Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juara diskon nasional. Barangkali itulah sebutan yang pas bagi Moha-mad Syahrial. Wakil Ketua Badan Pe-nyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengurusi soal utang-piutang itu menawarkan dagangannya dengan diskon hingga 75 persen. Bisa dibayangkan, bahkan tukang obral di Pasar Tanah Abang sekalipun bakal ngeper melawan tawaran semurah ini. Tapi celakanya, meskipun sudah dibanting serendah itu, dagangan Syahrial toh tidak gampang laku.
Apa, sih, dagangan Syahrial, kok alot betul? Memang tak lazim: aset berupa piutang BPPN. Tagihan ini semula milik perbankan nasional. Tapi, karena krisis dan macam-macam alasan, kredit ini menjadi macet alias tak tertagih. Untuk menyelamatkan nyawa bank, BPPN mengambil alih tagihan itu dan menggantinya dengan obligasi pemerintah yang bunganya lancar. Utang macet ini lalu dibenahi, dirundingkan lagi jumlah dan jadwal pelunasannya, atau dengan kata lain, direstrukturisasi. Hingga hari ini ada Rp 230 triliun aset BPPN eks kredit macet perbankan.
Nah, kredit yang sudah ditata ulang itu dijual kembali ke perbankan, tentu dengan harga obral. Tapi sayang, lebih dari separuh barang obralan itu belum juga laku. Bulan Juni ini, misalnya, BPPN masih akan melelang Rp 150 triliun piutang eks kredit macet. Kali ini Syahrial akan memainkan jurus yang lebih sinting: diskon hingga 80 persen.
Bakal lariskah dagangan Syahrial? Tampaknya tidak. Meskipun telah ditata ulang (dengan cicilan lebih ringan dan masa pelunasan lebih panjang), sebagian besar tagihan itu saat ini sudah kembali macet. Lihat saja, misalnya, pinjaman kelompok usaha Sinar Mas dan Bakrie Nirwana Resort. Menurut jadwal, Sinar Mas yang berutang US$ 1,25 miliar itu harus membayar cicilan pokok dan bunga US$ 90 juta (Rp 900 miliar), tahun lalu. Tapi hingga hari ini cicilan itu tak pernah disetor. Begitu juga Bakrie Nirwana Resort. Pengelola Hotel Le Meridien Bali ini mestinya melunasi cicilan US$ 680 ribu (Rp 6,8 miliar), Maret lalu. Toh, sampai hari ini tak ada kabar.
Banyak jalan menuju Roma, segudang pula dalih untuk tidak membayar. Alasan yang paling sering dipakai para pengutang: asumsi pendapatan tidak tercapai. Sinar Mas, misalnya, berkilah bahwa harga pulp di pasar internasional jatuh dari US$ 500 menjadi US$ 350 per ton. Padahal, kata seorang petinggi Sinar Mas, "Setiap harga turun US$ 100, Sinar Mas kehilangan pendapatan US$ 500 juta."
Dalih itu juga yang dipakai Bakrie. Presiden Direktur Bakrie Nirwana Resort, Hiramsyah S. Thaib, mengatakan tingkat hunian dan tarif hotelnya hanya 75 persen dari angka yang disepakati dalam restrukturisasi. Ini semua, menurut Hiramsyah, gara-gara teror 11 September yang diikuti dengan sweeping turis asing di Indonesia.
Juru bicara Sinar Mas, Yan Patrawijaya, mengakui bahwa jangka waktu pelunasan yang cuma empat tahun untuk utang senilai Rp 12,5 triliun sebenarnya tidak masuk akal. Sinar Mas menyepakati tuntutan BPPN waktu itu karena merasa tak punya pilihan. Karena itu, ia minta agar pinjaman yang sudah dijadwal ulang ini bisa dijadwal kembali. Menurut Yan, Sinar Mas akan sanggup melunasi utangnya jika diberi waktu hingga 10 tahun.
Hiramsyah juga ingin agar pelunasan utangnya bisa dirundingkan kembali. Jika tidak, bisa dipastikan Bakrie juga tak akan mampu membayar cicilan Rp 9 miliar, yang akan jatuh tempo tiga bulan lagi. Apalagi penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini, menurut Hiramsyah, justru akan menurunkan pendapatan Hotel Le Meridien Bali yang tarifnya dolar itu.
Bak gayung bersambut, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, mengatakan bahwa BPPN kemungkinan besar akan mengakomodasi permintaan debitornya. Ketua tim penyelesaian utang Sinar Mas di BPPN, Sumantri Slamet, bahkan mengakui sudah bersiap melakukan negosiasi ulang. "Senin atau Selasa ini," katanya kepada Setri Yasa dari Koran Tempo, "BPPN akan bertemu dengan Sinar Mas."
Begitu gampangkah? Dradjad H. Wibowo menyayangkan sikap BPPN yang terlalu lembek. Menurut ekonom Institute of Development of Economics and Finance (Indef) ini, pemerintah mestinya menguji dalih para pengemplang yang sudah dikasih hati itu agar tidak lagi merogoh ampela. Mereka yang terang-terang tak mau membayar mestinya mendapat peringatan atau sanksi. "Bagaimana mungkin utang direstrukturisasi berulang-ulang?" katanya.
Dengan cara kerja seperti itu, janganlah terlampau kaget jika tagihan itu akhirnya tidak akan pernah terbayar.
M. Taufiqurohman, Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo