Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Emas hijau

Di negara-negara maju, pisang menjadi branded product. Indonesia tidak disarankan untuk bisnis pisang karena pedagang besar pisang dunia sulit diterobos pendatang baru & penangan pasca panen yang tidak sederhana.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PISANG apa yang kulitnya enak dimakan? Itu pertanyaan gurauan yang saya ajukan di depan sekelompok teman-teman di Negeri Belanda. Tak ada yang bisa menjawab. Maklum, mereka sudah terlalu lama di luar tanah air, dan tak terbiasa lagi dengan pertanyaan plesedan seperti itu. Jawabnya: kulit pisang goreng. "Ha ha ha, tapi di sini hanya ada pisang Chiquita yang kulitnya sepat bila dimakan," tangkis mereka. Di negara-negara maju, pisang pun sudah menjadi branded produc - pada tiap buahnya ditempeli stiker merk. Salah seorang teman yang bekerja di HVA - konsultan agrobisnis terkemuka yang di masa lalu punya banyak perkebunan di Indonesia - lalu "menyelewengkan?' pembicaraan kepada bisnis pisang. Kenapa, ya, Indonesia yang punya tanah begitu luas tidak menjadi pemasok pisang bagi pasar dunia? Saya jadi ingat ketika masih duduk di bangku sekolah rakyat (sekarang: sekolah dasar). Dalam pelajaran ilmu bumi kami belajar tentang kapal bercat putih yang mengangkut. pisang dari Banyuwangi ke Australia. Fakta itu kini hanya tinggal sejarah. Saya pun ingat ucapan Profesor Gustav Papanek, ahli ekonomi dari Universitas Boston, yang mengatakan bahwa Indonesia punya potensi menjadi eksportir buah yang penting bagi pasar dunia. Nyatanya, hingga kini buah belum lagi menjadi komoditi ekspor yang penting. Teman dari HVA ini tadi lalu menjadi serius. Ia lantas menghubungi rekannya yang ahli pisang, dengan harapan ada advis untuk memulai bisnis pisang berskala besar di Indonesia. Ternyata, justru tidak diadviskan untuk menyelenggarakan bisnis seperti itu. Alasannya: satu, bisnis pisang dunia dikuasai oleh beberapa pedagang besar yang sudah terlalu besar untuk dapat diterobos oleh pendatang baru kedua, sekalipun menanam pisang adalah hal yang sederhana, urusan transportasinya untuk mencapai pasar dunia memerlukan teknologi yang tidak sederhana. Memang, salah langkah, orang bisa terpeleset bila menginjak kulit pisang. Sebuah buku berjudul Green Gold, yang ditulis Robert Thomson dan baru diedarkan secara terbatas tahun lalu teh Latin American Bureau di London, mengungkap lebih jauh tentang bisnis pisang yang ternyata gagal memberikan kemakmuran bagi petani papa di Karibia Timur. Pada 1980 angin topan Allen menghancurkan total tanaman pisang di St. Lucia. Di St. Vincent kerusakan mencapai 95%. Yang paling beruntung hanya Grenada, dengan tingkat kerusakan 40%. Siapa lagi yang menanggung petaka bila bukan para petani papa itu? Geest, perusahaan Inggris yang merupakan satu-satunya pengekspor pisang dari Kepulauan Windward (Grenada, Dominica, St. Vincent, dan St. Lucia), tentu saja tidak ikut memikul beban kerugian kecuali bahwa volume bisnisnya merosot. Berdasarkan Konvensi Lome, semua pisang yang dihasilkan di Kepulauan Windward hanya bisa dikapalkan ke Inggris. Geest mengelola pengangkutan, proses pematangan, dan penyalurannya melalui grosir-grosir di Inggris. Tetapi Geest sama sekali tidak ikut dalam proses produksinya. Geest menjual hak guna tanahnya kepada para petani kecil, yang dengan demikian terikat untuk menjual produksinya kepada Geest semata. Dengan cara itu, Geest hanya tahu beres. Tak ada risiko keuangan dan tak ada masalah perburuhan yang bakal menyangkut jutaan orang itu. Risiko yang dihadapi para petani bukan saja bencana alam seperti angin topan. Tetapi juga kenyataan bahwa pasar Inggris untuk produk pisang sudah mencapai kejenuhan. Akibatnya, Geest tidak selalu membeli habis pisang yang diproduksi para petani di kepulauan Windward. Harganya pun demikian ditekan sehingga harga beli Geest kepada petani hanya 10% dari harga jual pisang Geest di tingkat pengecer. Padahal, dengan harga serendah itu para petani maslh harus memikirkan biaya pupuk, pembasmi hama, alat-alat, dan upah buruh. Sekalipun pisang merupakan 43% ekspor Dominika, misalnya, dan menghasilkan 70% valuta asing bagi negeri itu, kenyataannya 42% penduduk di kawasan itu masih hidup di bawah garis kemiskinan. Keadaan yang nyaris monokultur pisang itu pun menyebabkan ketergantungan akan bahan pangan. Di St. Lucia, misalnya, 100% padi, jagung, dan gandum diimpor, begitu juga 80% daging. Secara keseluruhan, 66% bahan pangan merupakan komoditi impor. Akibatnya, harga pangan menjadi tak tertanggungkan oleh penduduk. Sebuah survei di kawasan Karibia Timur itu menunjukkan bahwa separuh penduduknya hanya mengonsumsi kurang dari 80% kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat. Apa yang telah keliru di kawasan Karibia Timur itu ? Robert Thomson dalam bukunya menyebutkan bahwa kesalahannya karena negara-negara itu hanya bergantung pada satu jenis tanaman (pisang), satu pengekspor (Geest), dan satu pasar (Inggris). Belum terlambat, memang. Robert menulis: negara-negara itu seharusnya menyalurkan devisa yang diperolehnya dari berdagang pisang itu untuk membangun ncKaranya secara terencana dan segera membebaskan diri dari ketergantungan pada pisang. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus