Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Robohnya Gereja Tuhan

Jamiden memenangkan gugatan rumah dan tanah dari pendeta farel yang sudah menjadikannya gereja gereja tuhan di Jl. Aksara, Medan. Gereja dieksekusi paksa, dirobohkan. (hk)

22 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM puluh orang anggota Gereja Tuhan Di Indonesia (GTDI) tengah khusyuk berdoa dalam kebaktian Minggu di gereja mereka Jalan Aksara, Medan, ketika muncul petugas-petugas pengadilan dengan pengawalan polisi datang mengguncang. Bangunan gereja kayu itu pun roboh. Jemaat berhamburan keluar. Tak ada korban jiwa, tapi rumah ibadat itu sudah rata dengan bumi. "Ya, Tuhan. Ampunilah kesalahan orang yang berdosa kepada-Mu," bisik seorang jemaat dengan wajah pucat karena kaget. Hari itu, awal bulan ini, memang sebuah keputusan Mahkamah Agung di laksanakan petugas pengadilan yang dipimpin Panitera Dharma Bakti Harahap. Dalam suatu putusannya, November 1984, Mahkamah Agung mengatakan bahwa tanah dan bangunan yang dijadikan gereja GTDI di Jalan Aksara itu adalah milik Jamiden Silalahi. Karena itu pula Pendeta Farel Nainggolan, masih paman Jamiden, yang memimpin gereja itu diperintahkan menyerahkan tanah dan bangunan itu kepada pemiliknya. Jamiden, 48, dalam gugatannya mengaku sebagai pemilik yang sah atas tanah seluas 13 x 36 meter tempat gereja itu berdiri. Ia, katanya, membeli tanah itu pada 1958 dari Tan Tjin Po, dan membangun dua buah rumah di tanah itu. Salah satu rumah itu, cerita Jamiden, sejak 1960 disewakannya kepada Farel dengan harga Rp 100 ribu setahun. Tapi, menurut Jamiden, pamannya itu hanya dua tahun membayar uang sewa. Bahkan, menurut gugatan Jamiden, belakangan Farel mengatakan tanah dan bangunan itu miliknya. Tapi Farel punya bukti-bukti sebaliknya. Pendeta itu mengaku membeli tanah itu, 1957, dari F. Aritonang. Dua tahun kemudian, menurut Farel, ia membangun dua buah rumah dan menyewakannya kepada orang lain. Baru pada 1977 bangunan itu dijadikannya gereja yang tergabung dalam GTDI. Sampai saat gereja itu dirobohkan, menurut pendeta itu, jemaatnya mencapai 200 orang. Selain itu, sekitar 100 orang anak-anak bersekolah Minggu di sana. Jamiden menuduh bukti-bukti Farel itu palsu. Sebab itu, sebelum menggugat perdata, Jamiden mengadukan pamannya ke polisi dengan tuduhan memalsukan surat-surat tanah. Pada 1980 Farel dihukum 6 bulan penjara. Pendeta itu menyatakan banding, tapi sampai sekarang perkaranya belum diputus pengadilan tinggi. Pada 1981, Jamiden menggugat Farel untuk menyerahkan bangunan dan tanah itu. Seperti di sidang pidana, Farel kembali mengajukan bukti-bukti bahwa ia pemilik sah tanah dan bangunan itu. Hakim Padmo Suratmo tidak menanggapi bukti-bukti itu. "Sebab, bukti-bukti sudah dinyatakan palsu di sidang pidana," begitu pertimbangan Padmo. Padmo berkeyakinan bahwa pemilik sah harta yang disengketakan itu adalah Jamiden. Keputusan Padmo itu kemudian dikuatkan oleh peradilan banding dan kasasi. Menurut Dharma Bakti Harahap, yang melaksanakan eksekusi itu, sejak awal 1985 sebenarnya Farel sudah diperingatkan untuk mengosongkan gereja itu. "Malah Jamiden telah menawarkan ongkos pindah sebesar Rp 200 ribu. Tapi Farel tidak mempedulikan," ujar Dharma. Sebab itu, eksekusi paksa dilakukan. "Bagi pengadilan, yang dieksekusi itu bukan gereja, tapi tanah dan rumah," tambah Dharma lagi. Tapi bagi ketua umum GTDI, Pendeta Dr. S.B. Pardede, bangunan yang dieksekusi pengadilan itu adalah salah satu dari 300 buah gereja GTDI yang tersebar di 11 buah provinsi di Indonesia. Sebab, katanya, Farel telah menyerahkan gereja miliknya itu kepada GTDI. "Kenapa pengadilan tega betul melakukan tindakan itu," Pardede menyesali. Farel juga menyesali hal yang sama. "Padahal, saya sudah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung meminta eksekusi ditunda agar kami berkesempatan mencari ganti gereja itu," kata Farel. Tapi, sebelum balasan suratnya datang, eksekusi sudah berjalan. Selain kehilangan gereja, katanya, ia mengalami kerugian lain: perabot rumah tangganya rusak akibat eksekusi paksa itu. Yang lebih kehilangan adalah jemaat Farel. Sampai pekan lalu, anggota gereja itu masih mengadakan kebaktian di puing-puing bekas gereja mereka. "Kami bukan mau memprotes pengadilan dengan kebaktian di sini. Hanya saJa, kami belum mendapat tempat baru untuk kebaktian," kata Pardede, yang memimpin kebaktian hari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus