MEMBELI kendaraan niaga, kecenderungannya, adalah membeli karoseri. Pemilihannya pun lebih banyak didasarkan pada penampilan luar -- yang kelihatan mewah, megah, karena berkesan berdinding kaca riben, meski belum tentu nyaman dan aman dikendarai. Apa pun, belum pernah terjadi sebelumnya, industri karoseri begitu kaya dalam menghasilkan pelbagai model kendaraan niaga, yang pada akhirnya menjadi kendaraan keluarga. Tapi di balik kisah sukses itu, siapa sangka, peranan agen tunggal kendaraan bermotor, ternyata, banyak menentukan. Sebab, tanpa ada pesanan dari agen tunggal, industri karoseri itu, bisa dipastikan, akan jauh dari kesibukan. Karena hubungan yang agak berat sebelah itu, pemerintah kemudian menganjurkan agar agen tunggal juga mau membagi rezeki. Artinya, pembuatan karoseri untuk kendaraan niaga yang mereka ageni sebaiknya diserahkan dan dipercayakan kepada industri karoseri independen. Karoseri tidak boleh dikerjakan di perakitan mobil milik agen tunggal. Dengan cara begitu, pemerintah ingin secara langsung berusaha menjaga kelanggengan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja itu. "Pabrik mobil tetap membuat mobil," kata Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar Eman Yogasara di DPR, belum lama ini. Untuk melindungi kelangsungan hidup lebih dari 170 industri karoseri itu, konsumen juga yang akhirnya diminta memikul ongkosnya. Mobil itu, misalnya, sesudah dipajang di ruang pamer ternyata bisa lebih mahal -- karena biaya untuk menghasllkan setiap unit mobil itu di industri karoseri jatuhnya Rp 3 juta. Padahal, bila dikerjakan di perakitan mobil dengan mesin pres, menurut Dirjen Eman, jatuhnya paling Rp 800 ribu-Rp 1 juta. Kalangan industri karoseri, tentu saja, menyambut baik payung yang akan melindungi mereka darl tenknya persaingan. "Kalau agen tunggal itu juga diizinkan membuat karoseri, kami ini bisa celaka," kata Budi Hermawan, Direktur Pelaksana Alexander Motor. Para agen tunggal sendiri, sementara itu, seperti tidak punya pilihan lain. "Ini memang penting untuk menghidupkan industri karoseri yang begitu banyak," kata Soebronto Laras, Direktur Utama Indo Mobil Utama. Padahal, bila dikehendaki, perusahaan seperti Toyota Astra Motor bisa saja membuat semua komponen dan sekaligus merakitnya sendiri. Tapi agen tunggal Toyota itu, nyatanya, lebih suka mempercayakan perakltan komponen yang dihasilkannya kepada, misalnya, Superior Coach di Bekasi. Dengan bimbingan dari Toyota, industri karoseri ini kemudian merangkai-rangkaikan komponen tadi menjadi pick up atau mini bus. Dari situ, Superior mendapat upah Rp 2,5 juta setiap unit. Dan sejak 1979, Superior praktis 80% mengerjakan karoseri Toyota. Dengan mengikatkan diri ke merk kuat itu, "Suplai pekerjaan terjamin," kata Edison, Direktur Pemasaran Superior. Tentu tidak semua industri karoseri mempunyai hubungan istimewa seperti itu. Industri karoseri umumnya tidak mengikatkan diri untuk mengerjakan karoseri untuk satu merk saja. Konsekuensi sikap ini tentu ada. Kontrol terhadap kualitas pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan akan komponell, misalnya, sepenuhnya ada di pundak pembuat karoseri. Dan pembuatannya pun umumnya dikerjakan dengan keahlian menempa dan mendempul -- bukan dengan mesin pres. "Mirip kerja bengkel," kata Budi Hermawan, Direktur Pelaksana Alexander, yang mempekerjakan 500 buruh di situ. Proses produksi seperti itu memang layak ditempuh. Untuk membeli matras guna mencetak komponen perlu investasi tinggi. Matras untuk membuat daun pintu bikinan Cibinong, misalnya, harus ditebus dengan Rp 400 juta. Bila semua komponen itu harus dibuat dengan cara pengepresan, "Investasinya bisa mencapai Rp 2 milyar sampai Rp 3 milyar," kata Budi kepada wartawan TEMPO Bunga Surawijaya. Bisa runyam, untuk mengembalikan tingkat investasi itu tidak mudah, karena selera masyarakat gampang berubah. Dan kalau perusahaan karoseri mau mengikuti selera itu, matras harus diubah. Padahal, menurut pengalaman Alexander, setiap empat atau lima bulan mereka harus selalu mengeluarkan model baru jika tetap ingin disukai konsumen. Karena alasan itu, kebanyakan industri karoseri akhirnya tidak suka mempertaruhkan uangnya untuk membeli matras. Tapi bagi Toyota Mobilindo, penghasil komponen Toyota, investasi untuk membeli matras baru itu harus selalu dilakukannya. Komitmen itu tampaknya harus dipenuhi untuk menjaga agar penjualan Kijangnya yang sudah bagus tidak terpukul. Sementara itu, untuk merakit komponen yang dihasilkannya, Toyota mempercayakannya kepada tiga perusahaan karoseri. Bila langkah seperti itu kemudian juga diikuti agen tunggal yang lain, konsumen jelas akan diuntungkan. Tapi tidak bagi industri karoseri yang, mungkin, terpaksa mengurangi buruhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini