Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Listrik, pajak, dan stabilitas

Masalah ketenagakerjaan dan utang luar negeri membuat prihatin pemerintah. perbedaan perspektif dalam melihat "jasa-jasa publik" dan pajak dari pemerintah & masyarakat perlu menjadi bahan renungan.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Listrik, pajak, dan stabilitas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK ayal lagi, kenaikan tarif listrik sebesar 25% bukanlah keputusan pemerintah yang populer. Sebelumnya, penerimaan pajak yang ditargetkan naik dari 11,6 trilyun menjadi 14, trilyun rupiah telah membuat masyarakat bohwat. Lebih-lebih karena enforcement hendak dihubung-hubungkan dengan jasa-jasa publik seperti telepon. Berbicara tentang listrik dan pajak pada dasarnya sama dengan berbicara tentang hubungan pemerintah dengan masyarakat. Kita mulai dengan melihat listrik dan pajak dari perspektif pemerintah. Listrik, bersama-sama gas, air bersih, telepon, dan pos, adalah jasa pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat konsumen. Artinya, jasa-jasa itu untuk Indonesia, disediakan (supply) oleh pemerintah dan dibeli (demand) oleh masyarakat konsumen. Jasa-jasa itu sendiri dalam istilah ekonomi disebut sebagai public goods. Di negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, bukan mustahil, dan ini memang terjadi, public goods itu disediakan oleh swasta. AT&T memberi jasa pelayanan telepon di Amerika erikat. Namun, bisakah tarif ditentukan sesukanya karena sifat monopoli dari jasa-jasa publik? Jawabannya, jelas tjdak. Baik swasta maupun pemerintah, bila public goods yang menikmati monopoli ini menetapkan harga, maka harga ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya penyediaan jasa-jasa publik. Telekomunikasi seperti telepon memerlukan investasi awal yang amat besar. Dalam wilayah di mana harga tanah (seperti di Jawa) mahal, unsur lokasi memegang peran penting dalam struktur harga. Adalah mustahil menetapkan harga yang menghasilkan penerimaan yang lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan. Dalam praktek, tentu saja cara menghitung biaya tetap (fixed cost), biaya variabel (variable cost), dan biaya uang (suku bunga) berikut jalur arus uang (cash-flow) jauh lebih kompleks. Tetapi tetap saja struktur biaya dan penetapan harga harus mempunyai korespondensi yang logis. Harga listrik sendiri bisa berbeda-beda untuk konsumen rumah tangga (biasanya lebih sedikit, lebih berfungsi sosial) dan konsumen perusahaan (lebih mahal, berfungsi komersial). Dalam analisa mikro, harga umum (general price level) jasa-jasa publik ini karena sifat monopolinya mempunyai economics of scale, atau skala ekonomi yang luas. Artinya, biaya per unit produksi menjadi lebih kecil. Harga akhirnya menjadi sama dengan biaya marginal (P = MC Price = Marginal Cost). Faktor kedua adalah efisiensi ekonomis dari perusahaan pelayanan jasa-jasa publik itu. Efisiensi di sini diartikan sebagai bersihnya perusahaan dari pemborosan, manipulasi, inefisiensi manajemen, dan korupsi. Penting sekali jadinya untuk terbukanya pembukuan perusahaan bagi masyarakat yang berniat memeriksa (open to public scrutiny). Tarif telepon dan jasa pemakaiannya sering menjadi sumber surat pembaca yang meragukan efisiensi public goods itu. Secara teknis tak ada alasan apa pun dari PT Perumtel untuk tidak memberikan daftar yang rinci ongkos telepon lama sebulan, berapa interlokal, berapa menit pembicaraan. Hal ini sudah terjadi pada rekening telepon mobil. Dari sisi masyarakat konsumen, seperti yang tercermin pada pandangan F-KP di DPR, ada banyak masalah yang menyangkut lain seperti telepon atau air minum. larga dirasakan mahal dan kualitas pelayanan (listrik byar-pet, air tes-tes) yang dirasakan tidak ajek adalah perspektif dari konsumen. Apakah hal itu benar? Jawabannya adalah belum tentu. Bila Bank Dunia menilai tarif listrik di Indonesia perlu dinaikkan, tentu badan dunia itu tidak mengada-ada dan mempunyai perhitungan ekonomisnya. Perbedaan perspektif lebih terasa menonjol bila kita berbicara tentang pajak. Di sini hubungan pemerintah dengan masyarakat tidak sempit seperti hubungan produsen dan konsumen jasa-jasa publik. Hubungan tersebut bahkan secara legalistis dijelaskan dalam UUD, GBlN, dan UU. Masyarakat pembayar pajak adalah warga negara, dan pemerintah adalah wakil rakyat yang menjalankan kerja pemerintahan untuk rakyat. Dalam era deregulasi, mobilisasi dana yang diperlukan bagi investasi selama Pelita V diharapkan lebih banyak datangnya dari masyarakat daripada pemerintah. Pada kurun waktu yang sama, peningkatan pajak dalam APBN juga ditargetkan. Ini berarti, seraya masyarakat diminta memobilisasikan dana, di saat yang sama kontraksi ekonomi meningkat pula sebagai akibat kenaikan target penerimaan pajak pemerintah. Beban ganda yang dikenakan pada masyarakat ini mengurangi tingkat kesabaran mereka terhadap perubahan pada harga dan penurunan pada kualitas public goods yang harus mereka bayar bersama-sama pembayaran pajak. Beratkah beban pemerintah? Beban pemerintah juga meningkat karena tidak ada lagi cushion berupa uang minyak yang berlimpah. Kenaikan harga minyak saat ini sama sekali tidak bisa diandalkan dan tetap bersifat short-run. Kebutuhan negara-negara seperti Iran dan Irak yang menghadapi fase rekonstruksi setelah perang niscaya akan membuat mustahil pemberlakuan kuota OPEC yang lebih lama. Di saat negara mengalami masalah ketenagakerjaan dan utang luar negeri yang demikian memprihatinkan, perbedaan perspektif dalam melihat public goods dan pajak dari pemerintah dan masyarakat perlu menjadi bahan renungan kita. Pada saat sekarang, agaknya deregulasi bukan satu-satunya jalan keluar bagi bangsa kita. Pendekatan ekonomis teknis haruslah berlangsung bersama-sama pendekatan ekonomi politik. Di sini, pengalaman negara-negara sosialis pun pantas menjadi bahan pemikiran kita. Bahkan pengalaman Indonesia merdeka sendiri ditandai oleh interaksi yang intens, antara pemerintah dan masyarakat dalam hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus