BUPATI Pamekasan di Madura, H. Hadiatoellah, sekarang lagi dipusingkan oleh putusan pengadilan: ia dihukum untuk membayar ganti rugi Rp 5,5 juta kepada seorang warganya, Nadji Kuddah, dalam perkara sengketa sebuah rumah. "Bagaimana, ya, uang sebanyak itu bagi pemerintah daerah tidak sedikit. Jika uang itu dipakai untuk pembangunan, paling sedikit bisa dibuat sebuah dam," kata Hadiatoellah, bingung. Kebingungan Hadiatoellah tidak hanya sekadar jumlah uang yang harus di bayarnya dari kas pemda. Tapi, "Prosedur untuk mengeluarkan uang sebanyak itu jelas tidak mudah. Paling tidak, uang itu harus dikeluarkan dari APBD," kata Hadiatoellah. Itulah sebabnya, walau perintah eksekusi sudah dikeluarkan Pengadilan Negeri Pamekasan, April lalu, sampai kini Nadji belum mendapatkan uang ganti rugi yang dimenangkannya itu. Hadiatoellah mengaku hanya mendapat sialnya dari perkara itu. Tanpa tahu asal mula sengketa, Hadiatoellah, yang baru dilantik menjadi bupati pada 1983, hanya menerima vonis kalah, dan belakangan perintah eksekusi. "Ini perkara lama yang saya tidak tahu jalan ceritanya," kata Hadiatoellah. Sengketa sebuah rumah di Jalan Jokotole, Pamekasan, itu memang cerita lama. Rumah milik Almarhum Syech Ali bin Faray, di atas tanah seluas 1.695 m2, pada 1950 dipakai oleh pemda untuk bangunan sekolah dasar. Tapi, sampai 25 tahun kemudian, rumah itu tidak dikembalikan kepada ahli waris Syech Ali. Padahal, sekolah yang semula rnenempati rumah itu telah pindah ke gedung baru. Rumah tua itu malah dioperkan oleh pemda kepada dinas PU. Sebab itu, 1978, seorang ahli waris Syech Ali, Nadji, mengajukan permohonan untuk menempati rumah itu kepada Bupati (waktu itu) Moh. Toha. Bupati bersedia menyerahkan rumah itu asal saja Nadji membangun sebuah gedung di atas tanah pemda untuk kantor PU yang baru. Nadji setuju. Berdasarkan itu, kedua pihak membuat perjanjian, 15 November 1978, yang isinya: Nadji akan menerima rumahnya setelah kantor PU diselesaikan dalam tempo empat bulan. Janji empat bulan itu, belakangan, mencelakakan Nadji. Sampai Juni 1979, pembangunan kantor PU itu masih belum rampung. Padahal, Bupati telah memperpanjang waktu perjanjian menjadi enam bulan. "Kebetulan saya berada di Semarang, dan pembangunan gedung itu saya serahkan kepada kontraktor. Ternyata, mereka kekurangan biaya sehingga atap gedung itu tidak sempat terpasang," ujar Nadji. Kelalaian Nadji itu dimanfaatkan dengan baik oleh Bupati. Dengan surat tertanggal 5 Juni 1979, Bupati membatalkan kontraknya dengan Nadji. "Padahal, waktu itu saya sudah siap melanjutkan pembangunan yang hanya tinggal 20%. Apalagi saya sudah mengeluarkan uang Rp 5,5 juta untuk itu," ujar Nadji. Ia lebih kecewa ketika Bupati memutuskan untuk melanjutkan sendiri pembangunan gedung PU itu, tanpa mengindahkan permohonannya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Keadaan itulah, katanya, yang membuat ia nekat menggugat ke pengadilan. "Seharusnya tanpa membangun kantor PU pun, pemda sudah harus menyerahkan rumah itu kepada saya. Tapi kenyataannya, selain rumah itu tidak dikembalikan, pemda mengambil saja gedung PU yang hampir rampung saya kerjakan," tambah Nadji lagi. Melalui Pengadilan Negeri Pamekasan, Nadji menuntut agar Bupati mengosongkan rumah yang disengketakan itu, dan membayar ganti rugi kepadanya Rp 25,5 juta. Majelis hakim yang diketuai Sarwono mengabulkan sebagian tuntutan Nadji, yaitu ganti rugi sebanyak uang yang dikeluarkan untuk membangun gedung PU, yaitu Rp 5,5 juta, dan menolak gugatannya yang lain. "Jumlah Rp 5,5 juta itu merupakan jumlah kerugian Nadji yang kami anggap benar-benar dialaminya, karena itu gugatannya yang lain kami tolak," tutur Sarwono. Dalam pertimbangannya majelis hakim bahkan menilai Nadji mempunyai itikad kurang baik karena tidak menepati janjinya menyelesaikan kantor PU sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Keputusan pengadilan itu sangat mengecewakan Nadji. "Dibilang menang, saya memang menang. Tapi, scbenarnya, saya dikalahkan," katanya. Ia menganggap dirinya kalah karena rumah itu tetap tidak diserahkan kepadanya, dan tuntutan ganti ruginya hanya sebagian kecil yang di kabulkan. Sebab itu, ia menyatakan banding. Tapi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, awal tahun lalu, memperkuat putusan majelis Sarwono. Nadji pun tidak lagi bersemangat untuk melanjutkan lerkarana. "Mana mungkin pengadilan mau mengalahkan seorang bupati? Ya, sudahlah, mungkin bukan rezeki saya," kata pencari keadilan itu, pasrah. Sebab itu pula keputusan peradilan banding itu bcrkekuatan tetap. Kendati demikian, Nadji, yang tidak berhasil mendapat rumah warisan, toh belum pula menerima ganti rugi Rp 5,5 juta itu. Bekas bupati Pamekasan, Moh. Toha, membantah telah mcmbatalkan secara sepihak perjanjian tukar-menukar rumah dan gedung PU antara dia dan Nadji. "Tidak ada tindakan sepihak. Saya pernah memanggilnya untuk konsultasi. Tapi ia selalu mengulur-ulur waktu untuk menyelesaikan kantor PU itu. Memang manusianya begitu," kata Toha per telepon, kepada TEMPO. Satu-satunya harapan Nadji hanyalah kepada bupati yang sekarang. "Bagaimanapun keputusan pengadilan itu harus ditaati," kata Hadiatoellah yang berjanji akan membayar ganti rugi itu secepatnya. "Saya sudah mcnandatangani persetujuan untuk pembayaran itu tadi pagi," kata Hadiatoellah dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini