Rekening anonim di Bank Swiss dihapuskan Juni 1991. Tapi bank Swiss kategori AAA, belum akan pudar kejayaannya. CITRA sebagai pencuci uang-uang kotor (money laundry) yang melekat pada bank nasional di Swiss kini akan dikikis habis. Dewan Pengawas Perbankan (Federal Banking Commission) negeri itu menyatakan bahwa mulai 1 Juni mendatang semua pemilik rekening di Swiss harus menjelaskan identitasnya kepada bank mereka. "Ketentuan ini sebenarnya tidak baru," kata Kurt M. Hochner, konsul pada Kedutaan Swiss di Jakarta. Pada tahun 1977, Perserikatan Bank-Bank Nasional Swasta Swiss (Perbanas Swiss), telah sepakat bahwa identitas nasabah harus jelas bagi mereka. Tapi, ketentuan itu ternyata tidak jalan. "Pada tahun 1977-1980, terlihat jelas bahwa uang kotor hasil penjualan obat bius "dicuci" di bank. Ini tidak hanya terjadi di Swiss, tapi juga di banyak negara lain," ujar Hochner. Rupanya, kesepakatan Perbanas Swiss 1977 masih membuka peluang rekening anonim, berupa fasilitas superbanking secret. Nasabah yang mau membuka rekening anonim bisa mengisi formulir B, tapi identitasnya dijamin oleh pengacara. Nah, fasilitas ini dimanfaatkan oleh banyak pejabat yang korup, gembong narkotik, germo, dan bandar judi. Tak heran bila bank Swiss dijuluki sebagai bank yang bergelimang untung di atas penderitaan orang lain. Etika mengamankan kerahasiaan nasabah ini berakar pada tahun 1934, ketika Hitler mulai menggerayangi dana orang-orang Yahudi. Waktu itu banyak orang kaya dari Jerman melarikan uangnya ke Swiss, yang terkenal sebagai negara netral. Dari situasi seperti itulah, bank-bank Swiss menumbuhkan tradisi kerahasiaan nasabah, siapa pun mereka itu. Tradisi ini didukung oleh UU kerahasiaan bank. Isinya antara lain mewajibkan setiap karyawan bank, pengacara, auditor, dan semua yang terlibat dalam urusan nasabah untuk seumur hidupnya merahasiakan nasabah bank. Yang membocorkan rahasia itu diancam hukuman penjara 6 bulan dan denda SF 50.000 (sekitar Rp 65 juta). "Superbanking secret ini sebenarnya tidak absolut," kata Hochner kepada Lenah Susianti dari TEMPO. Sejak tahun 1981, baik pemerintah Swiss maupun pemerintah asing berhak memeriksa rekening di bank Swiss asalkan ada bukti perbuatan kriminal. Setidaknya, sudah ada lima pejabat dari Dunia Ketiga yang rekeningnya dibekukan di bank Swiss. Awal tahun lalu, rekening sekitar US$ 400 juta milik keluarga diktator Rumania, Nicolae Ceausescu, dibekukan atas permintaan pemerintah Rumania. Nasib yang sama menimpa rekening bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Jean-Claude Duvalier dari Haiti, Jenderal Alfredo Stoesner dari Uruguay, dan Jenderal Manuel Noriega dari Panama. Pemerintah Indonesia pun pada tahun 1987 pernah mencoba melacak Dana Revolusi senilai US$ 16 milyar yang konon disimpan di Union Bank of Switzerland atas nama Soebandrio. Tapi sampai sekarang, tak jelas hasilnya. Namun, yang menarik adalah keterangan seorang pimpinan Union Bank of Switzerland (UBS) di Singapura pada tahun 1987. Katanya, nasabah terbesar dan terbanyak adalah orang Indonesia. "Orang Indonesia superkaya," katanya. Dalam bahasa Indonesia yang lancar dia berkisah bahwa takkan mudah melacak nasabah yang dirahasiakan. Dia juga membenarkan bahwa ada nasabah dari Indonesia yang konservatif (meminta jaminan kerahasiaan), tapi banyak juga yang tidak peduli. Yang penting uangnya diputar dan nilainya terus bertambah. Tapi, daya tarik bank-bank Swiss tidak terlepas dari kelihaiannya mengelola dana secara sangat profesional. Tiga bank Swiss terbesar, yakni Union Bank of Switzerland. Swiss Bank Corporation, dan Credit Suisse, dewasa ini dinilai sebagai bank-bank Triple A. Belum satu pun dari mereka membuka cabang di Indonesia, tapi banyak orang kaya Indonesia memutarkan uangnya di UBS. Pengamat perbankan Priasmoro Prawiroardjo berpendapat, UU Perbankan Swiss itu tidak akan menyebabkan para nasabah lari. "Swiss mempunyai banyak keunggulan. Politik mereka stabil dan mantap. Tradisi perbankan Swiss juga sudah demikian berakar. Kepercayaan itu tidak akan mudah didapat, misalnya di Argentina atau Caymand Islands, yang sebenarnya juga menawarkan rekening anonim," kata Priamoro. Kata-kata itu hampir sepenuhnya benar. Walaupun UU Perbankan diberlakukan Juni mendatang, sampai kini aliran dana ke Swiss tetap lancar. Menurut perkiraan majalah The Economist dari London (edisi Januari 1991), ketika timbul Krisis Teluk pada Agustus 1990, tak kurang dari 15 milyar franc Swiss (sekitar Rp 19,5 trilyun) mengalir ke Swiss. Sementara itu, rekening orang/perusahaan asing yang diparkir di Swiss waktu itu diperkirakan berjumlah SF 1,5 trilyun. Menurut Priasmoro, Perbanas di sini juga sudah mulai mempermasalahkan money laundry di Indonesia. Tapi, perekonomian kita masih sangat sensitif. "Karenanya, kita belum perlu membuat UU yang meneliti asal-usul uang nasabah. Toh, sudah ada UU kerahasiaan bank yang mengizinkan -- karena suatu sebab -- pemeriksaan rekening nasabah meski dengan tata cara tertentu. Di Indonesia memang tidak diizinkan rekening tanpa nama. Namun, menurut juru bicara BI Dahlan Sutalaksana, rahasia nasabah tetap dijamin. Untuk kepentingan perpajakan, Menteri Keuangan sebagai otoritas moneter berwenang mengetahui identitas nasabah. Untuk kepentingan peradilan, Menteri Keuangan juga dapat mengizinkan Jaksa Agung atau Mahkamah Agung meminta informasi kepada bank mengenai uang tersangka. Contohnya adalah kasus Bank Duta. "Tapi harus jelas dulu nama tersangka, dan harus jelas hubungan perkara pidana dengan keterangan yang diminta," Dahlan menegaskan. Max Wangkar, Bambang Aji, dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini