Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Langka dan Antre Lagi

Penimbunan menyebabkan solar langka di sejumlah daerah. Pembatasan kuota juga tak memperhitungkan kenaikan konsumsi solar.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Truk tangki ukuran tronton itu diam teronggok di depan gudang di ujung Jalan Sawah Besar, Kelurahan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Semarang, Jawa Tengah. Gudang itu mendadak sepi setelah polisi mencokok pemiliknya, Siti Wororini, Selasa pekan lalu. Salah seorang warga mengatakan setiap malam gudang itu dihibuki aktivitas keluar-masuk puluhan truk mengangkut bahan bakar minyak.

Polisi sebelumnya kerap bertandang ke sejumlah gudang milik Suharno, suami Siti, di kawasan tersebut. Namun kunjungan mereka tidak pernah berujung pada penggerebekan. "Mobil polisi sering hilir-mudik," kata seorang warga.

Dalam dokumen perusahaan, bisnis Pipit—panggilan Siti—terafiliasi dengan PT Pontas Anugerah Khatulistiwa, perusahaan perdagangan minyak dan gas serta jasa pengiriman logistik. Perusahaan yang berdiri pada 2007 itu berbisnis perdagangan BBM nonsubsidi. Induk perusahaan beralamat di Menara Rajawali lantai 7 di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam situs perusahaan www.pontas.co.id, Pipit disebut sebagai Kepala Perwakilan PT Pontas di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kendati mengaku berbisnis resmi, Pipit diduga polisi menimbun solar bersubsidi sebanyak 45 ton. Solar bersubsidi itu dijual Rp 9.700-10.000 per liter ke beberapa industri di Jawa Tengah. Salah satunya sebuah perusahaan karoseri kendaraan terbesar di Magelang.

Komisaris Besar Luky Arliansyah, Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Tertentu Bidang Industri dan Perlindungan Konsumen Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, yang memimpin penggerebekan, mengatakan bisnis Pipit diduga sudah berlangsung dua tahun belakangan. "Kami telusuri asal dan ke mana muaranya solar ini," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Saat penggerebekan, satu truk kebetulan tiba di gudang. Truk milik CV Logam Mulia itu berasal dari Batang, Jawa Tengah. Luky menduga Pipit memperoleh solar ilegal dari CV Logam dengan harga Rp 5.900 per liter. Pipit tidak bisa dimintai konfirmasi. Panggilan ke nomor telepon seluler dan telepon rumahnya di Semarang tidak dibalas.

Tempo menelusuri gudang CV Logam Mulia milik Imam Asari—kerap dipanggil Ari—di Dusun Bunderan, Desa Plelen, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu malam pekan lalu. Dusun Bunderan terletak 32 kilometer di timur Kota Batang, berbatasan dengan Kabupaten Kendal.

Lokasi yang diduga tempat Ari menimbun solar berada di lahan seluas 500 meter persegi di tepi jalan raya jalur Pantai Utara, Alas Roban. Tidak ada papan nama perusahaan di lahan yang berisi rumah abu-abu berlantai dua, pos jaga, dan Rumah Makan Lasendha itu. Ada dua truk yang terparkir di dalamnya.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Batang Dewi Wuriyanti mengatakan kepolisian daerah kerap terjun menelisik penimbunan solar di Desa Plelen. "Yang paling baru akhir tahun lalu," katanya.

Ari tersohor sebagai penimbun solar di Desa Plelen. Namun pria 40 tahun itu dikenal licin dan kerap lolos dari jeratan hukum. Menurut Luky, modus Ari menimbun solar dengan cara membeli solar dengan jeriken dan dikumpulkan setiap hari. "Modus ini kerap disebut menerima kencingan," ucapnya.

Djoko Siswanto, Direktur Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengatakan penimbunan solar bersubsidi menjadi penyebab kelangkaan solar di Jawa Tengah. Penimbunan itu makin marak belakangan ini.

Dugaan makin maraknya penimbunan terlihat dari meroketnya konsumsi solar, yang mencapai 3,68 juta kiloliter atau lebih besar lima persen dari kuota kuartal pertama tahun ini. "Konsumsi Premium dan minyak tanah aman, solar yang jebol," katanya. Untuk antisipasi, BPH Migas mengetatkan suplai solar dengan pembatasan volume per hari sejak akhir Maret lalu.

Sejak Maret lalu, berbagai daerah di Jawa Tengah, misalnya, Wonosobo, Tegal, Solo, dan Kebumen, serta Yogyakarta mengalami kelangkaan solar. Antrean truk besar, angkutan umum, dan kendaraan berbahan bakar solar mengular di ratusan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Operator SPBU Kalierang, Wonosobo, Aris Lukman, mengatakan pasokan solar hanya bertahan 10 jam. "Pukul 8 malam diisi, pukul 6 pagi habis," ujarnya. Setelah itu, SPBU kosong dan menunggu pasokan baru.

Kelangkaan solar juga melanda Jawa Timur. Salah satunya di Kabupaten Jember. Antrean panjang terlihat di beberapa SPBU. Kendaraan roda empat jenis truk, bus, mobil travel, dan mobil pribadi mengular. Bahkan beberapa pengemudi harus menginap di SPBU.

Juru bicara Pertamina Pemasaran Jawa Tengah dan Yogyakarta, Heppy Wulansari, punya analisis lain. Kelangkaan disebabkan oleh kuota solar yang diturunkan. Kuota minyak solar di kawasannya diturunkan empat persen dari 1,94 juta kiloliter pada 2012 menjadi 1,87 juta kiloliter pada 2013. Dengan penurunan ini, kelangkaan solar cepat bermunculan di berbagai daerah karena pertumbuhan konsumsi bahan bakar itu mencapai tujuh persen.

General Manager Marketing PT Pertamina Region Pemasaran V Affandi mengatakan pasokan solar untuk Jawa Timur juga dikurangi lima persen. Pada kuartal pertama, konsumsi tidak diketatkan sehingga volume yang terserap melebihi lima persen dari kuota. Khawatir kuota jebol, pengetatan suplai diberlakukan. "Karena kuota solar turun, pengiriman ke setiap SPBU juga diturunkan," katanya.

Djoko menolak jika kuota yang dikurangi disebut sebagai biang kelangkaan solar. Kuota yang ditetapkan telah dihitung dan diyakini mencukupi konsumsi solar masyarakat. "Kalau tidak ada penimbunan pasti cukup," ucapnya. Dengan alasan banyaknya penimbunan, menurut dia, kuota solar tahun ini dikurangi menjadi 15,11 juta kiloliter lebih rendah ketimbang realisasi tahun lalu yang mencapai 15,56 juta kiloliter.

Selisih realisasi solar tahun lalu dengan kuota tahun ini, menurut Djoko, merupakan volume solar yang diduga diselewengkan. "Meskipun ada sejumlah volume yang ditujukan untuk penghematan." Nilai penimbunan solar pada 2012 diduga mencapai Rp 1 triliun.

Djoko mengatakan solar termasuk komoditas yang paling diincar penyelundup. Alasannya, solar merupakan bahan bakar yang banyak dibutuhkan untuk industri, baik buat produksi langsung maupun transportasi untuk mendukung aktivitas industri, seperti truk dan kendaraan besar.

Harga solar untuk industri mencapai Rp 10 ribu per liter. Bedanya sangat besar dengan solar bersubsidi, yang hanya Rp 4.500 per liter. Hal ini membuat penyelundupan terus berlangsung. "Penyelundupan solar lebih besar ketimbang Premium," kata Djoko.

Penyelewengan solar banyak terjadi di kawasan industri pertambangan, seperti Kalimantan. Kelangkaan solar di sana sudah biasa. Misalkan di Kalimantan Barat. Awang, warga Kabupaten Kapuas Hulu, mengatakan kelangkaan solar berlangsung sejak tahun lalu. Padahal tahun lalu kuota solar tidak dibatasi. "Kami sudah terbiasa dengan solar yang kerap tak tersedia di SPBU," ujarnya.

Sutarmidji, Wali Kota Pontianak, menyebutkan kelangkaan solar akibat ulah spekulan. Kelangkaan solar rata-rata terjadi di 21 unit SPBU yang ada di ibu kota Kalimantan Barat itu. Khawatir terjadi kericuhan, pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah mengenai jadwal antre solar.

Masyarakat hanya diberi waktu tertentu untuk membeli solar. Begitu juga dengan truk dan kendaraan besar diberlakukan jam dan SPBU tertentu. Pemberlakuan batasan waktu pengisian membuat masyarakat menyerbu solar eceran, yang rata-rata dibanderol Rp 7.000-8.000 per liter.

Selain disebabkan oleh perbedaan harga yang mencolok antara solar subsidi dan nonsubsidi, penimbunan terjadi karena pengawasan distribusi yang longgar. "Setelah keluar dari depo, kami tidak tahu solar itu sampai ke masyarakat yang berhak atau tidak," ujar Djoko.

Kendati kelangkaan solar menggila, pemerintah masih enggan menyamakan harga solar untuk semua golongan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik justru mengusulkan penerbitan harga solar baru, yakni Rp 6.500-7.000 per liter, untuk kalangan kendaraan roda empat pelat hitam. Harga ini tidak menghapus harga lama, Rp 4.500, yang dikhususkan untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum. Tujuannya untuk mengurangi subsidi BBM yang mencapai Rp 193 triliun.

Kendati sulit, Djoko optimistis pemerintah dapat mengawasi distribusi BBM bersubsidi. Caranya, satu SPBU satu harga BBM bersubsidi. "Tidak akan dicampur," ucapnya. Ia mencontohkan, SPBU yang menjual solar Rp 4.500 tidak boleh melayani kendaraan roda empat pelat hitam. "Hanya boleh melayani sepeda motor dan angkutan umum," katanya.

Sebaliknya, SPBU yang menjual BBM dengan harga lebih mahal boleh melayani kendaraan yang berhak. Adapun kendaraan dinas dan badan usaha milik negara serta truk besar untuk pertambangan, perkebunan, dan kehutanan dilarang mengkonsumsi kedua jenis harga BBM bersubsidi ini. "Mereka hanya boleh menggunakan BBM nonsubsidi," ujar Djoko. Rencana ini diyakini bakal mulus dengan penempatan polisi di setiap SPBU.

Toh, mantan wakil presiden Jusuf Kalla mengkritik rencana tersebut. Pemerintah disarankan menerapkan satu harga. "(Jika harga berbeda) bisa menimbulkan kekacauan," katanya.

Akbar Tri Kurniawan, Bernadette Christina Munthe, Angga Sukma Wijaya, Edi Faisol (Semarang), Dinda Leo Listy (Batang), Aseanti Pahlevi (Pontianak)


KUOTA BBM 2013: 46,01 juta kiloliter terdiri atas:

  • Premium: 29,2 juta kiloliter
  • Solar: 15,11 juta kiloliter
  • Minyak tanah: 1,7 juta kiloliter

    TREN KONSUMSI SOLAR

  • 2010: 13,08 juta kiloliter (kuota) dan 12,86 juta kiloliter (realisasi)
  • 2011: 14,06 juta kiloliter (kuota) dan 14,49 juta kiloliter (realisasi)
  • 2012: 14,90 juta kiloliter (kuota) dan 15,56 juta kiloliter (realisasi)
  • 2013: 15,11 juta kiloliter (kuota) dan 3,68 juta kiloliter (realisasi sampai Maret)

    DISTRIBUTOR BBM:

  • PT Pertamina (Persero): 45,01 juta kiloliter
  • PT AKR Corporindo Tbk: 267.892 kiloliter
  • PT Surya Parna Niaga: 119.150 kiloliter SUMBER: Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, BPH Migas
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus