DAG-dig-dug itu berlalu sudah, setelah singgah di Stadion Utama
Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu. Ketika itu sekitar delapan
ratus peserta latihan tes masuk PP (proyek perintis) I,
diselenggarakan oleh bimbingan tes KSM (kelompok studi
mahasiswa), sedikit was-was. Karena sehari sebelumnya
ditandatangani pencabutan izin bimbingan tes (BT) oleh Kanwil
P&K DKI.
Untunglah, akhirnya, latihan tes berjalan biasa-biasa saja.
Demikian juga latihan di hari-hari berikutnya oleh BT yang lain
misalnya, oleh BT Teknos, Senin lalu. Soalnya, sudah ada
penjelasan dari Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam
pertemuannya, dengan Kakanwil P&K Jawa Timur, bahwa BT tidak
dilarang. Izin dicabut hanya agar kesan bahwa BT mendapat
backing dari Dep. P&K dihapus. "Bimbingan tes silakan berjalan
dengan tanggung jawab sendiri," kata Menteri pada para wartawan
di Surabaya, Selasa pekan lalu.
Tapi pencabutan izin BT itu sendiri cukup mengundang perhatian.
Karena sudah pasti bimbingan tes tidak muncul tanpa sebab. Dulu,
ketika perguruan tinggi belum melaksanakan tes untuk menyeleksi
calon mahasiswa, BT sama sekali belum terpikirkan. Bahkan ketika
pada 1957, pertama kalinya perguruan tinggi membuka tes masuk,
belum ada tanda-tanda BT mau muncul.
Baru di awal 1960-an, ketika santer-santernya kegiatan
organisasi mahasiswa ekstra universitas, muncul BT. Tapi tujuan
utamanya waktu itu untuk mencari anggota organisasi. BT-BT waktu
itu, diselenggarakan oleh HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, juga CGMI
tentu, jauh dari tujuan komersial.
Baru di pertengahan 1960-an, muncul beberapa BT di Jakarta yang
menarik bayaran. Penyelenggaranya, ya, mahasiswa UI. Tak jelas
motivasi berdirinya BT "swasta" itu. Mungkin beberapa mahasiswa
yang mempunyai semangat wiraswasta melihat BT sebagai sumber
rezeki.
Salah satu BT awal, yang hingga kini masih berjalan ialah BT-nya
Siky Muljono di Jalan Kaji, Jakarta. "Tahun 1964 saya mengikuti
bimbingan tes yang diadakan HMI dan tahun itu saya diterima di
Fakultas Kedokteran UI," tutur Siky, 37 tahun. Setahun kemudian
selain ikut menjadi pembimbing di BT Dewan Mahasiswa UI, ia
mendirikan BT sendiri. Dan jauh dari gambaran BT-BT sekarang
ini, peserta Siky cuma delapan siswa SMA. Sistem
belajar-mengajar BT waktu itu cuma mendiskusikan soal-soal.
"Lulusan SMA waktu itu umumnya menguasai pelajaran dengan baik,"
kenang Drs. Med. yang tak melanjutkan meraih dr-nya ini. Lama BT
kala itu maksimal 3 bulan.
Tujuh tahun kemudian, 1972, Siky mencium perubahan. Diskusi
BT-nya berjalan seret. Siswa SMA ternyata tidak lagi menguasai
pelajaran. Tahun itulah Siky memutuskan untuk memperpanjang
waktu BT-nya menjadi setahun. Toh, usahanya itu tidak bcgitu
menolong. "Tahun 1975 sekitar lima puluh persen siswa saya
tidak diterima di perguruan tinggi negeri," katanya.
Maka Siky pun lantas menubo.h sistem mengajarnya. Ia buang cara
diskusi. "Murid saya buat pasif, saya genjot dengan rumus-rumus
dan soal-soal," tutur orang yang selalu memakai sandal ini.
Hasilnya? "Lumayan. Rata-rata sembilan puluh persen siswa saya
diterima di perguruan tinggi PP I," Jawabnya.
Tak jelas apakah "merosotnya" kualitas lulusan SMA di tahun
1970-an itu, seperti yang dialami Siky, yang mendorong munculnya
BT-BT. Tapi di tahun 1971 memang ada perubahan di dunia
perguruan tinggi. Muncul yang disebut SKALU (Sekretariat
Kerjasama Antar Lima Universitas) beranggotakan UI, ITB, IPB,
UGM, dan Unair. Waktu itulah muncul favoritisme: universitas
SKALU adalah yang terbaik. Memang, sebelumnya pun beberapa
universitas besar, UI dan UGM, misalnya, sudah merupakan
kebanggaan bagi calon-calon mahasiswa. Tapi dengan SKALU citra
itu semakin dikukuhkan. Maka wajar bila pandangan para lulusan
SMA diarahkan ke lima perguruan tinggi negeri itu.
Maka persaingan masuk perguruan tinggi SKALU semakin keras.
Ditambah dengan merosotnya kualitas siswa SMA seperti yang
disinyalir Siky Muljono, logis juga bila anak-anak SMA lantas
mencoba mencari bekal tambahan. Dan memang di sekitar
pertengahan 1970-an itulah lahir BT-BT yang kini laris itu.
Misalnya, 1975 muncul BT Omega di Jakarta. Setahun sebelumnya di
Yogyakarta lahir BT Newton Club.
Selain itu kelompok yang mula-mula menyelenggarakan les-les
privat, dan membuka bimbingan tanpa biaya, segera mengubah
bentuk usahanya. BT Mecphico di Surabaya pun, yang mula-mula
hanya memberikan bimbingan gratis bagi calon mahasiswa Fak.
Kedokteran Unair, pada 1979 memutuskan diri menjadi BT dengan
menarik bayaran. Bahkan memperluas bimbingannya untuk siswa yang
hendak masuk jurusan non-eksakta.
Juga BT IPIEMS, di kota yang sama, yang berangkat dari pelayanan
les privat bagi siswa SMA pada 1969, empat tahun kemudian
mengubah diri menjadi bimbingan tes universitas. Di Bandung, BT
SautSantoso yang pada 1967 hanya memberikan les kepada mahasiswa
tingkat I dan siswa kelas III SMA, di pertengahan 1970-an
menjadi BT yang tidak hanya sekadar memberikan les.
Hal lain yang mungkin mendorong lahirnya dan larisnya BT sesudah
1975 ialah diubahnya Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975. Ini
kaitannya dengan dimulainya pengelompokan perguruan tinggi dari
SKALU menjadi proyek perintis (PP) itu. Waktu itu dinyatakan
jelas-jelas oleh pengelola PP, bahwa soal-soal dibuat
berdasarkan Kurikulum 1975. Maka wajar jika lulusan SMA 1977,
yang belum secara lengkap memakai Kurikulum 1975, dihinggapi
kesangsian. Maka sejak itu BT pun mulai laris.
Singkat kata, BT yang embrionya lebih kurang merupakan bimbingan
yang sifatnya suka rela, telah tumbuh menjadi bisnis. Tak
disangkal oleh sejumlah BT di berbagai kota yang diwawancara
TEMPO, bahwa berkembangnya BT memang karena ada untung. Dengan
terus terang Maringan Sitorus, 27 tahun, pendiri BT KSM,
Jakarta, mengakui yang "mendorong saya membuka bimbingan tes,
ya, aspek bisnisnya itu." Tapi semua pengusaha BT itu langsung
mencak-mencak bila mereka dituding sebagai hanya pencari untung.
"Kami juga punya idealisme," kata Daniel Hanaidi, 39 tahun,
Dirut IPIEMS.
Yang jelas, idealisme atau bukan, kesungguhan BT untuk membuat
siswanya menjadi pintar, setidaknya untuk siap mengikuti tes PP
I, tidak main-main. IPIEMS, misalnya, mempunyai bahkan punya
seksi Litbang (penelitian dan pengembangan). Tugasnya memecahkan
masalah-masalah yang muncul dalam hal proses belajar-mengajar
juga memberi rekomendasi apakah seseorang pantas menjadi
pengajar atau tidak. Di BT ini siswa berhak menolak pengajar
bila mereka merasa tidak cocok.
Ini terjadi juga di BT Pra Gama, Yogyakarta. Januari lalu
sejumah siswa Pra Gama mogok belajar. Mereka menuntut seorang
pengajar yang mereka nilai tidak becus diberhentikan. Tuntutan
ini dikabulkan. "Itulah beratnya menjadi pengajar di sini," kata
Budiana, 25 tahun, mahasiswa Fak. Sastra dan Budaya UGM, yang
menjadi tenaga pengajar di Pra Gama. "Hal seperti itu tak akan
terjadi di sekolah, bukan?" tambah Budiana.
Di BT Mecphico sekali seminggu diadakan diskusi, antara lain
menyangkut komentar-komentar dari siswa tentang para pengajar
mereka. Di BT Kampus 82, Yogyakarta, ada beberapa pengajar yang
khusus bertugas membuat soal-soal yang kirakira mirip soal-soal
yang akan keluar di tes PP-I, III, dan IV.
Lebih dari itu di BT-BT pun ada disiplin. Di BT Siky Muljono
misalnya. Ada aturan yang cukup keras. Siswa yang datang
terlambat di bawah 15 menit akan mendapat pukulan rotan. Siswa
terlambat lebih dari 15 menit tidak boleh mengikuti pelajaran
hingga ada penjelasan dari orangtua siswa. Bahkan yang tidak
bisa menjawab pertanyaan dan tidak mengerjakan PR (pekerjaan
rumah) akan kena rotan pula. Malahan di BT Medika, Medan, bila
tiga hari berturut-turut siswa absen tanpa keterangan apa pun
langsung diberhentikan. "Tanpa mental yang baik, bagaimana
mungkin menjadi orang cerdas," kata Drs. Med. Reinhard Silalahi,
pimpinan BT tersebut.
Tapi disiplin seperti itu ditunjang dengan akrabnya hubungan
antara siswa dan pengajar. Siswa-siswa BT Siky Muljono biasa
bergurau dengan "bos"nya. "Eh, bos, gue kira kita ditutup. Tuh,
di koran katanya izin BT dicabut," kata seorang siswa kepada
Siky, beberapa hari setelah ada pencabutan izin BT. Dan jawab
Siky, juga dengan santai: "Ya, biar. Yang penting kan lu
belajar. Lu kan masih tanggungan gue. Kecuali gue masuk
penjara," -- seperti diceritakan majalah Zaman, 28 Mei.
Pun di beberapa BT siswa boleh datang pakai sandal jepit, boleh
merokok di kelas, boleh tanya apa dan kapan saja kepada
pengajar. Pokoknya, hal-hal formal di sekolah, di BT tak ada.
Asal, dalam hal belajar siswa bersungguh-sungguh. "Lu mau
belajar gue puji, tidak belajar gue hajar," itulah prinsip Siky
yang suka berlatih kung-fu ini.
Tentu saja dari sudut lain hal itu sedikit banyak menyangkut
aspek bisnis pula. Bila ketahuan banyak siswa dari sebuah BT tak
diterima di universitas negeri, tanggung BT itu akan merosot
citranya, dan selanjutnya akan kurang laku.
Tapi penting pula dicatat perubahan metode pengajaran di BT.
Boleh dikata BT-BT yang punya nama kini tak hanya memberikan
latihan soal-soal seperti BT di awal 1970-an. Tapi, BT itu juga
memberikan teori-teori, mirip di sekolah. Bahkan IPIEMS di
Surabaya itu, tahun ini merencanakan membuka SMA (lihat box).
Toh, suara-suara yang menilai BT kurang bermanfaat tak kunjung
padam. Adalah Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, yang pekan
lalu diangkat sebagai rektor IPB untuk kedua kalinya, yang
paling keras mengkritik BT. Sejak jenis usaha ini tumbuh di
awal 1970-a, Andi Hakim sudah mencurigai BT. "Ada atau tak ada
bimbingan tes, calon mahasiswa yang diterima di perguruan
tinggi, ya terbatas," katanya kepada TEMPO. "Adanya BT justru
mengacaukan seleksi penerimaan mahasiswa. Semakin sulit memilih
mana yang benar-benar siap masuk perguruan tinggi dan yang
tidak," lanjutnya. Soalnya, ada yang berhasil lulus tes hanya
karena "emposan BT", padahal anak itu sebenarnya kurang
potensial. Mungkin itulah mengapa output perguruan tinggi kita
masih kecil, bila dibanding jumlah mahasiswa keseluruhan. Dari
Prof. Ir. Sidharto Pramoetadi, direktur Pembinaan Sarana
Akademis, diperoleh data, rata-rata hanya 8-10% yang lulus
sarjana tiap tahunnya dari jumlah mahasiswa seluruhnya. "Yang
ideal 20%," kata Pramoetadi.
Andi Hakim didukung oleh Pater Drost direktur SMA Kanisius,
Jakarta. "BT memang mengisi kekurangan pengetahuan siswa, tapi
dengan cara kilat. Ini gampang menguap setelah si anak duduk di
universitas,' tuturnya. Maka pater ini selalu menganjurkan
siswanya untuk tidak usah mengikuti BT, meskipun ia sendiri
tidak anti-BT.
Itu pula yang selalu dikatakan Padidi kepala SMAN 1, Jakarta,
kepada anak didiknya. "Kalau kalian rajin-rajin mengikuti
pelajaran di sekolah, tak perlu ikut BT," katanya kepada TEMPO,
menirukan ketika ia berpesan kepada siswanya.
Tapi pada umumnya para kepala sekolah dan guru SMA tidak melihat
BT sebagai "berbahaya". Bahkan masuk BT "lebih baik daripada
mereka keluyuran tidak keruan," kata Ibu Suprapti, wakil kepala
SMAN III, Jakarta, SMA yang favorit itu.
Pun yang kini telah duduk di universitas dan dulu menjadi
peserta BT, umumnya mengakui manfaat BT. Terutama dalam hal
memberikan bekal dalam mengerjakan soal-soal tes PP. Dan untuk
mengikuti kuliah selanjutnya? "Pada kuliah tingkat pertama
memang ada gunanya. Banyak hal yang sudah diberikan di BT," kata
Robert Lesang, mahasiswa Fak. Kedokteran Gigi UI tingkat II.
Robert, dulu ikut BT Siky Muljono.
Lalu apa yang terjadi di sekolah? Diakui oleh sejumlah guru dan
kepala sekolah memang waktu untuk melatihkan soal-soal terbatas.
Dan ini bukan salah kurikulum. "Dulu pun ada pendalaman materi
bagi siswa kelas III SMA, yang diberikan di luar jam pelajaran,"
tutur Dirjen Pendidikan Tinggi, Doddy Tisna Amidjaja. "Itu dulu
diberikan untuk menghadapi ujian akhir." Hal yang baik itu pun
sebenarnya disadari banyak kepala sekolah. "Tapi kini sulit
mencari guru dan tempat untuk memberikan pelajaran ekstra itu,"
kata M. Silaban, kepala SMAN I, Medan. "Sekolah digunakan pagi
dan sore, guru-guru banyak yang mengajar tak hanya di satu
sekolah."
Maka usaha SMAN III, Bandung, memang menjadi contoh. Di sekolah
ini ada program yang disebut pemantapan bagi siswa kelas III.
Diberikan di luar jam pelajaran, malahan kadang-kadang diberikan
di hari libur. Yang dimantapkan hanyalah pelajaran yang diteskan
di PP, antara lain Matematika, Kimia, Fisika, Ilmu Pengetahuan
Sosial, Bahasa Inggris -- pelajaran yang juga diberikan di BT.
Ini bisa berlangsung berkat kerja sama BP3 SMA tersebut, yang
mengumpulkan dana dari orangtua murid untuk membayar honorarium
guru yang memberikan pemantapan itu.
"Buat siswa SMAN III tak ada gunanya mengikuti BT," kata Tohidi,
guru Kimia di sini. Toh, masih ada pula siswa SMAN ini yang ikut
BT. Elektra P.N., mahasiswa yang kini duduk di Jurusan Planologi
ITB, tahun 1980 mengikuti sebuah BT di Bandung, selama 6 bulan.
"Wah, kini saya yakin ikut BT tak ada gunanya. Semua sudah
diberikan dan dilatihkan di sekolah saya," tuturnya. Jadi? "Saya
dulu cuma kurang yakin pada diri sendiri saja," tambahnya.
Walhasil, manfaat BT bagi siswa SMA memang tergantung dari
sekolah dari mana siswa itu belajar. Sekolah yang sempat
membcrikan pelajaran ekstra, sempat melatihkan soal-soal, memang
pantas menyatakan BT itu mubazir. Tapi bagi siswa dari sekolah
yang untuk menyelesaikan Kurikulum 1975 saja tak sempat, BT
memang bermanfaat. Tapi kasus Elektra dari SMAN III Bandung itu,
rupanya memperkuat kesimpulan Doddy Tisna Amidjaja. "Betapa
baiknya mutu SMA-nya, bila daya tampung perguruan tinggi masih
tak sebanding, BT akan tetap dicari," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini