Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nyungsep atau Terbang Tinggi

Merpati kian terpuruk dibebani utang. Terancam dilikuidasi, berharap restrukturisasi.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA lembar surat itu tiba di meja Wahyu Hidayat pada waktu yang hampir bersamaan, Rabu pekan lalu. Selembar dari PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), yang lainnya dari PT Merpati Nusantara Airlines.

Dalam surat yang dikirim via faksimile, PPA meminta waktu sebulan untuk mengkaji restrukturisasi utang Merpati. Sedangkan Merpati menyatakan tengah menyiapkan rencana bisnis untuk mendukung usul restrukturisasi utang seraya berkonsultasi dengan PPA. "Sekarang urusannya ada di Merpati dan PPA," kata Deputi Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian Badan Usaha Milik Negara itu kepada Tempo di ruang kerjanya.

Merpati memang hampir sakaratul maut. Setelah mengudara selama 53 tahun, maskapai penerbangan pelat merah ini terbelit utang Rp 6 triliun. Sebagian utang, sebesar Rp 3,186 triliun, hasil pembelian 14 pesawat Modern Ark 60 buatan Xian Aircraft Corporation Industry, Cina.

Pembelian dilakukan dalam skema subsidiary loan agreement antara Indonesia dan Cina. Sisanya tunggakan utang masa lalu kepada sejumlah badan usaha milik negara, seperti PT Pertamina, PT Angkasa Pura I dan II, Jasa Raharja, Jamsostek, serta PPA. "Setiap hari perusahaan memiliki beban biaya Rp 1 miliar," ucap Direktur Utama Merpati Rudy Setyopurnomo, Rabu pekan lalu.

Merpati jelas tak sanggup membayar utang yang tiga kali lebih besar ketimbang nilai asetnya. Tahun lalu saja, misalnya, perusahaan rugi Rp 950 miliar. Kerugian itu sebagian terjadi di masa direktur utama sebelumnya, Sardjono Jhony Tjitrokusumo, sebesar Rp 450 miliar. Kerugian 2012 lebih besar daripada tahun sebelumnya yang Rp 756 miliar.

Kas Merpati kini tergerus biaya operasional harian. Beberapa bulan terakhir, pembayaran gaji karyawan yang di atas Rp 10 juta dicicil sampai tiga kali dalam sebulan. Total Merpati mesti menggaji 1.300 karyawan dan 800 pekerja alih daya. "Opsi terakhir untuk menyelamatkan Merpati adalah merestrukturisasi utang menjadi saham," kata Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, Selasa dua pekan lalu.

Menurut Dahlan, PT Garuda Indonesia juga pernah mengalami masa sulit seperti Merpati. Garuda pernah menanggung utang hingga US$ 1,2 miliar dari BUMN, pemerintah, dan sejumlah kreditor asing. Restrukturisasi utang tuntas dalam sepuluh tahun sejak 2001.

Rudy mengatakan masih ada dua kemungkinan selain restrukturisasi, yakni dipailitkan dan likuidasi. "Tapi, untuk keduanya, negara harus menganggarkan sekitar Rp 2 triliun buat pesangon karyawan," ujarnya. Rudy jelas mendukung restrukturisasi. Ia yakin laporan keuangan perusahaan akan kembali positif setelah utang dikonversi menjadi saham.

Gara-gara usul restrukturisasi, Rudy mengklaim ada empat maskapai lokal yang ingin bekerja sama operasional dengan Merpati. Itu sebabnya, ia berharap, sebelum 2013 berakhir, restrukturisasi utang sudah terealisasi sehingga perseroan bisa melakukan penjualan saham perdana sebelum pemerintahan berganti pada 2014.

Wakil Ketua Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat Aria Bima menentang keinginan Rudy. Ia menolak mentah-mentah rencana penawaran umum saham perdana (IPO) walau menyetujui konversi utang. "Tidak ada IPO untuk Merpati," ucap politikus PDI Perjuangan ini, Rabu pekan lalu.

Penolakan Aria merujuk pada keputusan Panitia Kerja Merpati di Komisi BUMN, yang dibentuk pada 2011, untuk memutuskan arah bisnis maskapai ini. Menurut dia, Merpati bukan BUMN yang berorientasi pada keuntungan, melainkan berfokus pada penerbangan perintis untuk menghubungkan antarpulau Nusantara. "Mengapa harus IPO?"

Aria Bima justru ingin Merpati mendapatkan suntikan dana dari pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN) dan kerja sama operasi. "Ini tugas negara, jadi boleh pakai APBN," katanya. "Sudut pandang Komisi VI dan Dahlan Iskan berbeda."

Ferari Romawi, anggota Komisi BUMN dari Partai Demokrat, juga menilai Merpati tidak berfokus menekuni pasar penerbangan perintis. "Saat ini tender di pemerintah daerah saja banyak dikuasai Susi Air," ujar Ferari kepada Angga Sukma dari Tempo, Senin pekan lalu.

Dia menyoroti pencopotan tiga direktur akibat pergolakan di Merpati setelah Rudy menjabat. Menurut dia, manajemen terlalu disibukkan oleh masalah internal sehingga bisnisnya terbengkalai. "Manajemen seharusnya tangguh, " katanya.

Aria bahkan menilai manajemen tak becus sehingga sering berganti rencana bisnis. Akibatnya, PMN tahun 2012 sebesar Rp 200 miliar tidak dicairkan oleh pemerintah. Kala itu, ia menerangkan, DPR bersama pemerintah sepakat menyetujui alokasi PMN berdasarkan business plan yang disusun Jhony. Tapi rencana bisnis berubah begitu Rudy menjabat direktur utama pada Mei tahun lalu. "Karena ada perubahan rencana, harus dijelaskan lebih dulu sebelum dana dikucurkan," ujar Aria.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 disetujui di DPR pada akhir 2011. Namun, sampai Jhony dicopot, PMN tak kunjung turun. Manajemen baru, yang mengganti rencana bisnis, baru bisa mengirimkan proposal revisi kepada Kementerian BUMN pada 28 Desember 2012. Dua hari kemudian, tembusan proposal tiba di Kementerian Keuangan. "Akhirnya, PMN tidak bisa dicairkan," ucap sumber Tempo di Kementerian BUMN.

Toh, Merpati dinilai tetap perlu diselamatkan. Menurut Wahyu, Kementerian Keuangan memberikan pinjaman melalui PPA sebesar Rp 200 miliar pada tahun ini. Sebelumnya, pada 2008, PPA mengucurkan pinjaman Rp 310 miliar untuk Merpati—yang mayoritas untuk pesangon bagi 1.171 karyawan yang dirumahkan.

Direktur Utama PPA Boyke Mukijat menolak menjelaskan rencana bisnis Merpati yang sedang dibahas. "Kami mengkaji rencana bisnis dalam skema restrukturisasi utang Merpati," ucap Boyke kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Untuk memuluskan restrukturisasi, 12 karyawan Merpati sampai berkantor di PPA di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta. "Kami diberi ruang di sana agar komunikasi lancar," kata Rudy.

Wahyu yakin Merpati sebenarnya mampu bertahan walau tanpa suntikan dana dari negara. "Merpati itu bisa untung dari jalur perintis, bukan dari pesawat jet," ujarnya. Wahyu adalah Direktur Utama Merpati periode 1999-2002.

Pada tahun pertama mengurus Merpati, Wahyu menyatakan mampu mengurangi utang sebanyak Rp 600 miliar sehingga tinggal Rp 1,2 triliun. Ia menampik anggapan bahwa kala itu persaingan tak sesengit sekarang. Sebagai Ketua Indonesia National Air Carriers Association, saat itu Wahyu ikut mendorong pertumbuhan maskapai nasional.

Rudy juga yakin bakal dibantu oleh pemerintah. Alasannya, "Utang kami kepada pemerintah. Merpati juga milik pemerintah." Apalagi, kata dia, ketika dipercaya memimpin Merpati, ia diminta berfokus membereskan operasional oleh Menteri Dahlan. "Pak Dahlan bilang utang nanti saja dipikirkan," ujarnya. Makanya saat ini Rudy menggunakan jurus efisiensi untuk bertahan.

Dia mematok target keterisian kursi di seluruh rute 90 persen, sedangkan sekarang masih 82 persen. Saat baru menjabat direktur utama, Rudy mengklaim di beberapa rute hanya terangkut 69 persen penumpang. Rudy menutup 30 dari total 120 rute lantaran dinilai tak menguntungkan dan membatalkan pembelian 40 pesawat jet Comac ARJ 21 buatan Cina. Kontrak pembelian pesawat itu diteken Jhony bersama Menteri Dahlan di Singapore Air Show 2012.

Rudy akan mengganti jet Cina itu dengan sepuluh jet besar Airbus A-320 baru, yang irit bahan bakar US$ 3 sen per kilometer. Pesawat itu akan dibeli dengan pinjaman PPA dan bank setelah laporan keuangan positif. "Pak Menteri tahu persis rencana ini," ucapnya.

Merpati juga membutuhkan 100 pesawat kecil jenis Twin Otter atau Cassa, yang bisa dibuat PT Dirgantara Indonesia seharga US$ 2,5 juta per unit untuk jalur perintis. Rudy menyebutkan pesawat-pesawat itu bisa dimiliki pemerintah daerah dan koperasi udang atau sayuran, tapi Merpati yang mengoperasikannya.

Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus