ORANG Jepang agaknya tetap masih sulit dibujuk. Buktinya, misi Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita dan Kadin belum lama ini hanya bisa mengantungi persetujuan investasi baru US$ 51,2 juta dari sana. Padahal, rombongan besar dan kuat itu sudah mengantungi banyak bunga pemikat, seperti Paket 25 Oktober, yang memberi kemudahan di bidang penanaman modal, pemakaian fasilitas swap, serta tata niaga bahan baku dan penolong impor. "Sebenarnya, dua tahun terakhir ini kondisi penanaman modal di sini sudah makin longgar. Penurunan investasi bukan karena mereka menemui banyak hambatan," kata Ketua BKPM Ginandjar. "Melainkan karena Korea, Taiwan, dan Muangthai menawarkan kondisi lebih baik. Di bawah mereka ada Hong Kong, Singapura, lalu Malaysia." Korea dan Taiwan dipilih, misalnya, karena fasilitas infrastruktur dan birokrasi di sana bagus. Kalau mereka hendak mengekspor barang ke Amerika, lebih dekat, ditambah banyak kapal yang berlayar ke sana punya trayek tetap. Bila mau mengimpor bahan baku dan penolong, mereka tidak perlu lewat importir tunggal atau importir tertunjuk, yang hanya menambah biaya dan membuang waktu. Sesudah nilai yen menguat hampir 40% melawan dolar, kondisi kedua negara itu memang makin menarik. Bayangkan, naiknya mata uang itu ternyata menyebabkan upah buruh di Jepang delapan kali lebih mahal dibandingkan upah buruh Korea, dan enam kali lebih mahal dibandingkan buruh Taiwan. Akibatnya, banyak perusahaan berskala kecil dan menengah kemudian mengalihkan kegiatannya ke kedua negara itu. "Liberalisasi PMA yang dilakukan kedua negara juga ikut menambah daya tarik," kata Teruyuki Ohuchi, Direktur Pelaksana The Industrial Bank of Japan. Di Indonesia, belum satu pun perusahaan berskala kecil Jepang mencatatkan namanya di BKPM. Ada memang sejumlah pengusaha mebel rotan, sesudah mendengar BKPM memperluas peluang PMA masuk ke 926 bidang usaha dari sebelumnya 475 dengan Paket Enam Mei, berniat masuk ke sini. Tapi sayang niat itu terganjal dengan ketentuan yang mengharuskan mereka menanamkan modal tidak kurang dari US$ 1 juta. "Kalau mereka diperbolehkan menanam modal US$ 100 ribu atau US$ 200 ribu, peminatnya sebetulnya banyak," kata Hiroshi Oshima Direktur Jetro (Japan External Trade Organization) Jakarta, suatu kali. Memang, sekalipun rasanya pemerintah sudah banyak memberi kelonggaran, tuntutan dari calon penanam modal tetap masih ada. Sakae Saito, Direktur Pelaksana The Daiwa Bank, misalnya, mengusulkan agar bank devisa asing diperbolehkan juga beroperasi di luar Jakarta. Sebab, pada pengamatan Saito, banyak PMA Jepang berkantor pusat dan beroperasi di luar Jakarta. Kalau bank devisa asing boleh beroperasi di luar Jakarta, PMA Jepang tentu akan bisa memanfaatkan fasilitas kredit ekspor yang disediakan Bank Indonesia. Maklum, meskipun Paket 25 Oktober sudah memberi kelonggaran PMA bisa mengambil kredit ekspor sampai 85% dari seluruh kebutuhan pembiayaan, Saito melihat masih banyak PMA Jepang yang belum kebagian fasilitas empuk itu. Di pertemuan Komite Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Jepang ke-7 itu, Saito juga mengusulkan agar Bank Indonesia mulai memikirkan untuk membuka pasar bagi kontrak penjualan berjangka valuta asing (forward exchange market). Maksudnya, tentu, agar perusahaan yang punya komitmen membeli valuta asing untuk jangka tertentu bila terdesak kebutuhan rupiah bisa menjualnya di pasar uang. Bagi Ketua BKPM Ginandjar usulan seperti itu jelas tidak gampang dijawab. Tuntutan dari penanam modal, rupanya, tidak mungkin hanya dipenuhi dengan melepaskan pembatasan pemakaian devisa. Atau menghilangkan pagu atas pemakaian fasilitas swap -- kombinasi dari tindakan membeli/menjual valuta asing secara tunai (spot) dan menjual/membeli kembali secara berjangka (forward contract). Tapi penanam modal Jepang, yang biasanya beroperasi dengan tingkat utang sangat tinggi dibandingkan modal mereka, rupanya menginginkan lebih banyak. Lihat saja, Saito dari Daiwa Bank ternyata juga menginginkan agar harga uang rupiah di sini diturunkan. Ketika kemudian Ketua BKPM dan Kadin melanjutkan misi ke Taiwan, Korea, dan Amerika tuntutan dari calon penanam modal di sana berbeda lagi. Para pengusaha Amerika, seperti diceritakan Ginandjar, malah tertarik dengan kelonggaran yang diberikan Inpres No. 4 tahun 1985 untuk memperlancar arus barang impor dan ekspor. "Yang menjadi ganjalan mereka justru soal industrial property rights yang dianggap belum mendapat perlindungan cukup di sini," katanya. Tapi bagi pengusaha Jepang, Inpres No. 4 tahun 1985, yang memberikan kewenangan penuh kepada surveyor SGS mengecek harga, mutu, dan jumlah barang impor maupun ekspor, malah menimbulkan kritik. Menurut Shigckazu Ohashi dari Sumitomo Corp., pengecekan harga yang dilakukan SGS itu jauh dari kelaziman dan tidak jelas standarnya. Surveyor itu juga dianggap kurang memahami kondisi kontrak dan kurang menguasai standar barang. Pendeknya, "Kami tak yakin terhadap cara SGS menentukan harga karena dasar-dasar penentuannya tak jelas," kata Shigekazu. Seharusnya, menurut Shigekazu, taksiran surveyor dibuat dengan memperhatikan kesepakatan kontrak antara penjual (eksportir) dan pembeli (importir). Sebab, harga yang ditetapkan dalam kontrak itu sudah mempertimbangkan kondisi harga internasional, risiko, dan sejumlah faktor yang mempengaruhi keputusan itu. Sialnya, harga kontrak itu sering disebut pihak inspektur SGS di lapangan sebagai di bawah harga (under price) internasional. Koreksi lalu dilakukan dan, apa boleh buat, importir harus membayar bea masuk lebih besar. Diperkenalkannya Inpres No. 4 itu, tentu, tak dimaksudkan untuk membikin gamang modal asing masuk kcmari. Juga tidak untuk mencari tambahan penghasilan atas bea masuk. Yang perlu diperhatikan aparat pemerintah agaknya adalah konsistensi terhadap peraturan. PMA umumnya masih bersikap hati-hati sekali dalam melihat pelaksanaan sejumlah kelonggaran yang aduhai belakangan ini. "Sebagai pengusaha mereka tak langsung percaya begitu saja, karena di masa lalu mereka pernah rugi akibat berubah-ubahnya peraturan," kata Soerjantono Soerjo, Ketua Departemen Promosi dan Pengembangan Kadin. Bukan hanya di peraturan kelemahan itu tampak. Di bidang penyediaan infrastruktur untuk kawasan berikat, Indonesia dianggap kalah dibandingkan Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Di sana penanam modal tidak harus mengurus air dan listrik. "Tapi di sini, mereka harus ikut membangun gardu listrik," kata S.M. Pardede, Wakil Ketua Dep. Promosi Kadin. Toh, dalam kondisi seperti itu, ada juga perusahaan Jepang yang masih berusaha bertahan dengan memperluas usaha. Matsushita Electric, misalnya, sudah sepakat dengan rekan usaha lokalnya, National Gobel, menanamkan US$ 3 juta untuk perluasan pabrik batu batere mereka di sini. Usaha menambah kapasitas terpasang itu dilakukan untuk memenuhi permintaan batu batere di pasar internasional. "Ini harus kami lakukan sebab pasar di dalam negeri sudah terlalu ketat," kata Jamien A. Tahier, Wakil Presiden Direktur National Gobel. Sebagai seorang manajer profesional, yang banyak mengurus kepentingan bisnis rekan usahanya, Jamien melihat banyak kekurangan yang tampaknya perlu diperbaiki agar calon penanam modal tertarik kemari. Soal izin kerja, misalnya, di Singapura mudah diperoleh. Tapi di Indonesia, selain izin kerja, mereka diharuskan pula memiliki izin tinggal. "Kedua izin itu kalau akan diperpanjang ternyata rada sulit," katanya. Peraturan dan ketentuan itu sendln, bila sudah dibuat, nyatanya tak mudah dilaksanakan dan dijaga kemurniannya. Menurut H. Wirontono, Presiden Grup Wirontono, "Yang belum menarik di sini adalah soal menegakkan disiplin pelaksanaan peraturan itu." Pengusaha yang menghasilkan bearing ini menunjuk pada masih banyaknya bearing impor yang masuk -- sekalipun sebenarnya peraturan sudah melarang pemasukan itu. "Masakan sudah lebih dari tiga bulan larangan impor itu, yang namanya stok masih ada," katanya agak masygul. Jenis pengusaha seperti Wirontono ini, yang mempunyal modal cukup kuat masuk ke hulu, tidak banyak. Kalau pemerintah sampai lengah tak memperhatikan nyanyiannya, orang lokal bukan tak mungkin akan kapok menanamkan modal juga. Tentu saja, dalam soal memberi perlindungan bagi PMA maupun PMDN seperti itu, soal kepentingan konsumen akhir tetap perlu diperhitungkan. Konsumen ingin membayar apa yang seharusnya dibayar saja. Eddy Herwanto, Laporan M. Cholid & Budi K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini