SEBUAH pesawat jet berwarna putih mendarat di lapangan udara
internasional Charles de Gaulle pekan lalu. Yang empunya
pesawat, Menteri Perminyakan Arab Saudi Sheik Ahmed Zaki
Yamani, melempar senyum kepada para wartawan dan juru kamera
yang mencegatnya. "Arab Saudi belum merencanakan untuk menaikkan
harga minyaknya lagi," katanya.
Sekalipun begitu Zaki Yamani yang singgah di Paris dalam
perjalanan pulang dari Karakas, tak menutup pintu akan
kemungkinan naiknya harga. "Harga minyak Saudi yang sekarang
memang berbeda jauh dengan yang berlaku di pasaran minyak
internasional," tukas Yamani. Sejak Arab Saudi melambungkan
harga minyak Arabian Light -- yang dipakai sebagai patokan OPEC
-- dari US$18 menjadi US$24 per barrel, bagaikan suatu estafet,
tindakan yang drastis itu juga diikuti banyak anggota lain.
Indonesia misalnya, sejak 17 Desember lalu menaikkan harga
minyaknya rata-rata dengan US$2 per barrel. Ternyata mulai 1
Januari 1980, Pertamina akan memberlakukan harga minyak baru,
yang bervariasi antara US$24,50 sampai US$30,75 per barrel
(lihat box). Aljazair, Libia dan Nigeria sudah mengangkat harga
minyak mereka rata-rata jadi US$30 per barrel. Tapi sejalan
dengan keputusan Saudi, mereka juga menyatakan kenaikan itu
berlaku surut sejak 1 November lalu. Dan harga kontrak minyak
kualitas ringan Iran juga naik dengan US$5 per barrel, menjadi
US$ 28,50 per barrel.
Sesungguhnya dalam sidang tertutup di Karakas, Sheik Yamani
sudah mendapat persetujuan dari Raja Khalid di Ryadh untuk
menaikkan harga jenis Arabian Light itu dengan US$2 lagi per
barrel. Tapi sidang menjadi buntu ketika aki Yamani berbeda
pendapat tentang berapa besar itu diferensial -- perbedaan harga
minyak karena kualitas dan jarak pengangkutan -- dengan anggota
seperti Libia dan Aljazair.
Bisa Lebih Licin
Diferensial yang bisa disetujui Arab Saudi tak lebih dari
US$1,47 per barrel. Menurut perhitungan Sekretariat OPEC di
Wina, yang kini diketuai Rene G. Ortiz, asal Equador,
diferensial yang berlaku untuk Libia dan Aljazair7 setelah
memasukkan berbagai faktor, mencapai selisih US$3 per barrel
dari harga patokan jenis Arabian Light crude. Tapi Sheik Yamani
tak mau maju sedikit pun, sekalipun kedua negara minyak Afrika
itu sudah bersedia menurunkan tuntutan diferensial mereka dari
US$5 per barrel menjadi US$2,5 per barrel.
Maka untuk memperkecil perbedaan harga minyak terendah dan
tertinggi yang kini berlaku di pasaran kontrak itu, beberapa
anggota OPEC yang tergolong kelompok 'moderat' kabarnya sedang
membujuk Arab Saudi agar bersedia menaikkan harga patokan
menjadi US$26 per barrel.
Venezuela, tuan rumah sidang reguler OPEC ke-55 itu, telah
menaikkan harga minyaknya bersama Arab Saudi empat hari sebelum
konperensi. Demikian pula Qatar dan Uni Emirat Arab. Kini
Menteri Pertambangan dan Energi Venezuela Humberto Calderon
Berti untuk kedua kalinya menaikkan harga minyaknya dengan US$2
per barrel.
Tindakan Venezuela itu, yang ternyata akan berlaku tanggal 1
Januari 1980 ini, pasti akan diikuti oleh kelompok moderat
lainnya. Terutama yang belum menaikkan harga minyak mcrcka. Para
pemimpin OPEC itu mengharapkan agar Arab Saudi menaikkan
harganya dengan US$2 per barrel lagi mulai awal Februari 1980.
Kalau itu benar terjadi, maka sidang istimewa yang direncanakan
akan berlangsung di Taif, Arab Saudi April nanti untuk mencari
keseragaman harga minyak OPEC, mungkin bisa lebih licin
jalannya.
Tapi semua itu terpulang kepada para pemimpin di Riyadh jua.
Menteri Perminyakan Arab Saudi Zaki Yamani, dalam konperensi
pers yang banyak mendapat perhatian 20 Desember lalu, meramalkan
akan terjadinya suatu kelebihan penawaran (glut). Sembari
menudingkan telunjuknya ke arah para wartawan yang memenuhi
Press Centre Eotel Tamanaco, Karakas, Sheik Yamani berkata:
"Akan timbul suatu glut. Dan akan terjadi suatu penurunan dalam
harga minyak di pasaran spot. Saya bisa melihatnya dengan jelas.
Dan itu akan terjadi di akhir kuartal pertama tahun 1980 ini."
Memberi komentar terhadap ramalan Zaki Yamani, Menteri
Perminyakan Iran Ali Akbar Moinfar kepada para wartawan
mengatakan akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan
harga. "Bila benar nanti terjadi suatu glut, maka Iran akan
mengurangi produksi daripada menurunkan harga," katanya.
Apa yang akan terjadi di negara seperti Iran sekarang, seperti
dikatakan seorang pengamat OPEC, memang masih merupakan
teka-teki. Tapi seorang anggota delegasi Libia, sesaat sebelum
meninggalkan lapangan terbang Karakas, yakin sang harga tak akan
turun. "Yang pasti tidak dari negeri saya," katanya. Dia
menyatakan Libia akan menekan produksi minyaknya dari 2,2 juta
barrel sehari menjadi 1,5 juta barrel sehari, sedikit di bawah
produksi rata-rata sehari minyak Indonesia yang 1,6 juta barrel
lebih. "Itu akan dimulai awal tahun 1980," katanya.
Bagi Libia yang berpenduduk sekitar 2« juta, menekan produksi
minyak tak akan mengganggu jalannya pembangunan. Tindakan untuk
berhemat-hemat dengan hartanya yang mahal itu, selain
bijaksana, juga akan membantu kemungkinan untuk menghindarkan
timbulnya glut, kelebihan penawaran yang bisa menjatuhkan harga
minyak.
Akankah rencana penurunan produksi minyak Libia itu diikuti pula
dengan para anggota lain, seorang anggota delegasi Indonesia
menyangsikannya. "Hanya Arab Saudi saja yang mampu untuk
menurunkan produksi, tanpa mengalami kesulitan dana
pembangunan," katanya.
Arab Saudi yang mampu menyedot di atas 12 juta barrel sehari,
untuk tahun 1980 ini sudah berjanji tak akan menekan produksi
minyaknya di bawah 9,5 juta barrel sehari. Sekalipun harganya
kini naik US$6 per barrel, keputusan Saudi itu telah melipur
lara pembeli terbesarnya Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini