SERANGKAIAN aktivitas yang berkaitan dengan sektor minyak dan gas bumi Indonesia naga-naganya mulai bangkit lagi. Sejak dua deregulasi sektor migas yang dicanangkan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita (Agustus tahun lalu dan Februari tahun ini), Pertamina dan para kontraktornya lebih tergiur mengembangkan aktivitasnya. Paling tidak saat ini ada 37 kontrak perpanjangan dan kontrak baru eksplorasi yang sedang antre. Mulai Februari lalu, Pertamina berhasil memasok bahan bakar jet JP-4 dan JP-5 dari Cilacap ke pangkalan militer AS di Asia Pasifik. Tentu tak mudah menembus barikade kualifikasi bahan bakar jet seperti yang dikehendaki pembelinya, Defense Fuel Supply Centre (DFSC, yang bernaung di bawah Departemen Pertahanan AS. Kendati DFSC hanya membeli 660 ribu barel JP-4 dan JP-5, Pertamina sudah membuktikan bahwa ia bukan cuma pintar jualan minyak mentah. Tapi juga mulai pandai menjual produk-produk minyaknya yang jelas lebih menguntungkan daripada sekadar menjual mentahan. Menteri Ginandjar, pada sebuah seminar perminyakan di Jakarta Juni 1988, sudah mengungkapkan bahwa pemerintah menyetujui pengembangan kilang-kilang minyak untuk tujuan ekspor alias Exor (export oriented refinery). Paling tidak ada tiga proyek Exor yang akan ditangani Pertamina dengan konsorsium asing. Artinya, Pertamina didorong agar bisa ikut bermain di arena industri hilir migas. Proyek Exor I sudah mulai terbetik beritanya ketika PM Thatcher berkunjung kemari dua tahun lalu, dan "wanita besi" itu sepakat untuk mendukung pendanaannya. Meskipun telah dua tahun, toh sampai akhir April kemarin Pertamina masih gencar melakukan negosiasi dengan konsorsium yang akan menangani proyek Exor I di Balongan, Cirebon, Jawa Barat ini. Konsorsium itu terdiri dari Foster Wheeler British Petroleum (Inggris), dan Mitsui Corporation dan JGC (Jepang). Rencananya, Exor I bisa mengolah 125 ribu barel sehari minyak mentah Duri dan Minas, dan diharapkan awal tahun depan dimulai pembangunannya. Proyek nonrecourse itu (pendanaan oleh swasta, dan akan dibayar Pertamina dengan produk yang dihasilkannya) kabarnya menelan dana lebih dari US$ 1 milyar. "Dan itulah yang sedang kita rundingkan dengan konsorsium. Dalam dua bulan ini kami harapkan sudah ada kesimpulan, " ujar Direktur Pengolahan Pertamina, Tabrani Ismail. Proyek Exor II masih belum jelas juntrungannya. Selain soal pendanaan, lokasinya pun masih ancar-ancar: sekitar Nusa Tenggara Timur. Justru proyek Exor III, di Tanjung Uban, Pulau Batam, yang lebih dulu bakal digenjot, karena biayanya relatif murah -- antara US$ 150 juta dan 200 juta. Pendanaannya oleh China Petroleum Company (CPC) dari Taiwan. "Pembicaraan dengan CPC akan dilanjutkan pada Juni mendatang," kata Tabrani. Pertamina saat ini sudah mengikat kontrak dengan CPC untuk penjualan LNG yang dimulai tahun depan, sebanyak 1,5 juta ton per tahun. Di LNG, kita telah bertengger sebagai pemasok terbesar di dunia. Bahkan lebih dari 50% suplai LNG Jepang berasal dari Indonesia. Ekspor LNG Indonesia ke Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan) telah mencapai 19,6 juta ton per tahun, dan diperkirakan mereka akan meminta tambahan pasok, 6 juta ton setahun sampai 1994 mendatang. Permintaan ini harus segera dijawab Pertamina dengan menambah satu unit produksi (train) di kilang LNG di Arun, Aceh, dan dua train di Bontang, Kalimantan Timur. "Kita akan punya 11 train pada 1994 di dua tempat pengilangan LNG itu" tutur Menteri Ginandjar pertengahan buian lalu. Kapasitas kedua kilang itu akan menjadi 22,5 ton per tahun, alias bertambah 2,5 juta ton setahun. Setelah Lebaran nanti, Pertamina akan melakukan pembicaraan awal mengenai pembangunan train tambahan di Bontang dengan para pembeli gas di Jepang. Antara lain Osaka Gas. Chubu Electric, dan Tokyo Electric. Pengembangan industri hilir migas ini juga meliputi proyek-proyek petrokimia. terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku plastik yang selama ini nilai impornya besar. Pada awal 1988 Pertamina membangun Pusat Aromatik di Cilacap senilai US$ 500 juta yang akan berproduksi pada 1991, dengan pendanaan dari Mitsui Bussan, Jepang. Bahan baku nafta diambil dari kilang Pertamina di Cilacap. Sebelum proyek ini, Pertamina sudah mengembangkan proyek PTA di Plaju, Sumatera Barat (1986). Sekarang Pertamina diharapkan bisa mendukung suplai bahan baku dua proyek petrokimia, yakni proyek olefins, yang kemungkinan akan dibangun di Cilacap oleh konsorsium Shell (Belanda-Inggris), Mitsubishi Corp. dan C. Itoh (Jepang) dan Bimantara Citra, serta proyek PT Tri Humpuss Aromatic (THA). Pada proyek olefins, menurut Tabrani, Pertamina tampaknya akan menyetujui untuk menjamin memasok bahan bakunya. "Karena bahan baku itu dari hasil kilang," kata Tabrani. Sedankan untuk proyek aromatic -- Humpuss bekerja sama dengan Kellogg (AS) dan Thyssen (Jerman Barat) -- Pertamina menjanjikan akan menyuplai bahan bakunya, tapi tak bisa menjaminnya. THA meminta bahan baku Arun Condensate sebanyak 90.000 barel sehari, sedangkan bagian Pertamina cuma kebagian 70.000 barel sehari. Dan sulit bagi Pertamina untuk mendesak Mobil Oil? produsen gas di Arun, agar sudi menjual bagian kondensatnya ke THA. "Tetapi sebuah diskusi awal akan berlangsung setelah Lebaran ini," ucap Tabrani. Namun, seminggu sebelum Lebaran, Pertamina menandatangani kontrak kerja sama dengan konsorsium tiga perusahaan nasional dalam proyek pipanisasi BBM di Jawa. Konsorsium PT Triharsa Bimanusa Tunggal, yang terdiri dari PT Triharsa Manunggal, PT Bimantara Citra, dan PT Trans Nusantara Multi Construction akan melaksanakan proyek senilai US$ 30i juta. Pipa akan menjulur sepanjang 580 km di DKI, Ja-Bar, Ja-Teng, serta DIY, dan akan menyalurkan premiun, solar, dan minyak tanah. Dengan proyek ini, Pertamina diharapkan bisa menghemat US$ 40 juta per tahun untuk ongkos distribusi BBM.Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini