SK pertama Menteri Perdagangan tahun ini, tampaknya, khusus buat kesejahteraan peternak susu: pabrik-pabrik pengolahan susu harus lebih banyak menyerap susu segar hasil perahan dalam negeri. Berlaku mulai bulan ini, pabrik hanya boleh mengimpor susu paling banyak 1,7 kali dari sejumlah yang harus dibeli dari peternak lokal, sehingga rasio antara wajib beli susu lokal dan hak impor menjadi 1 :1,7. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Direktur Jenderal Peternakan, Daman Danuwidjaja, menyatakan bahwa produksi susu nasional setiap tahun meningkat 6%-8%. Setiap harinya para peternak memerah sekitar 560.000 liter. Tapi permintaan juga meningkat, menjadi hampir dua juta liter per hari. Peternak lokal yang masih belum mampu membuat sapinya memproduksi susu lebih murah dari sapi di Amerika atau Australia memang harus dilindungi. Menurut orang koperasi susu di Jakarta, Mohamad Amin, tingkat harga peternak kepada koperasi sekarang Rp 345,00 per liter - atau Rp 12,00 lebih tinggi dari bulan lalu. Sedangkan pabrik susu membelinya dari koperasi Rp 400,00 per liter. Padahal, susu impor harganya hanya sekitar Rp 160,00 per liter. Syukur, pengusaha pengolahan tidak rewel. "Kebijaksanaan baru itu tidak mengakibatkan kesulitan ataupun kerugian," kata salah seorang direktur PT Food Specialities Indonesia (Nestle), S. Darusman, yang membikin susu Dancow. Soal aturan serap-impor susu setidaknya dimulai sekitar 10 tahun lalu. Pertama, 1978, rasionya 1: 25. Lalu bertambah ketat: 1: 8, 1: 3,5, 1: 2, sampai akhirnya akhirnya 1: 1,7. Para peternak semakin nyaman jongkok di selangkang sapi. Juga Tirta Amerta Agung, perusahaan patungan antara Mantrust dan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia). Sebab, selama ini, susu sapi kebanyakan diserap Friesche Vlag, penghasil susu cap Bendera, yang masih terhitung keluarga Mantrust sendiri. Menurut bos Mantrust, Tegoeh Soetantyo, bukti serap atau busep di Friesche Vlag dari Tirta Amerta kini sudah mencapai sekitar Rp 4 milyar. Mana tahan. "Kalau rugi terus, bisa-bisa kami tidak mampu lagi menyerap, setop, . . . tapi itu berarti: geger," kata Tegoeh kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini