Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga tahun terakhir, I Made Gara lebih banyak menghabiskan waktu di bawah terik matahari. Telapak tangan pematung kayu dari Desa Mas, Bali, berusia 53 tahun itu kapalan karena terlalu sering memegang gagang cangkul. ”Sejak ada bom, kami makan bon,” katanya kepada Tempo, pekan lalu.
Bom Bali 2002—disusul 2005—membuat Gara memburuh di sawah milik tetangganya. Tak ada lagi turis atau pemandu wisata yang menengok patung-patung kayu ciptaannya. Dinas Pariwisata mencatat, jumlah turis yang anjlok 30 persen belum pulih hingga kini.
Mata pencarian orang Desa Mas pun terancam. Di desa yang terletak 20 kilometer ke utara Denpasar itu, 95 persen penduduk bekerja sebagai pematung kayu. Sisanya merantau, atau jadi pegawai negeri sipil. ”Kami ditakdirkan menjadi pematung,” I Wayan Mudana, 50 tahun, menimpali.
Sama seperti Gara, patung-patung Mudana kini berdebu di sudut-sudut bengkelnya. Padahal, bisa dibilang ”takdir” Mudana lebih baik dibanding teman seperguruannya itu—keduanya murid maestro patung kayu Bali, Ida Bagus Tilem.
Rumahnya dua tingkat dan tergolong besar di desanya. Ditanya soal itu, Mudana hanya mesem. Katanya, rumah itu ”peninggalan” masa jayanya di tahun 1980-an, ketika patung kayu diburu orang dari pelbagai negara.
Pada 1986, seorang turis Jerman mengajak Mudana berpameran di negaranya. Delapan patungnya kini tersimpan di Museum Nasional Jerman. Pameran tingkat lokal sudah tak terhitung lagi ia ikuti. Mudana bisa bolak-balik Jakarta-Bali dalam sebulan.
Sejak itu orang berlomba memburu patung-patungnya. Tapi ia tahu, mereka bukan pembeli yang berhasrat mengoleksi benda-benda seni. Mereka adalah pemilik galeri di Ubud.
Tumbuhnya sektor pariwisata pada awal 1990-an membuat pemilik modal mendirikan pelbagai galeri yang menampung benda-benda seni. Patung kayu sedang masyhur menjadi salah satu benda seni unggulan. Para pematung pun senang.
Sikap itu mulai berubah ketika mereka tahu patung itu dijual lagi dengan harga sepuluh kali lipat. Gara pernah memergoki patung setinggi tiga meter yang ia bikin selama delapan bulan dijual ke turis asing seharga Rp 100 juta. ”Padahal saya jual cuma Rp 10 juta,” katanya.
Tapi, Gara tak bisa memutus hubungan dengan para pemandu dan pemilik galeri. ”Mereka punya duit, saya menurut saja,” katanya. Ia tak punya pilihan karena ada empat anak plus pekerja yang membantunya. Mudana, yang menolak berhubungan dengan galeri, harus menerima kenyataan patungnya kian dirundung debu.
Penelitian Direktur Utama PT Danareksa, Lin Che Wei, kian jelas menunjukkan siklus bisnis patung kayu di Desa Mas tak dinikmati senimannya. Tiga bulan lalu ia blasak-blusuk ke berbagai galeri untuk mengetahui harga setiap patung. Hampir semua pemilik galeri, besar dan kecil, ia datangi.
Hasilnya, galeri dan pemandu wisata mendapat 50 persen keuntungan dari setiap patung. ”Di sana pemandu bekerja sama dengan galeri untuk menggaet turis,” katanya.
Ia mencontohkan patung Dewi Sri Landung karya Mudana. Patung setinggi tiga meter itu dijual Rp 100 juta. Padahal, Mudana cuma melepas patung yang rumit dan kaya detail itu Rp 30 juta.
Proses paling lama dalam membuat patung, kata Mudana, adalah menemukan ide. Para murid Tilem terkenal karena punya ciri khas membuat patung sesuai dengan bentuk dan lajur kayu. ”Alur kayu itu sudah unik dan khas,” katanya.
Patung Dewi Sri itu, kata Mudana, harus diselaraskan dengan legendanya sebagai istri Dewa Wisnu yang dikutuk menjadi ular, lalu ditolong petani sehingga ia menjaga padi. Mudana mengerjakannya selama 14 bulan. Ia mengerahkan delapan orang menggotong kayu ke bengkelnya. Harga dan ongkos angkutnya menelan biaya Rp 8 juta. Begitu selesai, patung dihaluskan dan disirlak. Mudana membayar Rp 100 ribu per hari untuk para penyirlak itu.
Gus Putra, pemilik Galeri Bramastya, mengatakan bekerja sama dengan pemandu wisata merupakan jurus pemilik galeri bertahan dalam bisnis ini. Ia mengakui komisi untuk pemandu bisa sampai 60 persen. Karena itulah harga patung bisa melonjak sepuluh kali lipat. ”Sebetulnya ini bunuh diri,” katanya.
Para turis sudah tahu harga jual yang sebenarnya. Mereka tak segan menawar kurang dari separuh harga. Para turis itu, kata Putra, punya standar harga patung kayu Bali di negaranya, yang diatur maksimal lima kali lipat dari harga beli di pematung.
Pemandu turis jelas menolak tudingan sebagai pihak yang paling menikmati untung. Jika komisi sampai 60 persen, kata Ketua Himpunan Pramuwisata Bali, Yeremias Tasi, ”Kami sudah kaya dari dulu.” Yang benar, katanya, komisi dari galeri paling banter 30 persen dari total pembelian.
Mata rantai yang panjang itu, menurut Che Wei, membuat daya tawar seniman patung kian terpuruk. Ia pun memangkasnya. Ketika menjadi tuan rumah Emerging Markets Forum, pada 20-27 September 2006, Che Wei mengajak Gara, Mudana, dan I Wayan Darlun mengangkut semua patung ke Jakarta dan memamerkannya.
Setiap utusan negara berkembang peserta forum yang bersidang di Gedung Danareksa itu dicegat oleh puluhan patung manusia legenda dalam pelbagai pose: Rama, Shita, Kala Rau, Dewi Sri, Men Brayut. Bekas Presiden Filipina Fidel Ramos dan bekas Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus terkagum-kagum mengamati puluhan patung di lantai 1 itu.
Sehari sebelum pameran ditutup, di bawah 20 patung yang dipamerkan sudah tertulis pengumuman ”reserved”. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, dan sejumlah pejabat lain terdaftar sebagai pemborong patung-patung itu. Semua patung didiskon 30 persen.
Melihat antusiasme itu, Che Wei makin tertarik pada patung kayu Bali. Kebetulan, sebagai perusahaan negara, perseroannya terikat kewajiban mengembangkan usaha kecil dan menengah. Ia pun berkeliling ke Singapura, London, Amsterdam, dan New York untuk mengenalkan seni patung kayu Bali dan mencari celah jadwal pameran.
”Saya terinspirasi buku John Cost, Dancing Out of Bali,” kata ekonom yang mencuat namanya ketika membongkar skandal Bank Lippo pada 2000 itu. Cost, katanya, bisa mempromosikan tari Bali hingga ke London dan New York pada 1950.
Selain menyelenggarakan pameran, Danareksa juga akan membuat standar harga setiap patung yang dihitung dari ongkos produksi dan idenya, juga hak cipta. Di Bali, setiap orang bisa meniru karya orang lain tanpa takut dituduh plagiat. Dan laku.
Dalam pameran itu Mudana bisa menikmati harga patung yang sebenarnya. Dewi Sri laku Rp 125 juta. Ini harga paling mahal dibanding patung lainnya, yang dijual rata-rata Rp 30 juta-90 juta. ”Ini betul-betul emas dari kayu mati,” katanya.
Syahdan, Desa Mas lahir sekitar 400 tahun yang lalu setelah Danyang Nilarta datang ke sana. Sebelum pendeta Hindu dari Kediri itu tiba, pedukuhan itu bernama Tegal Tanjung. Dalam sebuah semadi, Nilarta menancapkan tongkatnya. Ajaib. Tongkat itu tumbuh dan dari bawahnya muncul bulir-bulir emas.
Sejak itu Nilarta mengganti nama desa itu menjadi Desa Mas. ”Kelak penduduk desa ini akan mendapatkan emas dari kayu mati,” ini ucapan Nilarta yang berkembang menjadi cerita mitos di Desa Mas. Ratusan tahun kemudian nujum itu terbukti. Mudana dan Gara kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Memahat bonggol-bonggol kayu sambil menunggu jadwal pameran yang dibawa Lin Che Wei.
Bagja Hidayat, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo