Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Dunia menerbitkan laporan bertajuk
Bank Dunia menilai Indonesia belum berhasil membenahi regulasi dan memperbaiki efisiensi ekonomi.
Kenaikan pendapatan per kapita tidak mencerminkan perbaikan kesejahteraan.
ANGGAP saja ini dering alarm yang membangunkan kita dari mimpi. Bank Dunia baru saja menerbitkan laporan bertajuk “The Middle-Income Trap”, tentang negara-negara berpendapatan menengah yang terjebak tak bisa naik kelas menjadi negara kaya. Indonesia sepertinya akan masuk perangkap yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesimpulan itu semestinya membuat Presiden Joko Widodo tersentak. Untuk menggalang popularitas, Jokowi gemar mengangkat hal-hal megah dan bombastis tapi tak realistis. Dalam konteks ini, pemerintahan Jokowi menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 yang lantas diadopsi menjadi jargon Visi Indonesia Emas 2045.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sasaran utama Visi Indonesia Emas 2045 adalah kenaikan pendapatan per kapita rakyat Indonesia yang saat ini sekitar US$ 5.200 per tahun menjadi US$ 30.300 pada 2045. Dus, seabad setelah Indonesia merdeka, Indonesia lepas dari jebakan pendapatan menengah, lulus menjadi negara kaya. Presiden terpilih Prabowo Subianto ikut pula mengadopsi jargon populer itu, berniat meneruskan model pembangunan ala Jokowi.
Masalahnya, jargon indah acap tak sesuai dengan realitas. Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill dalam seminar peluncuran “The Middle-Income Trap” di Jakarta, pekan lalu, menilai Indonesia masih belum berhasil membenahi regulasi dan memperbaiki efisiensi ekonominya. Kecuali ada keajaiban, Indonesia tak akan lolos dari jebakan pendapatan menengah.
Berbagai indikator ekonomi memang merefleksikan kenyataan pahit itu. Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi seharusnya dapat menjadi fondasi awal yang kuat. Nyatanya, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stagnan 5 persen per tahun. Padahal, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, ekonomi kita harus tumbuh secara konsisten minimal 8 persen per tahun, bahkan lebih cepat.
Tak hanya stagnan, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi pun lebih berbasis komoditas ekstraksi hasil alam. Di bidang industri, pemerintah memprioritaskan pembangunan peleburan mineral yang juga berbasis hasil alam. Hal ini berlangsung dengan melupakan perbaikan iklim investasi di industri pengolahan atau manufaktur yang lebih kuat, yang seharusnya bisa mendorong penciptaan lapangan kerja dan perbaikan produktivitas. Sektor manufaktur justru kian tergencet lima tahun terakhir. Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai deindustrialisasi yang terlalu dini.
Banyak pekerja kehilangan pekerjaan formal yang semestinya menjadi saluran utama pemerataan pendapatan dan berujung pada perbaikan kesejahteraan. Perubahan profil pekerjaan di Indonesia, terutama lima tahun terakhir, merefleksikan sebuah fenomena yang membikin miris: informalisasi ekonomi. Pekerja formal yang kehilangan pekerjaan terpaksa mengais nafkah di sektor informal.
Per 2023, porsi pekerja informal di Indonesia meningkat menjadi 59,1 persen dari 55,7 persen pada 2019. Walhasil, jumlah warga yang tergolong kelas menengah makin susut. Pada 2019, jumlah kelompok ini masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Tahun ini, jumlahnya tinggal 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta orang.
Sebagian dari mereka yang turun kelas ini akhirnya masuk ke kelompok baru: kaum prekariat atau pekerja informal yang berpenghasilan tak menentu. Profil lapangan kerja yang makin timpang ke arah sektor informal tak akan kuat menyokong pertumbuhan ekonomi 8 persen secara konsisten. Tak mungkin Indonesia bisa menjadi negara berpenghasilan tinggi ketika jumlah warga kelas menengahnya terus menyusut.
Selain itu, tampak jelas kue ekonomi dari ekstraksi sumber daya alam dan penghiliran mineral hanya dinikmati segelintir warga. Kalau toh ada kenaikan pendapatan per kapita, itu tidak mencerminkan perbaikan kesejahteraan secara adil dan merata. Angka itu cuma hasil pembagian produk domestik bruto dibagi jumlah penduduk, tak menunjukkan bagaimana distribusi kekayaannya.
Prabowo Subianto perlu mengubah total strategi pembangunannya kalau memang ingin dicatat sejarah sebagai presiden yang baik. Percuma Indonesia berhasil mencapai status negara berpenghasilan tinggi jika hanya segelintir elite yang menikmatinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ganjalan Mimpi Negara Kaya"