PEJABAT yang paling sibuk di masa harga minyak jatuh mungkin hanya Dirjen Pajak Salamun A.T. Tugasnya: untuk tahun anggaran berjalan ini harus bisa mengumpulkan uang tidak kurang dari Rp 5,3 trilyun. Kalau sasaran sebesar ini tidak tercapai, bukan tak mungkin, pembangunan suatu proyek yang sudah direncanakan dan tersedia dana valuta asingnya akan batal. Beban bagi aparat pajak memang tambah berat, sesudah sasaran pajak migas yang Rp 9,7 triyun itu, diduga, sulit dicapai. Yang dilakukan adalah ekstrahati-hati dalam membaca kebenaran laporan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) dari pengusaha. Dan hasilnya, dari uji petik yang dilakukan aparat pajak, seperti diungkapkan pekan lalu, instansi itu menemukan ketidakbenaran pengisian SPT puluhan pengusaha. Dari 50 SPT yang kemudian diperiksa ulang, Dirjen Salamun menemukan 10 di antaranya bisa dianggap akan menyelundupkan pajak, atau memberikan laporan tidak benar, hingga jumlah pajak yang mereka bayar lebih kecil dan semestinya. Menurut perhitungan di kertas, jumlah kekurangan pajak yang kelak harus mereka lunasi tak kurang dari Rp 50 milyar. Untuk menagih kekurangan itu, kata Dirjen Salamun, pemerintah tidak akan gegabah menyeret mereka ke depan meja hijau. "Kami perlu memperhltungkan baik buruknya tindakan itu bagi pengusaha bersangkutan," ujarnya. Tapi, sesudah dilihat, langkah itu ternyata lebih banyak mudaratnya, jalan damai tampaknya lebih populer. "Yang penting bagi saya, uang bisa mengalir ke kas negara," katanya kepada wartawan TEMPO Rudy Novrianto. Tak jelas perusahaan mana yang akan kebagian tagihan itu. Tapi sejumlah pengusaha menyebut-nyebut Miwon, penghasil bumbu masak terkemuka itu, termasuk yang akan kejatuhan surat tagihan. Menurut Dirjen Pajak Salamun, Miwon tidak termasuk di antara 10 perusahaan itu. Sebaliknya, Dirjen Salamun menyebut, penghasil penyedap masakan itu termasuk perusahaan yang diduga menyelundupkan pajak "Saya tidak ingat pastl berapa besar pajak yang diselundupkannya," ujarnya. "Namun petugas kami sudah bisa memperkirakan jumlah kekurangan yang harus mereka bayar." Ketika ditanya apakah penyelundupan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, Dirjen Salamun tidak bisa memastikannya. Kalau instansinya beranggapan, hal itu dilakukan dengan sengaja, berarti Ditjen Pajak harus membawa persoalannya ke pengadilan. "Kasusnya, kini, sedang diteliti," jawab Dirjen Salamun. "Kami harus mendengarkan alasan yang diberikan Miwon, mengapa mereka melakukan tindakan itu." Yang terkena tuduhan itu, tentu saja, menyanggahnya. Bertambahnya keuntungan akibat naiknya penjualan, menurut Kayo Salim, Direktur Umum Miwon, memang ada. "Tetapi pajak yang kami setor pun juga meningkat," katanya. Berapa persisnya jumlah pajak yang disetor PMA Korea Selatan, Kayo Salim, yang ditemui di rumahnya, tak ingat betul angkanya. "Saya harus lihat dulu angkanya di pembukuan," katanya. Persoalan itu, mungkin, tak akan muncul bila kapasitas terpasang pabrik itu tidak ditambah sejak tiga tahun lalu. Perluasan memang perlu dilakukan mengingat, setelah devaluasi 1983 lalu, Miwon mendapat permintaan deras dari Amerika, Korea, Kanada, dan terutama Hong Kong. Dan, menurut pihak pabrik Miwon di Surabaya, perluasan kapasitas itu, "Sudah dilaporkan ke BKPM." Tapi yang tak jelas apakah aparat Ditjen Pajak juga sudah mengetahui perluasan pabrik yang secara langsung akan menaikkan penghasilan kotor perusahaan. Yang sudah pasti, Ditjen Pajak ternyata memergoki pengisian SPT perusahaan itu dianggap tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Berat tidaknya kualifikasi pelanggaran yang dilakukan Miwon, tentu, hanya Dirjen Salamun yang mengetahui. Untuk menyelesaikan soal yang menyangkut kepentingan modal asing seperti Miwon itu tentu ada yang harus diperhitungkan sebab, siapa tahu, modal asing jadi takut ke sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini