Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Si Kecil Jangan Didoping

Berencana menyalurkan 40 persen dana perbankan untuk usaha kecil dan menengah? Silakan saja. Tapi dianjurkan agar niat yang mulia itu jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA kecil menengah dan koperasi, yang selama Orde Baru tak dipandang sebelah mata, terbukti di masa krisis tampil sebagai penyelamat ekonomi Indonesia. Mungkin sanjungan itu berlebihan, tapi tak dapat disangkal bahwa usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK) kini adalah tulang punggung ekonomi bangsa. Ketika banyak konglomerasi tersungkur bangkrut atau terlilit utang, ribuan UKMK malah bertahan dan meraup laba. Kalaupun berutang, mereka mampu membayar utangnya dengan lancar. Mengapa UKMK yang dianggap rapuh dan cermin keterbelakangan itu ternyata begitu berjaya? Kehati-hatian dan kejujuran, mungkin, adalah dua sumber ketangguhan mereka yang rata-rata tidak dimiliki usaha besar yang senang jorjoran. Pemerintah, yang mulai mengakui sustainability usaha kecil itu, kini berupaya memberdayakan mereka. Caranya? Dengan menyalurkan lebih banyak kredit perbankan ke UKMK, seperti yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan. RUU tersebut kini tengah dalam tahap persiapan untuk dibahas di DPR. Tekad membantu UKMK semakin kuat lantaran jumlah mereka sangat banyak. Menurut data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah, jumlah pengusaha kecil sekitar 39 juta orang, pengusaha menengah 55 ribu orang, dan pengusaha besar 1.950 orang. Sepintas, komposisi itu sangat jomplang. Bila Indonesia mau lebih cepat maju, jumlah pengusaha menengah harus diperbanyak, bahkan lebih banyak dari jumlah pengusaha besar dan pengusaha kecil. Nah, menurut RUU Perkreditan itu, setiap bank wajib menyalurkan 40 persen dananya kepada UKMK. "Jumlah itu sangat wajar untuk mendorong dan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi UKMK," kata Menteri Koperasi Alimarwan Hanan. Namun, di mata pengamat perbankan Elvyn G. Masasya, ketentuan itu tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. "Karakter bank ber-beda-beda, tak semua terbiasa menyalurkan kredit ke UKMK," katanya. Porsi kredit yang harus disalurkan pun dinilainya terlalu besar. "Itu magic number politics," cetusnya. Elvyn tampaknya curiga, jangan-jangan angka itu diusulkan oleh para politisi demi memperbesar dukungan politik bagi mereka sendiri. Direktur Bank Buana, Pardi Kendy, juga merisaukan isi RUU tersebut. Ia menilai, secara konseptual RUU itu mengandung banyak kelemahan. "Dilihat dari tata bahasa dan isinya, penyusunnya mungkin bukan orang yang mengerti tentang dunia perbankan," ujarnya menduga-duga. Ia menunjuk Pasal 7, yang menyatakan bank tak diperkenankan memberi kredit konsumtif yang dapat menyebabkan kesenjangan. Menurut Pardi Kendy, pasal tersebut perlu dijelaskan lagi agar tak ditafsirkan macam-macam dan akhirnya menghambat penyaluran kredit bank. Pasal 21, misalnya, menyebutkan bahwa standar perjanjian kredit dibuat oleh BI. Tapi, pada Ayat 2 ada pengecualian: perjanjian pemberian kredit yang baku tak berlaku untuk UKMK. Juga ketentuan yang menyebutkan bahwa perjanjian kredit dapat dibuat di depan notaris. "Kalau dapat, berarti bukan wajib. Dapat di depan notaris dan bisa juga tidak di depan notaris," kata Pardi, menggerutu. Ada lagi ketentuan bahwa perjanjian kredit untuk UKMK harus dibuat sesederhana mungkin. "Apa maksudnya perjanjian kredit yang sederhana?" Pardi mempersoalkan sambil garuk-garuk kepala. Selain itu, banyak ketentuan yang terasa janggal. Contohnya, peraturan bahwa bank wajib memberi keterangan atas perjanjian kredit. Kalau tidak diberi keterangan, nasabah bisa membatalkan perjanjian tersebut. Nah, bila RUU tersebut diundangkan, bank akan takut memberikan kredit ke UKMK yang tidak mereka kenal. Soalnya, UKMK itu bisa saja menyatakan tak pernah diberi penjelasan sehingga perjanjian batal dan mereka tak perlu membayar. Selain itu, pihak bank diwajibkan meminta kelayakan kredit dari konsultan independen bila hendak menyalurkan kredit (Pasal 9, Ayat 3). "Kalau debitornya cuma pedagang sayur, jangan-jangan honor konsultannya lebih besar ketimbang kredit yang akan disalurkan," tutur Pardi setengah berseloroh. Yang juga terasa mengada-ada ialah bunyi Pasal 18 Ayat 2 tentang kewajiban UKMK membuat laporan berkala. "Padahal laporan kuartalan atau laporan bulanan saja mereka tak punya," demikian Pardy memastikan. Andaikata RUU itu dikoreksi dan disempurnakan lagi, sambutan DPR tentu akan lebih baik. Apalagi bank memang perlu diverifikasi dalam menyalurkan kredit. "Makin banyak yang diberi kredit, risiko makin kecil," kata Dewa Gde Suthapa, Direktur Pelaksana Bank Central Asia (BCA). Untuk mengakomodasi tuntutan perbankan, RUU tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kenyataan di lapangan. "Spiritnya saya setuju, tapi caranya tidak," kata Elvyn. Secara sederhana bisa dikatakan, bila pemerintah ingin mendorong si kecil agar berlari lebih kencang, gunakanlah kiat-kiat yang wajar yang juga tak asing bagi dunia usaha. Tak perlu menggunakan doping. Alih-alih berbuah sukses, akibatnya malah terkena diskualifikasi. Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus