Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merger Bukan Solusi Final

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkawinan memang tak selalu bisa menyelesaikan persoalan yang sudah ada sebelum pernikahan terjadi. Begitu pula agaknya yang terjadi dalam perkawinan lima bank di pengujung tahun yang mulai basah disiram hujan ini. Pemerintah memutuskan menggabungkan lima bank yang berada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN): Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspres, Bank Patriot, dan Bank Artha Media. Bila melihat waktunya, tak bisa dimungkiri perkawinan itu memang merupakan langkah penyelamatan agar bank-bank itu tak ditutup. Namun, setelah itu bank hasil merger kemungkinan masih harus mendapat uluran tangan lagi agar betul-betul sehat. Sebagaimana diketahui, BI telah menetapkan tenggat: akhir tahun ini bank-bank harus memiliki CAR (capital adequacy ratio/kecukupan modal dibanding aset tertimbang) minimum 8 persen, dan NPL (non performing loan/kredit macet) maksimum 5 persen. Bila tidak mampu, tak ada ampun, mereka harus gulung tikar. Padahal, sampai Juni lalu keuangan kelima bank itu masih kedodoran. CAR dan NPL mereka masih jauh di bawah ketentuan bank sentral. Praktis hanya Bank Bali yang agak lumayan, dengan CAR sebesar 13 persen, tapi itu pun dengan angka kredit macet yang masih tinggi, yaitu 15,5 persen. Nah, bila bank-bank itu tumbang secara bersamaan, bisa dibayangkan betapa gawatnya keuangan pemerintah. Soalnya, sesuai dengan skema penjaminan (blanked guarantee), bila ada bank yang tutup, pemerintah wajib mengganti dana pihak ketiga yang disimpan di bank tersebut. Kini, dengan digabung, masalah permodalan untuk sementara bisa teratasi. Dalam hitungan Elvyn G. Masasya, bank hasil merger itu kelak akan memiliki CAR 7,9 sampai 8,2 persen. Angka kredit macetnya memang masih tinggi, di atas 10 persen (lihat Agak Lumayan Setelah Kawin). Namun, tak perlu panik. Menurut Elvyn, patokan bank sentral tentang NPL ternyata cuma target indikatif yang tak mutlak harus dipenuhi. ?Saya sudah mengecek hal itu ke Bank Indonesia,? kata pengamat yang disebut-sebut banyak tahu soal rencana merger bank kemarin itu. Toh, persoalan tak lantas tuntas. ?Merger itu bukan solusi final,? kata Elvyn. Lazimnya, bank yang melakukan merger harus menentukan siapa yang akan menjadi surviving bank alias bank yang bertahan dan kelak bakal mengendalikan manajemen. Bank Patriot, Bank Prima Ekspres, dan Bank Artha Media, yang posturnya lebih kecil, jelas harus tahu diri. Mereka tak masuk hitungan. Dengan demikian, yang tersisa tinggal Bank Universal dan Bank Bali. Dan tampaknya saat ini memang terjadi pertarungan antara kedua bank yang sama-sama bergerak di bidang retail dan consumer banking itu untuk menjadi pemimpin. ?Untuk sementara, anginnya lebih kuat ke Bank Bali,? kata sumber TEMPO di kalangan perbankan. Hal itu kabarnya terkait lobi intensif pihak Bank Bali dengan pemerintah. Namun, kedua bank sebetulnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Bank Bali dinilai lumayan dalam mengumpulkan dana dari pihak ketiga tetapi sebenarnya kurang jago meluncurkan kredit. Hingga Juni lalu, Bank Bali mengumpulkan Rp 9,9 triliun, tapi yang dikucurkan sebagai kredit cuma Rp 1,5 trilun (loan-to-deposit ratio-nya cuma 17 persen). Sementara itu, kepiawaian Bank Universal menyalurkan kredit tak diimbangi dengan kemampuan mengumpulkan dana dari masyarakat. Bank Universal, yang mengumpulkan Rp 11 triliun itu, loan-to-deposit ratio-nya mencapai 64 persen. Selama dua tahun terakhir, atau hingga Juni lalu, ?Kami mampu menyalurkan kredit sejumlah Rp 5,2 triliun,? kata Ekoputro Adijayanto, Vice President Bank Universal. Kredit itu terutama mengucur ke sektor otomotif dan minyak sawit, yang kebanyakan merupakan usaha kecil dan menengah (UKM). Di jajaran manajemen, Bank Bali banyak kehilangan perwira tangguhnya sejak dirundung kisruh akuisisi oleh Standard Chartered Bank dan skandal cessie dulu. Tak aneh, kinerja bank berlogo si jempol itu?terutama dalam hal perolehan laba?dalam setahun terakhir terlihat datar. Sementara itu, manajemen Bank Universal, yang kebanyakan berasal dari Astra dan Citibank, masih terbilang solid dan hingga September lalu berhasil mencetak laba Rp 5,5 miliar. Karena itu, menurut sumber TEMPO di kalangan perbankan, Bank Universal lebih layak mengelola bank hasil merger itu kelak, terutama di jajaran menengah seperti kepala cabang dan bagian treasury. Tapi, di jajaran atas, bisa dilakukan kompromi. Elvyn menyarankan agar posisi direktur utama diisi orang luar, dengan syarat profesional dan mengerti bisnis retail dan consumer banking. Selebihnya, posisi direksi lain bisa diisi orang Bank Bali ataupun Bank Universal. Selepas urusan manajemen, bank hasil merger itu masih harus memperbaiki kinerja keuangannya. Soal kredit macet, misalnya, tak ada pilihan selain memindahkan ke BPPN sehingga wajah bank tersebut kelak bisa lebih bersih. Namun, agar pemerintah tak rugi, sebagai imbalannya pemerintah mesti mendapat saham tambahan. Berapa? ?Jumlahnya minimum 80 persen,? kata Elvyn. Lalu, bagaimana cara meningkatkan modal? Ketua BPPN Putu Ary Suta memang sudah mengisyaratkan akan menginjeksi dana tambahan lewat obligasi daur ulang (obligasi rekap yang sudah dibeli kembali oleh pemerintah) yang kini berjumlah Rp 5,2 triliun di BPPN. Tapi, apakah tak ada cara lebih murah di mana pemerintah tak perlu mengeluarkan biaya sama sekali? Ada kok. Kawinkan lagi saja bank tersebut dengan bank lainnya di BPPN. Dan, melihat kemampuan modalnya, bank yang dinilai paling layak mengakuisisi adalah Bank Danamon. Bank yang mendapat suntikan obligasi rekap Rp 26 triliun ini punya CAR di atas 20 persen. Bila hal itu dilakukan, sinergi juga bisa tercipta karena Bank Danamon pun kini banyak bergerak di sektor retail dan consumer banking. Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani
Agak Lumayan Setelah Kawin Nama Bank Sebelum Merger Sesudah Merger CAR* NPL* CAR* NPL* Bank Patriot 7,55 6,6 7,9-8,2 > 10 Bank Prima Ekspres 6,5 17,6 Bank Universal 4,1 7,1 Bank Bali 13 15,5 Bank Artha Media 5,6 7,5 Sumber: riset TEMPO dan hitungan Elvyn G. Masasya *(%)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus