APA arti berita dari Den Haag untuk Anda? Jika Anda pengusaha di kota besar, tenanglah berkonsentrasi dalam bisnis. Tak usah kuatir dalam waktu dekat akan ada devaluasi. Tentu saja kalau tak ada aral melintang. Dan aral itulah yang sejauh ini tak terbayang dari sidang kelompok negeri pemberi bantuan yang disebut IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia), yang pekan lalu berlangsung di gedung Buitenlandse Zaken atau Deparlu Belanda di Den Haag itu. Seusai sidang, Menko Ekuin Indonesia, Radius Prawiro, mengungkapkan bahwa para donor itu telah menjanjikan bantuan sekitar 4 milyar dolar AS. Sebagian dari pinjaman ringan itu, yakni sekitar 2,4 milyar dolar, di antaranya 600 juta dolar dari Exim Bank Jepang, diberikan sebagai pinjaman khusus (speaal assstance loan), seperti yang disarankan Bank Dunia. Bantuan khusus itu jelas akan menolong pemerintah mengamankan neraca pembayaran. Dengan begitu, ada uang masuk untuk menutupi defisit yang terjadi karena penerimaan dari ekspor, investasi asing, dan lain-lain masih belum menutupi kebutuhan impor dan pencicilan utang. Amannya neraca pembayaran berarti tak ada dorongan ke arah devaluasi. Pinjaman khusus itu - praktis untuk kedua kali ini diterima Indonesia - berbentuk devisa tunai. Ia bisa ditarik pemerintah dalam tempo satu tahun, bisa dijual di bursa valuta asing lewat BI untuk mendapatkan rupiah, dan rupiahnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk membiayai pekerjaan sipil proyek-proyek pemerintah. Soalnya, bantuan jenis ini tidak akan dipakai untuk membayar utang luar negeri, melainkan untuk membiayai pekerjaan pembuatan jalan-jalan di 200 kabupaten, membiayai proyek-proyek PIR, dan mendorong kegiatan para eksportir. Berarti: kesempatan kerja dan usaha. Keuntungan lain dari special assistance loan ini, menurut Laporan Bank Dunia: pinjaman itu tak akan terlalu memberatkan pemerintah RI. Bunganya, yang datang dari IGGI, toh cuma sekitar 3% setahun (yang dari Exim Bank Jepang dua kali, tetapi relatif enteng juga: sekitar 6%). Bandingkan dengan beban ini: dua tahun silam, pemerintah terpaksa meminjam dari sindikasi bankbank komersial dan IMF. Tentu saja dengan persyaratan berat: masa pencicilannya relatif singkat (lima tahun), berbunga lebih dari 7%. Pinjaman dari IMF itu pun hanya boleh dimanfaatkan untuk mengamankan neraca pembayaran. Yang juga meringankan dari pinjaman khusus ini: masa angsurannya berjangka panjang (sampai 30 tahun3. Ada juga tenggang waktu masa cicilan sekitar 10 tahun. Rincian dari mana datangnya bantuan khusus cukup menarik, karena tampak makin besarnya peran Jepang di sini: dari pemerintah Jepang (US$ 1.100 juta), Bank Dunia (USS 300 juta), Bank Pembangunan Asia (US$ 150 juta), Belanda (US$ 84,29 juta), AS (USS 67 juta), Prancis (US$ 39,96 juta), dan Jerman Barat (US$ 22,93 juta). Kelonggaran yang tampak dari kuantitas bantuan khusus itu pastilah karena Indonesia, sebagai peminjam, bukan pihak yang rewel. Kata Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy kepada wartawan TEMPO Sapta Adiguna di Deri Haag, "Semua syarat yang dikehendaki para donor sebenarnya sudah dilakukan. Mereka sadar bahwa deregulasi dan debirokratisasi yang diambil Indonesia ada biayanya, terutama menyangkut pembayaran pajak dan neraca pembayaran." Mungkin itu sebabnya juga mengapa seluruh bantuan IGGI tampak naik. Tahun lalu, para donor di IGGI itu mengikrarkan bantuan berjumlah US$ 3.190 juta, terdiri atas bantuan proyek sebesar US$ 2.440 juta dan bantuan program sebesar US$ 750 juta. Ketika itulah Indonesia mulai meminta (dan menerima) bantuan khusus. Dari Bank Dunia pada awal tahun anggaran 1987-88 bantuan itu sebesar US$ 300 juta dan sebesar US$ 905 juta dari Exim Bank Jepang, serta USS 200 juta dari Belanda. Dengan berhasilnya proyek yang dibiayai bantuan khusus ini, Indonesia dapat kepercayaan baru lagi. Tahun ini, IGGI menjanjikan bantuan US$ 4,050 milyar, suatu jumlah terbesar sejak IGGI dibentuk 21 tahun silam. Rincian besarnya pembagian bantuan proyek dan bantuan program memang belum diuraikan. Bantuan program ini bisa dirupiahkan, seperti halnya bantuan khusus. Bedanya: bantuan program dilakukan bertahap dalam lima tahun, sedang pinjaman khusus bisa ditarik sekaligus dalam tempo setahun. Di tahun bantuan tadi, menurut Menteri Keuangan Sumarlin, ada juga yang berbentuk hibah. Antara lain dari Australia dan Kanada (100% hibah), Belanda (60%), AS (57%), dan sebagian lagi dari Jepang (masih dirundingkan). Meningkatnya bantuan yang serba ringan ini memang melegakan banyak kalangan masyarakat. Hanya ada catatan dari DPR: Imam Churmen, dari FPP, mengatakan bahwa pemerintah tak pernah membicarakan soal bantuan terlebih dahulu dengan DPR, sesuai dengan UUD 1945. Iwan Jaya Azis, ahli ekonomi dari FE UI, berbicara dari segi lain. Ia lihat ada kemajuan dari bantuan IGGI sekarang, karena sebagian besar dari pinjaman itu tak berbentuk bantuan proyek - yang berupa barang impor untuk pembangunan - melainkan bantuan program dan pinjaman khusus yang keduanya dapat dirupiahkan. Toh Iwan melihat pemerintah belum tampak berusaha memperkecil risiko dengan menyeimbangkan komposisi jenis mata uang asing yang diterima. Yen masih dominan, sementara diketahui bahwa menguatnya valuta Jepang itu akhir-akhir ini memberatkan cicilan utang Indonesia. Pemerintah sendiri sudah berusaha. Pinjaman dari Exim Bank Jepang, misalnya, yang 600 juta dolar itu, menurut Radius Prawiro, sudah ditentukan 1/3-nya berbentuk dolar dan 2/3 lagi berbentuk yen. "Pinjaman dolar akan dibayar kembali dalam dolar, yang yen dikembalikan dalam yen," ujar Radius. Dari Den Haag memang tak semuanya serta-merta ringan. Tapi ya lumayan. Max Wangkar, Bachtiar Abdullah, Yopie Hidayat (Jakarata), Sapta Adiguna (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini