Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan kewenangan kepada organisasi masyarakat keagamaan atau ormas keagamaan mengelola tambang melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyatakan menerima IUP walaupun menuai berbagai kritik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN, Rukka Sombolinggi, mengakui khawatir IUP akan memicu konflik horisontal antara NU dan Muhammadiyah dengan masyarakat adat. Sebab selama ini banyak masyarakat adat yang menjadi korban industri tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Artinya masyarakat adat dipaksa berhadap-hadapan dengan ormas keagamaan di persoalan tambang," kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, kepada Tempo di sela Konferensi Internasional Hari Masyarakat Adat Sedunia di Hotel Le Meridien, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2024.
Selama ini, dalam mempertahankan tanah adat masuk dalam dalam konsesi tambang, masyarakat adat setempat kerap berselisih dengan pemerintah, pihak perusahaan, maupun aparat. Setelah IUP diberikan kepada NU dan Muhammadiyah, Rukka mengatakan potensi konflik akan bertambah. "Jadi makin berat hidup kami ini," ucap dia.
Dengan membagi-bagi izin tambang kepada ormas keagamaan, Rukka mengatakan, seolah pemerintah mendapatkan legitimasi untuk terus-menerus merampas wilayah adat. "Saya sebenarnya mencurigai jangan-jangan pemerintah hanya sedang cari kawan buat melegitimasi izin-izin tambang itu," ujar dia.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, mengatakan sampai saat ini organisasinya belum mendapat surat IUP dari pemerintah. Bahkan dia mengatakan Muhammadiyah belum tahu di mana letak lokasi pertambangan dan luas kawasan izin tambang. "Jadi kekhawatiran itu agak berlebihan," kata dia, merespons kekhawatiran potensi konflik horizontal yang disampaikan AMAN.
Menurut dia, Muhammadiyah sudah mengantisipasi berbagai kekhawatiran yang disampaikan para aktivis lingkungan tentang dampak kerusakan lingkungan, kemungkinan konflik sosial, hingga independensi politik. Dia menyebutkan ada tiga poin yang disiapkan mengantisipasi konflik sosial tersebut.
Pertama, memberikan kesempatan bekerja kepada masyarakat sekitar tambang. "Yang tidak memiliki kemampuan akan diberikan pelatihan," ucap Mu'ti. Kedua, melibatkan masyarakat dalam proses penambangan, misalnya penyediaan kebutuhan pekerja. Metiga memprioritaskan distribusi tanggung jawab sosial (CSR) kepada masyarakat terdekat.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf belum merespons pertanyaan Tempo perihal kekhawatiran potensi konflik sosial yang dikhawatirkan aktivis AMAN tersebut. Tempo telah mengirim pertanyaan dan menelepon ke nomor Yahya. Namun hingga berita ini ditulis, Yahya belum merespons pertanyaan tersebut.
Tempo juga meminta konfirmasi yang sama melalui sambungan telepon dan mengirim pesan ke Ketua PBNU Bidang Hukum dan Media Syaff'i Alieha. Tapi ia belum menjawab pertanyaan perihal kekhawatiran masyarakat adat yang disampaikan aktivis AMAN tersebut.