PERUSAHAAN penangkap udang Jepang mengeluh. Empat tahun terakhir ini, hasil tangkapan udang mereka di laut sekitar Maluku dan Irian Jaya cenderung merosot terus. Menurut mereka, sekarang sebuah kapal paling banter hanya bisa menangkap udang 210 kg, padahal pada tahun 1970-an masih bisa menangkap 250 kg sampai 300 kg sehari. Kalau tahun ini masih rugi, sejumlah perusahaan Jepang itu menyatakan sedang berpikir-pikir untuk angkat kaki dari Laut Arafuru. Kata Hashimoto Kunihiko, asisten perwakilan Hanwa Co. Ltd. di Jakarta, menurunnya hasil tangkapan udang itu benarbenar membuat pusing kepala mereka. Menurut importir udang ini,beberapa perusahaan penangkapan "ada yang sudah mulai merugi", tanpa menyebut nama perusahaan itu. Dari catatan pemerintah, di sekitar perairan Maluku dan Irian Jaya kini beroperasi tujuh PMA Jepang - di samping empat PMDN, delapan swasta nasional, dan sebuah perusahaan negara. Kapal penangkap udang yang beroperasi di sana berjumlah 150, dengan bobot mati 100 ton sampai 160 ton. Menurut Dirjen Perikanan Abdurachman, kapal yang diizinkan beroperasi di sana sesungguhnya 196 kapal. Dengan kondisi yang sekarang, kehadiran 150 kapal itu dianggapnya, "Masih jauh berada di bawah jumlah maksimal yang 296 buah." Kapasitas produksi udang di sana sekitar 18.000 ton setahun, sedangkan yang ditangkap ditaksir baru 8.000 ton. Karena alasan itu, Abdurachman beranggapan, "Hasil tangkapan udang di sana masih jauh dari kapasitas produksi perairan setempat." Jadi, apa soalnya? Menurut pengusaha Jepang, yang berniat pergi itu, besar kemungkinan jumlah kapal penangkap udang di Arafuru sekarang sudah melebihi daya dukung perairan di sana. Dia mengungkapkan tentang hadirnya para pemburu udang tanpa izin, yang dianggapnya telah menambah jumlah kapal. Dirjen Abdurachman rupanya tak menutup kemungkinan itu: sejumlah kapal Taiwan masuk ke sana tanpa izin - apalagi mengingat Taiwan yang lautnya tipis punya armada penangkap ikan sampai 14.000. Tapi boleh jadi berkurangnya populasi udang di Laut Arafuru itu karena suhu di sana berubah tajam. Menurut pengusaha Jepang itu, tahun lalu, suhu laut di sana turun dua sampai tiga derajat di bawvah temperatur biasanya yang 30 derajat Celcius. Untuk membenarkan anggapan itu cukup sulit. "Perlu penelitian panjang untuk mengukur kembali potensinya," ujar Dirjen Abdurachman. Sementara penelitian belum dilakukan, pelacakan mengenai penyebab menyusutnya populasi itu tentu masih main tebak-tebakan. Menurut literatur, udang laut biasanya, sih, tahan terhadap fluktuasi tajam perubahan suhu sekalipun. Si bongkok ini kabarnya masih bisa tahan menghadapi menurunnya suhu dari 31 derajat pada siang hari jadi 22 derajat ketika malam hari, jika musim kemarau tiba. Karena itu, si bongkok, yang banyak mengandung kolesterol ini, disebut mempunyai sifat eurythermal. Udang, sekalipun kelihatan lamban berenang, ternyata tidak mudah di tangkap. Kapal jenis pukat udang yang beroperasi di perairan Maluku dan Irian Jaya itu, misalnya, paling banter hanya bisa menjaring udang 20% sampai 30% dari seluruh hasil tangkapan. Selebihnya, menurut Dirjen Abdurachman, adalah ikan. Persentase penangkapan ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pukat harimau yang hanya 10% sampai 15%. Sayang, ikan-ikan itu belum bisa dimanfaatkan benar karena ruang penyimpanan di kapal dirancang untuk udang, dan lagi pula harganya kurang menarik. Pada umumnya memang tujuh PMA Jepang itu, yang menurunkan 86 kapal pukat udang, tak peduli dengan hasil samping berupa ikan. Yang masih mereka pedulikan sekarang adalah kenyataan naiknya biaya pemakaian BBM. Pada 1980 mereka hanya mengeluarkan Rp 39.000, tapi kini sudah Rp 242.000 per kiloliter - karena hampir setiap tahun BBM naik. Upah buruh juga harus mereka naikkan. Sayangnya, kenaikan blaya ini tidak diimbangi dengan meningkatnya hasil tangkapan. Masa puncak penangkapan udang laut tampaknya sudah lampau. Menurut statistik para produsen udang Jepang, tahun lalu, jumlah udang yang bisa ditangkap d Laut Arafuru hanya sekitar 5.200 ton. Turun tajam di bandingkan dengan 1981 yang mencapai hampir 8.000 ton. Mungkin karena itu, ekspor udang Indonesia lima tahun terakhir ini kelihatan cenderung turun dalam volume, dan hanya naik sedikit dalam nilai. (Lihat: Grafik). Tahun 1984, ekspor seluruh udang Indonesia ditaksir meliputi 45 ribu ton. Yang 24 ribu ton (49,2 milyar yen atau Rp 221 milyar) masuk ke Jepang, atau hampir 14% dari seluruh impornya. Jenis udang yang diekspor kc Negeri Matahari Terbit itu adalah white, pink, black tiger, cat, dan yellow. Menurut Hashimoto dari Hanwa, dua jenis udang yang terakhir itu sekarang mulai berkurang tangkapannya di laut. Sedangkan yang lain, "Meskipun di laut juga susut, bisa ditambakkan, jadi tidak ada persoalan," katanya. Budi daya tambak udang tampaknya perlu digalakkan jika tidak ingin devisa yang di dapat dari ekspor si bongkok turun. India dan Taiwan sudah memulainya. Pasar kedua negara itu di Jepang cukup kuat. Kalau tidak segera diperhatikan bukan tak mungkin udang akan bernasib seperti minyak di pasar Jepang. Eddy Herwanto Laporan Praginanto, Putut Trihusodo (Jakarta) & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini