Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Peluang Buat no.1

Presdir Citibank John S. Reed singgah ke Jakarta. Menyatakan ingin mengembangkan pasar uang dan pembiayaan ekspor nonmigas. Indonesia tetap membatasi pinjaman komersial, tapi Teed masih melihat cerah.(eb)

22 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA cukup penting bagi Citibank. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, negara ini memberikan penghasilan terbesar bagi seluruh operasi lembaga keuangan terkemuka dari Amerika itu. Jadi bisa dimengerti jika John S. Reed, presiden direktur Citibank, merasa perlu singgah ke Jakarta setelah mengunjungi sejumlah negara di Asia Tenggara dan Beijing. "Lingkungan untuk melakukan usaha perbankan di sini cukup baik bagi Citibank selama 17 tahun beroperasi," katanya di hotel Hilton, Jakarta, pekan lalu. Reed tampaknya tidak ingin basa basi. Banyak kemajuan dicapai lembaga keuangan terbesar di dunia itu, yang kekayaannya Desember 1984 bernilai US$ 150 milyar atau hampir delapan kali APBN 1985-1986, sejak masuk Indonesia. Kekayaan cabangnya di Jakarta saja sekarang sudah US$ 1.068 milyar (Rp 1,2 trilyun), atau lebih dari 10 kali lipat kekayaan ketika masuk ke sini, 17 tahun lalu. Nasabahnya di sini umumnya pengusaha dan perusahaan terkemuka, seperti Liem Sioe Liong dan PT Garuda. Kepada Presiden Soeharto, Reed mengemukakan minat Citibank untuk ikut membantu pengembangan pasar uang, dan menolong pembiayaan ekspor nonmigas Indonesia. Kata Reed, mengutip Kepala Negara, ekspor nonmlgas Indonesla menghadapi persoalan cukup serius karena skala perusahaan yang melakukan ekspor kecil-kecil. Hingga tentu saja komoditinya jadi kurang bersaing. Secara terbuka Reed menyebut, pengelolaan utang-utang luar negeri Indonesia cukup bagus, hingga posisinya di mata para bankir tetap positif. Kendati demikian, Presiden menyatakan kepada Reed, Indonesia tidak akan memperbesar pinjaman komersialnya. Kebijaksanaan itu sudah lama di gariskan supaya tidak membebani pemerintah dalam mencicil utang nantinya. Apalagi proyeksi pendapatan pemerintah dari hasil ekspor belum akan membaik dalam waktu dekat. Karena alasan itu, ada tanda-tanda, untuk tahun anggaran ini pinjaman komersial akan dibatasi hanya US$ 1,5 milyar. Tapi pembatasan itu bukan berarti akan mempersempit ruang gerak Citibank. Seperti juga bank asing lainnya, lembaga keuangan ini cukup cerdik dalam memberikan pembiayaan bagi para nasabahnya yang berada di luar Jakarta - sekalipun mereka tidak boleh berkantor di luar Jakarta. Mereka mengatasi ketentuan bank sentral itu dengan melakukan sindikasi bersama bank swasta setempat. Sampai sekarang, "Tak ada tanda-tanda kami boleh membuka cabang di luar Jakarta dalam waktu dekat," katanya. Pun, Citibank tetap melihat peluang cukup besar di Indonesia, meski pendapatan minyak pemerintah terancam menurun. Betapapun harga minyak mulai melemah, Reed, yang menjadi orang pertama Citibank mulai September 1984, beranapan bahwa Indonesia beruntung punya konsumen yang tidak bergantung pada pembelian minyak di pasar tunai. Kontrak jangka panjang itu, katanya, cukup baik untuk melindungi kepentingan pemerintah. Dalam situasi seperti itu, Reed tampaknya masih melihat Indonesia tetap merupakan pasar terbaik untuk menjual jasanya. Sebagai bank terbesar di dunia, Citibank tampaknya paling siap dibandingkan sejumlah bank Amerika lainnya, yang sedang menghadapi krisis pinjaman macet. Federal Reserve Bank, belum lama ini, memerintahkan Bank of America dan First Chicago Corp., misalnya, agar menaikkan modal dan cadangan piutang macetnya yang tadinya kurang dari 5% jadi 6% dari seluruh kekayaan mereka. Untuk memenuhi anjuran itu, Bank of America dikabarkan berniat menjual kantor pusatnya di San Francisco. Tapi, Citibank tidak melakukan langkah itu. Kata John Reed, tahun lalu, Citibank menambah modal US$ 2,3 milyar lagi (8% dari seluruh kekayaannya), sehingga kini modalnya jadi US$ 12 milyar. "Kami tidak mengalami kesulitan karena kami kuat dari sudut permodalan," katanya. Bankir berusia 45 tahun ini rupanya tidak puas hanya di situ, "Kami ingin menjadi bank terkuat, karena itu modal akan kami tambah terus," katanya. E.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus