Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mesin Tua Jadi Kelemahan Industri Tekstil Nasional

Para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sepakat bahwa titik lemah industri berada pada proses produksi kain mentah ke kain jadi.

14 Oktober 2019 | 11.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja menyelesaikan produksi kain sarung di Pabrik Tekstil Kawasan Industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat 4 Januari 2019. Kementerian Perindustrian menargetkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada tahun 2019 mencapai 15 miliar dollar AS atau naik 11 persen dibandingkan target pada tahun 2018. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengakui bahwa titik lemah industri berada pada industri antara, tepatnya pada produksi kain mentah menjadi kain jadi. Proses produksi kain itu lemah karena kondisi mesin yang sudah tua, ruang gerak di pasar domestik terbatas, dan ketatnya regulasi lingkungan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, neraca dagang industri kain selalu negatif. API menyatakan volume produksi industri kain mencapai 1,3 juta ton dengan konsumsi nasional sebesar 1 juta ton pada 2017. Idealnya, volume impor kain minimal dengan volume produksi yang mendekati tingkat konsumsi. Namun demikian, volume impor kain mencapai 755.004 ton dengan volume ekspor sebesar 255.025 ton pada 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

API menyatakan sekitar 70 persen dari mesin yang digunakan pada industri tekstil merupakan mesin tua, yang dibuat pada 1990-an. Alhasil, sampel kain yang dapat dibuat dalam waktu 2 jam dengan mesin terbaru harus memakan waktu hingga 10 hari. Rendahnya produktivitas tersebut terbawa ke hilir industri TPT.

“Jadi, garmen yang diimpor dari Cina dan Korea Selatan tetap lebih murah setelah ditambah oleh biaya logistik dan cukai di dalam negeri [dibandingkan dengan garmen lokal,” ujar Ketua Umum API Ade Sudrajat seperti dikutip Bisnis, Senin 14 Oktober 2019.

Ade menuturkan industri TPT merupakan industri yang bertahan melewati krisis 1998 dengan segala regulasi yang memberatkan. Namun, lambatnya peremajaan mesin industri kain membuat struktur industri yang kokok tersebut membuat pertumbuhan industri TPT tertahan.

Ade juga menilai regulasi limbah berbahaya dan beracun (B3) yang diterapkan pada industri kain tidak adil. Pasalnya, industri kain jadi diharuskan menjaga chemichal oxygen demand (COD) dan biologycal oxygen demand (BOD) di level 115 dari posisi sebelumnya 150.

Menurut Ade, hal tersebut tidak adil lantaran industri lain memiliki level COD dan BOD yang lebih tingi seperti industri pulp dan kertas pada 300 dan industri pengolahan minyak sawit pada 600. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab rendahnya investasi, riset, dan pengembangan pada industri kain jadi. Alhasil, produk kain jadi impor memenuhi pasar lokal meskipun kapasitas terpasang industri kain mentah dapat memenuhi konsumsi nasional.

Sekretaris Jenderal API Ernovian G. Ismy mengatakan pertumbuhan ekspor TPT tidak serta-merta menjadi sinyal positif bagi industri TPT. Dia khawatir walaupun industri garmen mencatatkan performa positif, neraca industri tekstil yang selama ini melaju di zona merah dapat membuat net ekspor industri TPT justru menipis.

BISNIS

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus