yang mereka nilai tidak becus diberhentikan. Tuntutan ini dikabulkan. "Itulah beratnya menjadi pengajar di sini," kata Budiana, 25 tahun, mahasiswa Fak. Sastra dan Budaya UGM, yang menjadi tenaga pengajar di Pra Gama. "Hal seperti itu tak akan terjadi di sekolah, bukan?" tambah Budiana. Di BT Mecphico sekali seminggu diadakan diskusi, antara lain menyangkut komentar-komentar dari siswa tentang para pengajar mereka. Di BT Kampus 82, Yogyakarta, ada beberapa pengajar yang khusus bertugas membuat soal-soal yang kirakira mirip soal-soal yang akan keluar di tes PP-I, III, dan IV. Lebih dari itu di BT-BT pun ada disiplin. Di BT Siky Muljono misalnya. Ada aturan yang cukup keras. Siswa yang datang terlambat di bawah 15 menit akan mendapat pukulan rotan. Siswa terlambat lebih dari 15 menit tidak boleh mengikuti pelajaran hingga ada penjelasan dari orangtua siswa. Bahkan yang tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah) akan kena rotan pula. Malahan di BT Medika, Medan, bila tiga hari berturut-turut siswa absen tanpa keterangan apa pun langsung diberhentikan. "Tanpa mental yang baik, bagaimana mungkin menjadi orang cerdas," kata Drs. Med. Reinhard Silalahi, pimpinan BT tersebut. Tapi disiplin seperti itu ditunjang dengan akrabnya hubungan antara siswa dan pengajar. Siswa-siswa BT Siky Muljono biasa bergurau dengan "bos"nya. "Eh, bos, gue kira kita ditutup. Tuh, di koran katanya izin BT dicabut," kata seorang siswa kepada Siky, beberapa hari setelah ada pencabutan izin BT. Dan jawab Siky, juga dengan santai: "Ya, biar. Yang penting kan lu belajar. Lu kan masih tanggungan gue. Kecuali gue masuk penjara," -- seperti diceritakan majalah Zaman, 28 Mei. Pun di beberapa BT siswa boleh datang pakai sandal jepit, boleh merokok di kelas, boleh tanya apa dan kapan saja kepada pengajar. Pokoknya, hal-hal formal di sekolah, di BT tak ada. Asal, dalam hal belajar siswa bersungguh-sungguh. "Lu mau belajar gue puji, tidak belajar gue hajar," itulah prinsip Siky yang suka berlatih kung-fu ini. Tentu saja dari sudut lain hal itu sedikit banyak menyangkut aspek bisnis pula. Bila ketahuan banyak siswa dari sebuah BT tak diterima di universitas negeri, tanggung BT itu akan merosot citranya, dan selanjutnya akan kurang laku. Tapi penting pula dicatat perubahan metode pengajaran di BT. Boleh dikata BT-BT yang punya nama kini tak hanya memberikan latihan soal-soal seperti BT di awal 1970-an. Tapi, BT itu juga memberikan teori-teori, mirip di sekolah. Bahkan IPIEMS di Surabaya itu, tahun ini merencanakan membuka SMA (lihat box). Toh, suara-suara yang menilai BT kurang bermanfaat tak kunjung padam. Adalah Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, yang pekan lalu diangkat sebagai rektor IPB untuk kedua kalinya, yang paling keras mengkritik BT. Sejak jenis usaha ini tumbuh di awal 1970-a, Andi Hakim sudah mencurigai BT. "Ada atau tak ada bimbingan tes, calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, ya terbatas," katanya kepada TEMPO. "Adanya BT justru mengacaukan seleksi penerimaan mahasiswa. Semakin sulit memilih mana yang benar-benar siap masuk perguruan tinggi dan yang tidak," lanjutnya. Soalnya, ada yang berhasil lulus tes hanya karena "emposan BT", padahal anak itu sebenarnya kurang potensial. Mungkin itulah mengapa output perguruan tinggi kita masih kecil, bila dibanding jumlah mahasiswa keseluruhan. Dari Prof. Ir. Sidharto Pramoetadi, direktur Pembinaan Sarana Akademis, diperoleh data, rata-rata hanya 8-10% yang lulus sarjana tiap tahunnya dari jumlah mahasiswa seluruhnya. "Yang ideal 20%," kata Pramoetadi. Andi Hakim didukung oleh Pater Drost direktur SMA Kanisius, Jakarta. "BT memang mengisi kekurangan pengetahuan siswa, tapi dengan cara kilat. Ini gampang menguap setelah si anak duduk di universitas,' tuturnya. Maka pater ini selalu menganjurkan siswanya untuk tidak usah mengikuti BT, meskipun ia sendiri tidak anti-BT. Itu pula yang selalu dikatakan Padidi kepala SMAN 1, Jakarta, kepada anak didiknya. "Kalau kalian rajin-rajin mengikuti pelajaran di sekolah, tak perlu ikut BT," katanya kepada TEMPO, menirukan ketika ia berpesan kepada siswanya. Tapi pada umumnya para kepala sekolah dan guru SMA tidak melihat BT sebagai "berbahaya". Bahkan masuk BT "lebih baik daripada mereka keluyuran tidak keruan," kata Ibu Suprapti, wakil kepala SMAN III, Jakarta, SMA yang favorit itu. Pun yang kini telah duduk di universitas dan dulu menjadi peserta BT, umumnya mengakui manfaat BT. Terutama dalam hal memberikan bekal dalam mengerjakan soal-soal tes PP. Dan untuk mengikuti kuliah selanjutnya? "Pada kuliah tingkat pertama memang ada gunanya. Banyak hal yang sudah diberikan di BT," kata Robert Lesang, mahasiswa Fak. Kedokteran Gigi UI tingkat II. Robert, dulu ikut BT Siky Muljono. Lalu apa yang terjadi di sekolah? Diakui oleh sejumlah guru dan kepala sekolah memang waktu untuk melatihkan soal-soal terbatas. Dan ini bukan salah kurikulum. "Dulu pun ada pendalaman materi bagi siswa kelas III SMA, yang diberikan di luar jam pelajaran," tutur Dirjen Pendidikan Tinggi, Doddy Tisna Amidjaja. "Itu dulu diberikan untuk menghadapi ujian akhir." Hal yang baik itu pun sebenarnya disadari banyak kepala sekolah. "Tapi kini sulit mencari guru dan tempat untuk memberikan pelajaran ekstra itu," kata M. Silaban, kepala SMAN I, Medan. "Sekolah digunakan pagi dan sore, guru-guru banyak yang mengajar tak hanya di satu sekolah." Maka usaha SMAN III, Bandung, memang menjadi contoh. Di sekolah ini ada program yang disebut pemantapan bagi siswa kelas III. Diberikan di luar jam pelajaran, malahan kadang-kadang diberikan di hari libur. Yang dimantapkan hanyalah pelajaran yang diteskan di PP, antara lain Matematika, Kimia, Fisika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Inggris -- pelajaran yang juga diberikan di BT. Ini bisa berlangsung berkat kerja sama BP3 SMA tersebut, yang mengumpulkan dana dari orangtua murid untuk membayar honorarium guru yang memberikan pemantapan itu. "Buat siswa SMAN III tak ada gunanya mengikuti BT," kata Tohidi, guru Kimia di sini. Toh, masih ada pula siswa SMAN ini yang ikut BT. Elektra P.N., mahasiswa yang kini duduk di Jurusan Planologi ITB, tahun 1980 mengikuti sebuah BT di Bandung, selama 6 bulan. "Wah, kini saya yakin ikut BT tak ada gunanya. Semua sudah diberikan dan dilatihkan di sekolah saya," tuturnya. Jadi? "Saya dulu cuma kurang yakin pada diri sendiri saja," tambahnya. Walhasil, manfaat BT bagi siswa SMA memang tergantung dari sekolah dari mana siswa itu belajar. Sekolah yang sempat membcrikan pelajaran ekstra, sempat melatihkan soal-soal, memang pantas menyatakan BT itu mubazir. Tapi bagi siswa dari sekolah yang untuk menyelesaikan Kurikulum 1975 saja tak sempat, BT memang bermanfaat. Tapi kasus Elektra dari SMAN III Bandung itu, rupanya memperkuat kesimpulan Doddy Tisna Amidjaja. "Betapa baiknya mutu SMA-nya, bila daya tampung perguruan tinggi masih tak sebanding, BT akan tetap dicari," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus