Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Oleh-oleh safari bukman

Ketua IGGI piet bukman berkunjung ke indonesia selama 9 hari. ia sangat mendukung ide pelibatan masyarakat swasta dalam pembangunan di indonesia. bantuan IGGI sangat penting untuk mengurangi DSR.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Oleh-oleh safari bukman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KETUA IGGI Piet Bukman ternyata sangat mendukung ide pelibatan masyarakat swasta dalam pembangunan. Selama sembilan hari di Indonesia, soal pelibatan swasta itu, yang juga sudah digariskan dalam GBHN kita, tampak menjadi pemikiran pokok orang nomor satu IGGI tersebut. Setelah berdialog dengan sejumlah menteri, melakukan safari ke Sumatera, bertemu Presiden Soeharto, Selasa pekan lalu, Bukman sebelum pulang ke Negeri Belanda mengatakan, "Saya punya argumentasi mengenai perlunya masyarakat dilibatkan sebelum memulai suatu proyek," katanya. Bukman, yang mengelak menjelaskan argumentasinya, menambahkan bahwa keterlibatan masyarakat tak cukup sekadar memberikan dukungan kepada pemerintah dalam melakukan pembangunan. "Dalam pertemuan IGGI Juni nanti, saya kira hal ini akan menjadi topik pembicaraan penting," ujarnya lagi. Tapi, dua hari sebelum meninggalkan Indonesia, dalam sebuah diskusi terbatas di Erasmus Huis, Jakarta, soal demokratisasi pembangunan yang dilontarkannya disebut Bukman bukan bermaksud melakukan campur tangan terhadap kebijaksanaan dalam negeri Indonesia. "Pemikiran saya hanya mencerminkan ide-ide Eropa Barat dalam membangun masyarakat modern yang berwajah kemanusiaan," ujarnya. Diskusi mengenai perspektif partisipasi organisasi bukan pemerintah (NGO) dalam pembangunan itu, yang dibuka Menteri Dalam Negeri Rudini, cukup menarik untuk disimak. Kata Bukman, NGO sebagai organisasi sosial yang mengakar dalam masyarakat mampu mengadaptasi secara bertahap terhadap penemuan-penemuan baru, dan dapat bekerja dengan biaya rendah. "Situasi ideal akan tercapai jika terjadi keseimbangan antara kebijaksanaan makro ekonomi dan kebijaksanaan sosial di tingkat mikro yang dapat dilaksanakan oleh NGO," tambahnya. Tentang partisipasi NGO di Indonesia, Bukman tak meragukannya. Ia bahkan tahu bahwa partisipasi NGO sudah berjalan sejak zaman kolonial. Contoh yang dikemukakannya adalah keterlibatan organisasi Muhammadiyah dan Aisyiah dalam pelayanan sosial di bidang kesehatan dan pendidikan. Ia menambahkan, sekarang ini partisipasi NGO di Indonesia bahkan sudah dijamin pemerintah lewat GBHN. Tak heran bila Bukman menyebut ketidakraguan pemerintah Belanda memakai Yayasan Indonesia Sejahtera dan LP3S sebagai konsultan untuk program sanitasi dan irigasi yang dibiayai dengan bantuan Belanda. Pernyataan penting lain yang disampaikan Bukman adalah soal pendidikan. Dalam jumpa pers di Graha Swala, Departemen Keuangan, Selasa siang, ketua IGGI itu mengatakan bahwa Indonesia dewasa ini membutuhkan lebih banyak masyarakat berpendidikan. "Pada pandangan saya, bila penduduk makin berpendidikan, proses pembangunan akan berjalan lebih baik," tuturnya. Asalkan masyarakat terdidik itu, tambah Bukman, diberi posisi sebagai aktor dalam pembangunan, dan bukan sekadar suporter. Mengenai soal pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang menjadi perhatiannya dalam pertemuan dengan menteri-menteri ekuin, Bukman mengatakan bahwa masalah tersebut tak cukup dilakukan pemerintah pusat. "Dalam kapasitas sebagai ketua IGGI, saya memandang pertumbuhan ekonomi tak cuma tanggung jawab pemerintah (pusat). Masalah ini memerlukan aktivitas dan peran masyarakat serta pemerintah daerah," katanya. Setelah melakukan perjalanan tiga hari ke Sumatera, ditambah dengan pengalaman safarinya ke Sulawesi tahun lalu, Bukman melihat bahwa masyarakat dan pemerintah daerah sudah semakin aktif. "Saya lihat ada motivasi yang kuat dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk berperan dalam pembangunan," ujar Bukman. Ia bahkan kagum melihat betapa organisasi swasta telah memainkan peran cukup besar di daerah. Di antaranya, organisasi yang dijadikan contoh oleh Ketua IGGI itu adalah koperasi petani kopi di Pondok Gajah, Aceh, serta organisasi wanita yang bergerak di sektor jasa pelayanan keluarga berencana di ibu kota provinsi paling utara itu. "Itu aktivitas tingkat bawah yang memberikan sumbangan besar dalam proyek-proyek pembangunan," ujarnya. Apakah berbicara perlunya peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan isyarat bahwa bantuan IGGI -- terutama special assistance loan -- akan dikurangi? Yang pasti, kata Bukman, tahun ini Bank Dunia masih akan memberikan rekomendasi perlunya Indonesia dibantu IGGI. Bahkan, menurut dia, ada kemungkinan sidang IGGI di Amsterdam, pertengahan Juni depan, seperti tahun silam memutuskan bantuan yang lebih besar dari jumlah yang direkomendasikan Bank Dunia. "Yang penting bukan jumlah bantuannya, tetapi kualitas serta derajat konsesi bantuan itu," katanya. Bukman seperti mengisyaratkan, dalam sidang IGGI nanti negara-negara donor memberikan bantuan dengan syarat lebih lunak. Selama ini negara-negara donor memberikan bantuan proyek (biasanya berbentuk barang modal dari negara donor), serta bantuan program (biasanya berbentuk uang untuk menopang kelangsungan proyek yang mereka bantu). Tapi setelah harga minyak melorot drastis pada 1986, IGGI mulai memberikan special assistance loan, yakni pinjaman dengan bunga relatif murah. dan pemanfaatannya tak mengikat. Setelah kini harga minyak naik lagi di pasaran -- sudah berkisar US$ 18 per barel (US$ 4 dolar di atas perhitungan APBN berjalan 1989-1990) -- adakah IGGI akan menghentikan bantuan khusus itu? "Special assistance loan ini sangat penting untuk mengurangi persoalan di masa datang, dan untuk mengurangi DSR (debt service ratio)," kata Bukman. DSR adalah rasio perbandingan beban cicilan utang luar negeri terhadap penerimaan devisa ekspor. Dasar pemikiran itu, ujar Bukman, bisa dipakai Indonesia sebagai stimulans dalam diskusi dengan para donor. Bahkan ia sudah menyebut bahwa Negeri Belanda telah bersedia mentransfer special assistance loan menjadi gifts (hadiah). Belum diketahui apakah Jepang, pemberi bantuan khusus terbesar, akan mengikuti jejak Negeri Belanda itu. Siapa tahu, pengganti Perdana Menteri Noboru Takeshita punya pandangan lain.Max Wangkar, Yopie Hidayat, Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum