Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBAGA pemasyarakatan kita tak pernah berhenti menjadi pilihan para bandar besar narkotik menjalankan bisnis ilegalnya. Buruknya pengelolaan dan banyaknya petugas yang mudah disuap membuat perdagangan narkotik bernilai triliunan rupiah terus terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh terbaru adalah kasus Hendra Sabarudin alias Hendra 32, penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tarakan, Kalimantan Utara. Narapidana yang pernah divonis hukuman mati karena mengedarkan narkotik pada 2012 di pengadilan tingkat pertama—tapi dikorting hakim pengadilan tinggi menjadi 14 tahun—itu ditangkap polisi karena mengendalikan perdagangan sabu dari dalam penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan temuan polisi, Hendra menjadi pengedar narkotik jenis sabu dari Malaysia ke Indonesia sejak 2017. Dia dicurigai memiliki hubungan dengan Fredy Pratama, bandar narkotik terbesar di Indonesia yang kini menjadi buron dan diketahui tinggal di perbatasan Thailand dan Myanmar. Selama di penjara, Hendra disebut-sebut mengendalikan perdagangan sabu senilai Rp 2,1 triliun pada 2021-2024.
Kisah Hendra makin mengukuhkan persepsi bahwa lembaga pemasyarakatan, yang semestinya tempat pembinaan pelaku tindak pidana, merupakan tempat pendidikan menjadi penjahat sesungguhnya. Sebelumnya, Freddy Budiman, terpidana mati, justru makin leluasa mengendalikan jaringan bisnis jutaan pil ekstasi ketika diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Nusakambangan, Jawa Tengah, penjara dengan pengamanan paling ketat di Indonesia.
Keberadaan lembaga pemasyarakatan sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar menyadari kesalahan dan tidak mengulangi perbuatan pidana. Namun tujuan ideal itu menjadi ambyar karena kegagalan pemerintah membangun sistem lembaga pemasyarakatan yang baik.
Wujud kegagalan itu antara lain buruknya pengawasan dan banyaknya petugas nakal di penjara. Contoh paling mudah adalah leluasanya para narapidana menggunakan alat telekomunikasi. Padahal, jika saja semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia konsisten menerapkan sistem pengacakan sinyal telepon seluler, akses narapidana dengan pihak luar bisa ditutup.
Banyaknya petugas nakal, baik sipir maupun polisi yang bertugas merazia narkotik di lapangan, juga menjadi persoalan laten yang tak kunjung tuntas. Dalam kasus Hendra, misalnya, polisi mencurigai keterlibatan sipir penjara dan petugas Badan Narkotika Nasional yang membiarkan sang bandar berbisnis barang haram tersebut.
Lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan tak lepas dari tumpang-tindih kewenangan pengelolaan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Secara teknis, lembaga pemasyarakatan merupakan unit pelaksana di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Tapi, dalam urusan anggaran dan pengawasan, lembaga pemasyarakatan berada di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum.
Dualisme kewenangan menjadi faktor utama yang membuat pembenahan lembaga pemasyarakatan tak kunjung selesai. Semestinya hanya ada satu pejabat eselon I yang paling bertanggung jawab jika terjadi praktik lancung di lembaga pemasyarakatan.
Tanpa ada langkah perbaikan yang radikal itu, lembaga pemasyarakatan akan terus kembali menjadi tempat “pembinaan” yang baik. Lembaga pemasyarakatan bisa menjadi tempat membina maling ayam menjadi penjahat kakap atau pemakai narkotik menjadi bandar besar.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lembaga Pembinaan Bandar Besar Narkotik"