Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALI waktu mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo pernah mengeluh. Obligasi rekap, kata ekonom asal Yogya ini, sejatinya adalah instrumen keuangan "main-main". Karena itu, cara penyelesaiannya pun mestilah menggunakan teknik rekayasa finansial, bukan ditutup dengan uang sungguhan. Dan Bambang mungkin akan kembali mengeluh bila mendengar kebijakan yang diambil penerusnya, Menteri Keuangan Boediono.
Bertempat di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu lalu, Boediono yang kalem itu minta izin wakil rakyat untuk membayar "kasbon main-main" senilai Rp 3,9 triliun yang jatuh tempo 25 Juli ini. Untuk kasbon itu dia berencana mengucurkan uang tunai yang diambil dari pos Sisa Anggaran Lebih di bujet negara. Selain itu, Boediono mengajukan dua cara lain: memperpanjang tenggat pelunasan dengan menerbitkan obligasi baru untuk membayar obligasi yang jatuh tempo (roll over), atau melego obligasi baru berjangka panjang ke perusahaan asuransi atau dana pensiun.
Jika disetujui DPR, inilah untuk kali pertama surat utang—yang diinjeksikan pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank sekarat pada 1999 lampau, yang berjumlah total Rp 431,57 triliun—akan ditomboki secara tunai. Sebelumnya, pemerintah selalu menempuh cara roll over.
Bukan hanya itu yang istimewa. Jumlahnya sendiri, kata seorang pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebenarnya tak "cuma" Rp 3,9 triliun seperti dijelaskan Menteri Boediono. Data di tangannya menunjukkan obligasi rekap yang jatuh tempo per Juli 2002 mencapai tiga kali lipat dari itu, yakni Rp 12,1 triliun (lihat tabel). Dan untuk tahun ini keseluruhannya mencapai Rp 19,066 triliun. Yang Rp 3,9 triliun itu, menurut catatan BPPN, hanyalah untuk obligasi jenis bunga mengambang (variable rate). Angka Boediono menciut karena sebagian lain, obligasi lindung nilai (hedge bond), tak masuk dalam perhitungan. Ke mana larinya?
Kepala Pusat Manajemen Obligasi Negara Departemen Keuangan, Fuad Rahmany, membenarkan adanya obligasi lindung nilai yang juga telah jatuh tempo dan sebelumnya telah di-roll-over oleh pemerintah. Tapi itu tak ikut diumumkan karena merupakan "opsi pemerintah yang tak bisa dibeberkan sekaligus". Menurut Fuad, jalan roll over bisa menguntungkan karena obligasi yang jatuh tempo dengan bunga tinggi akan diganti dengan kasbon berbunga lebih rendah. "Tidak masalah. Amerika saja terus melakukan roll over selama 100 tahun, dan hal itu masih dilakukan sampai sekarang," katanya.
Tentang obligasi rekap ini, ekonom Faisal Basri berpendapat lain. Menurut Faisal, penjelasan sepenggal-sepenggal itu "mengindikasikan pejabat terkait ingin melempar tanggung jawab ke periode berikutnya". Faisal pun mengingatkan risiko di balik langkah roll over. Ia merujuk pada Economic Review BPPN April-Mei 2002, yang mewanti-wanti bahwa cara itu pada gilirannya cuma akan menggelembungkan beban kas negara. Skenario terburuk memperlihatkan, jika dijadwal ulang satu termin saja, kasbon pemerintah akan membengkak hingga Rp 7.000 triliun. Karena itulah, kata Faisal, jalan lain mesti segera ditempuh, yaitu berangsur-angsur mulai menarik obligasi rekap.
Namun, roll over selalu menarik hati para politisi. Apalagi data menunjukkan bahwa saat pemilu digelar nanti, 2004 dan 2009, adalah masa ketika beban pembayaran obligasi mencapai puncaknya. Mudah ditebak, ketimbang membolongi brankas negara untuk menutup kasbon segunung, pemerintah yang ingin terpilih lagi cenderung akan menempuh langkah populer: menunda kewajiban ini ke periode berikutnya. Dengan demikian, cadangan kas negara bisa diguyurkan untuk menggelar berbagai proyek populis sehingga dukungan ke pemerintah menguat dan suara yang bisa didulang jadi lebih banyak.
Karaniya Dharmasaputra, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo