Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Lesap Uang dan Kambing

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdiri pada 1999 sebagai berkah otonomi, Siak dengan 11 kecamatan kini dihuni sekitar 300 ribu penduduk. Ladang-ladang minyak dan hamparan perkebunan sawit membuat daerah ini termasuk kabupaten dengan anggaran terbesar setelah Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Bengkalis. ”Kelimpahan itu yang kami harap bisa terbagi lebih merata,” kata Bupati Siak, Arwin Achmad Saroedji, kepada Y. Tomi Aryanto dari Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Apa yang membuat Anda berpikir program ini akan berhasil?

Sudah banyak program pengentasan kemiskinan kami buat. Dulu ada Inpres Desa Tertinggal, yang ternyata dananya tak pernah bergulir. Setelah otonomi, kami pernah kasih uang kepada warga miskin untuk membuat kebun karet. Jangankan berputar, uangnya malah dibelikan gergaji mesin dan mereka menebang hutan.

Siang kami kasih sapi dan kambing, malam mereka jual. Besoknya mereka lapor kecurian. Orang Melayu bilang, ”Ujung hilang, pangkal lesap.” Tapi kami tak bisa marah karena nyatanya mereka perlu makan hari itu. Dan yang ada hanya uang yang kami berikan.

Kali ini kami buatkan kebunnya, baru dibagi. Intinya seperti perkebunan inti rakyat (PIR). Ujungnya reformasi agraria.

Awalnya ini ide siapa?

Tahun 2001, Pak Mardjan Ustha (Direktur Umum PT Perkebunan Nusantara V) datang pada saya bawa gagasan ini. Tapi kami tak pengalaman, lalu minta bantuan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, dan kami mensurvei keluarga miskin sebagai calon petani. Data standar hasil survei Biro Pusat Statistik kami tambahi kriteria baru, apakah mereka benar miskin atau hanya malas padahal punya lahan luas.

Bagaimana Anda yakin tak ada manipulasi data penerima lahan itu?

Kami bentuk tim gabungan. Warga kami kumpulkan di balai desa. Bukan hanya fotonya yang dicocokkan, tetangganya pun kami tanya. Kalaupun ada petugas coba main-main, itu akan sulit di lapangan.

Anda tak khawatir akan ada ketegangan karena kecemburuan antarwarga, terutama dari mereka yang tak kebagian lahan?

Kami katakan kepada mereka, ini kebun buat yang miskin saja. Kau sudah kaya, tak perlu lagi. Karena itu, kami harus obyektif.

Apa hambatan terbesar?

Selain soal lahan, yang terberat adalah mengubah kultur Melayu yang terkenal malas. Kultur perkebunan menuntut disiplin. Perlu satu generasi. Tapi, yang kita pikirkan anak-anak mereka nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus