KELEBIHAN produksi sama membingungkannya dengan kekurangan. Itulah yang kini dialami serat karung goni. Sampai-sampai Universitas Diponegoro di Semarang, pekan lalu, mengundang sekitar 250 orang untuk membicarakan kemungkinan lain penggunaan hasil tanaman kenaf itu selain untuk karung. Entah untuk bahan baku kertas, tekstil nonsandang, pengganti serat gelas dan asbes, dan entah untuk apa lagi. Menurut Direktur Produksi PTP XVII Soeparno Hardjosapoetro, kita masih mengimpor serat karung lebih dari 21.600 ton pada 1985. Karena produksi dalam negeri belum mencapai 6.500 ton. Tahun berikutnya, produksi melonjak, sampai melebihi 20.000 ton. Tahun lalu, melonjak lebih hebat, mencapai 38.000 ton. Padahal, kebutuhan hanya meningkat dari 28.000 ton menjadi 33.000 ton. Rupanya, program Intensifikasi Serat Karung Rakyat (Iskara) di lahan Bonorowo, di daerah rawa-rawa sepanjang hulu Bengawan Solo, sangat berhasil. Potensi' Bonorowo, yang luas lahan tanaman kenafnya sekitar 100.000 hektar, sangat besar. Sehingga, menurut Soeparno, kalau tidak direm produksinya lima tahun mendatang akan meluap sampai 100.000 ton per tahun. Nah, kata Soeparno, "Dalam 2-3 tahun ini harus sudah ada diversifikasi kalau tidak ingin melihat petani serat karung kita kehilangan pekerjaan." Mengapa tidak diekspor? Harganya tidak 'nyampai: lebih mahal sekitar Rp 375,00 dibanding karung impor yang hanya Rp 900,00. Belum lagi harus bersaing dengan karung plastik. Maka, perlu segera digali kegunaan lain serat karung goni itu. Dilihat dan segi teknologi dan pasar, menurut seorang peserta seminar, yang paling mungkin saat ini untuk bahan baku kertas, pulp, dan tekstil nonsandang. Hal itu dibenarkan oleh seorang pejabat perindustrian, H.M. Mansur, yang memperkirakan bahwa hasil olahan surplus serat karung goni itu - sekitar 50.000 ton pada 1990 - akan dengan mudah diserap oleh pabrik-pabrik kertas. Bahkan mungkin masih kurang. Selama ini, menurut Mansur, pabrik-pabrik kertas masih mengimpor pulp. Masalah harga? "Bisa dirundingkan belakangan," kata Mansur, sembari mesem. Rudy Norianto (Jakarta) dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini