Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Makanan beku menjadi salah satu bisnis yang tak pernah mati. Apalagi di tengah kesibukan aktivitas, masyarakat ingin yang serbapraktis, termasuk menyediakan makanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tren makanan beku ini kian meningkat, terutama di masa pandemi Covid-19, karena masyarakat lebih senang memasak sendiri di rumah, tetapi tidak ingin repot sehingga makanan beku menjadi pilihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkah ini pula yang dirasakan oleh Yudhi Dwinanto, pemilik usaha Kraukk Frozen Food. Memulai bisnisnya sejak 11 tahun lalu, Yudhi menuturkan tren penjualannya meningkat setiap tahun. Bahkan, tanpa adanya kasus pandemi, grafiknya terus melonjak karena kebutuhan masyarakat untuk menyediakan menu makanan serbacepat dengan harga terjangkau.
“Sebelum pandemi ini trennya selalu naik rata-rata 10-20 persen per tahun. Saat terjadi pandemi mulai Maret ini, kenaikannya luar biasa. Apalagi jelang bulan puasa, ditambah adanya lockdown dan karantina wilayah, masyarakat butuh lebih banyak makanan. Bisnis frozen food kami naik lebih dari 300 persen, didukung pula banyak reseller dan dropshipper yang ingin bergabung,” tuturnya.
Saking banyaknya permintaan, Yudhi mengaku pabriknya sampai kewalahan memenuhi pesanan yang membludak. Tak jarang akhirnya produk pesanan tersebut harus menunggu masa preorder untuk diproduksi kembali.
Saat ini, kemampuan produksi hariannya mencapai 500 kg sementara permintaan bisa lebih dari itu. Biasanya, untuk memenuhi kebutuhan, para karyawan diberi tambahan kerja lembur atau menambah jumlah karyawan.
Namun, karena adanya pandemi Covid-19, perusahaan tidak diperkenankan menambah jumlah karyawan dan jam kerja pun lebih terbatas. Kondisi ini menimbulkan dilema tersendiri bagi perusahaan.
“Di satu sisi permintaan terus melonjak, tetapi kapasitas produksi terbatas karena adanya regulasi yang mengatur mengenai karyawan dan jam kerja. Bahan baku dari supplier pun sedikit tersendat. Kita sebagai pelaku usaha harus pintar-pintar mengatur, semoga bisa segera normal dan bisa memenuhi permintaan dengan cepat,” ujarnya.
Yudhi sebetulnya sudah memulai usahanya sejak 2006, ketika masih bekerja sebagai PNS di salah satu instansi pemerintahan. Modal yang dikeluarkan saat pertama memulai usaha hanya sekitar Rp 1 juta yang digunakan untuk membeli makanan beku curah dari pabrik, kemudian dia kemas kembali dan dijual melalui website.
“Pas pertama mulai saya promosikan melalui website gratis dan pasang iklan di internet, lalu ada banyak pabrik yang nawarin diri ke saya. Dari sekian banyak produsen lalu saya tentukan satu partner yang cocok di harga dan kualitas rasa, dan itu bertahan sampai saat ini,” jelasnya.
Hingga akhirnya pada 2009, Yudhi mulai fokus mengembangkan merek sebab jika hanya menjual produk polosan tanpa merek akan menyulitkan untuk pengembangan bisnis karena masyarakat tidak mengenal identitas merek dari produk yang dijual.