Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mimpi Minyak di Hutan Akasia

Program kebun sawit untuk rakyat di Kabupaten Siak terbentur ketersediaan lahan, sementara ribuan hektare telantar.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deru buldoser dan alat-alat berat lain yang sebulan terakhir berderak meratakan hutan akasia, tak jauh dari Desa Rantau Bertuah, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Riau, dianggap sebagai pertanda baik bagi nasib warga setempat. Bayangan lahan sawit dan tandan-tandan buah segar sumber rupiah seperti sudah di depan mata. ”Mudah-mudahan kali ini terwujud,” kata Badi, Kepala Badan Perwakilan Desa.

Ada guyonan getir di kalangan warga di sana: ”Kami hidup di tanah lapang, tapi meludah pun sudah jatuh di tanah orang.” Kegetiran semacam itu sudah berlangsung 13 tahun lebih, sejak mereka dipindahkan ke lokasi transmigrasi umum yang menampung warga lokal Siak dan pendatang asal Jawa, Bali, serta Nias itu.

Lahan 600 hektare yang tengah digarap itu memang bakal dibagi untuk mereka. Masing-masing dua hektare tiap keluarga. Ia tetap gembira, kendati ia menyebut masih ada 84 ”pecahan” keluarga yang belum kebagian. ”Programnya tiga hektare per keluarga. Tapi ini pun sudah lumayan,” kata Muslim, kepala desa.

Berpenduduk hampir 2.000 jiwa, desa itu luasnya sekitar 10 ribu hektare. Tapi wilayah yang benar-benar dikuasai warga cuma 400 hektare, termasuk tanah kas desa dan fasilitas seperti sekolah dasar dan kuburan. Selebihnya masuk kawasan hutan tanaman industri (HTI) garapan PT Arara Abadi, perusahaan di bawah Grup Sinar Mas yang mengelola pabrik bubur kayu Indah Kiat.

Badi dan Muslim bercerita, selama ini tak banyak manfaat yang diterima warganya dari hamparan hutan akasia itu. Pekerjaan bukan tak ada. Misalnya tiga bulan pertama saat penanaman, dan tujuh tahun kemudian ketika penebangan, juga sekitar tiga bulan masa kerja. ”Lalu, selama menunggu itu, kami mau makan apa?” kata mereka.

Sifat akasia yang mudah tumbuh dan cepat melahap seluruh lahan tak menyisakan sedikit pun celah bagi tumbuhan lain untuk berbagi hidup. Sialnya, tanaman yang oleh warga dijuluki ”pohon setan” itu tak peduli apakah tempat tumbuhnya masih masuk lahan HTI atau kebun palawija milik warga. Hutan yang homogen juga membuat merana gajah-gajah liar yang kehabisan sumber pangan.

Itu pula alasan warga memasang kawat di sekeliling kebun-kebunnya yang tiap menjelang malam dialiri listrik dari generator. ”Itu untuk mengusir gajah yang sering mengamuk dan merusak tanaman kami,” kata Muslim. ”Gajah-gajah nekat menantang maut begitu karena tak ada lagi pilihan. Nasib kami tak jauh beda,” Badi menambahi.

Nasib kurang beruntung memang bukan hanya menimpa warga Rantau Bertuah. Menurut survei Pemda Siak, setidaknya ada 13.365 kepala keluarga di kabupaten itu yang tergolong miskin dengan rata-rata pendapatan hanya sekitar Rp 300 ribu per bulan. ”Bayangkan, itu terjadi di wilayah kami yang begini kaya,” kata Bupati Siak, Arwin Achmad Saroedji.

Perut bumi Siak memang kaya minyak dan gas. Sebagian besar dikelola PT Caltex Pacific Indonesia, dan boleh jadi masih akan ada ladang-ladang baru yang siap disedot. Bulan lalu saja, para pekerja dikejutkan oleh semburan gas bercampur lumpur minyak ketika tengah memasang tiang pancang pembangunan kompleks kantor DPRD Siak. ”Itu baru di kedalaman kurang dari 20 meter,” kata Arwin. Dari minyak bumi ini, anggaran belanja Siak yang tahun ini mencapai Rp 1,08 triliun ditopang.

Di tengah ketimpangan seperti itulah Arwin mengambil risiko dengan memberi satu lagi janji kepada warganya yang miskin. Janji itu berupa lahan tiga hektare untuk tiap keluarga, lengkap dengan bibit sawit unggul tertanam di atasnya. ”Kemiskinan mereka struktural, tak mungkin beranjak kecuali pemerintah membantu,” katanya.

Pilihan pada kebun sawit tak datang tiba-tiba. Sebab, bukan baru kali ini pemda menggagas program pengentasan warga dari kemiskinan. Tapi sebanyak program itu pula kegagalan ditemui: duit ludes dan mereka yang miskin tak berubah nasibnya (lihat, Setelah Lesap Uang dan Kambing). ”Sekarang kami buatkan kebunnya. Kalau sudah siap panen, baru kami bagi,” ujar Arwin.

Untuk membangun kebun, pemda menggandeng PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Dengan porsi pemilikan minoritas, badan usaha milik negara itu juga akan tergabung dalam perusahaan patungan yang dibentuk pemda untuk menampung sawit rakyat sekaligus mengelola kebun inti.

Warga sendiri akan mendapat semacam upah bulanan, dan pada akhir tahun berhak atas pembagian dividen sesuai dengan hasil kebun milik mereka. Biaya pembuatan kebun, yang rata-rata Rp 28 juta per hektare, dicicil dari situ. ”Mimpi kami, di bawah minyak bumi, di atas minyak sawit,” kata Direktur Umum PTPN V, Mardjan Ustha.

Dengan modal Rp 34 miliar dari kantong pemda, tahap pertama pembangunan kebun seluas 3.500 hektare cukup mulus. Sandungan sempat datang, misalnya isu adanya jatah kebun 250 hektare untuk bupati dan direksi PTPN V. Tak mengganggu benar, isu pun berlalu begitu saja.

Sebanyak 132 batang sawit per hektare kini sudah berumur setahun. Pembibitan tahap dua untuk area 5.200 hektare pun sudah berjalan. ”Hampir sejuta bibit kami siapkan,” kata Buchori, Manajer Siak I PTPN V.

Langkah baru mentok ketika pemda sadar tak banyak lagi lahan tersisa buat mereka, sehingga ada desa yang cuma kebagian dua hektare per keluarga seperti di Rantau Bertuah. Dan masih banyak lagi yang harus menunggu. Setidaknya diperlukan 50 ribu hektare agar seluruh keluarga miskin kebagian, termasuk kebun inti seluas 20 persen dari total lahan.

Tapi, di peta, nyaris seluruh Siak sudah terkapling habis sejak kabupaten itu belum berdiri. Pintu ke arah konversi status hutan pun ditutup oleh Departemen Kehutanan. Yang bisa dilakukan sekarang paling banter adalah mendekati para pemegang izin yang menelantarkan lahannya. ”Kami siap memberi ganti rugi,” kata Arwin.

Dinas Pertanahan Siak mendata, setidaknya ada 11 perusahaan pemegang izin hak guna usaha (HGU), pelepasan hutan, izin prinsip dan lokasi, yang sampai Desember tahun lalu tidak aktif. Mereka antara lain PT Teguh Karsa Wana Lestari, yang memiliki konsesi 7.000 hektare, dan PT Tri Setya Usaha Mandiri, yang punya 10 ribu hektare. Keduanya memegang izin HGU. Sedangkan lahan yang berstatus pelepasan kawasan hutan konversi antara lain milik PT Priyatama Riau seluas 6.000 hektare, dan PT Duta Swakarsa Indah dengan luas 12.600 hektare.

Kepada Ewo Raswa dari Tempo, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban menegaskan pihaknya tidak bisa mencabut izin HGU, meskipun perusahaan itu terbukti menelantarkan lahannya di Riau. ”Itu kewenangan Badan Pertanahan Nasional,” katanya.

Peluang masih terbuka untuk yang berstatus pelepasan hutan. Tapi pencabutan izin harus lebih dahulu melihat jenis izin yang akan dikeluarkan selanjutnya. Jika izin hutan tanaman, peninjauan masih dimungkinkan. Namun, jika berupa hak pengusahaan hutan (HPH), harus menunggu habis izinnya. ”Kalau tidak, kami bisa dituntut,” tuturnya.

Manajer PT Teguh Karsa Wan Lestari, Gunardi, tak membantah pihaknya kesulitan menggarap lahannya. Itu karena banyak warga yang main garap di wilayah konsesinya. ”Maret lalu kami minta bantuan pemda untuk itu,” ujarnya. Tapi ia mengaku belum didekati pemda soal kemungkinan pengalihan hak maupun pembelian.

Kepala Administrasi PT Arara Abadi di Siak, Delfi Iswar, juga tak setuju pihaknya dituding tak memberikan manfaat cukup bagi warga sekitar lahan HTI-nya. ”Selama ini tak ada masalah,” katanya.

Menteri Kaban bahkan mengatakan, Arara Abadi sebenarnya juga sudah mengajak kerja sama dengan masyarakat dalam pengembangan sistem intiplasma. ”Masyarakat seharusnya juga introspeksi,” katanya. Tapi, ia mempersilakan jika ada permintaan warga atau pemda untuk mengukur ulang wilayah konsesi perusahaan milik Grup Sinar Mas itu. Meski kecil, harapan memang masih ada.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus