Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam beberapa pekan terakhir, Gunawan, pemilik toko San Mitra Solusindo Computer di kawasan Glodok, Jakarta Barat, kesulitan mendapatkan pasokan komponen produk elektronik. ¡±Khususnya hardware," katanya kepada Amri Mahbub dari Tempo, Selasa pekan lalu.
Kesulitan serupa dialami mayoritas pedagang komponen produk elektronik di Glodok dan beberapa pusat penjualan barang elektronik lain di Jakarta. Asni, pemilik toko Asni Computer di Mangga Dua, menduga kelangkaan barang ini karena persoalan kurs. Kebanyakan komponen memang harus diimpor.
Dugaan lain: barang tersendat di pelaÂbuhÂÂan. "Masuk jalur merah," ujar Asni. MakÂsudnya, jalur merah di sistem kepabeanan Indonesia. Istilah ini biasa digunakan pedagang bila barang tiba-tiba menghilang, tak ada pasokan, atau Âpasokan Âseret.
Namun Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Finari Manan, menyatakan tidak ada kebijakan pengawasan khusus terhadap komponen ataupun produk elektronika. "Semua berjalan normal berdasarkan tata cara dalam sistem kepabeanan," katanya.
Bea dan Cukai punya tiga kategori pengawasan barang berdasarkan tingkat risiko, yakni jalur kuning, jalur hijau, dan jalur prioritas. Finari menjelaskan empat hal yang bisa menyebabkan barang harus melewati jalur merah. Pertama, rekam jejak importir; kedua, dari aspek komoditas, misalnya bahan peledak; dan ketiga, perusahaan baru sehingga belum memiliki rekam jejak.
Terakhir, jalur merah karena sistem acak. Menurut Finari, Bea dan Cukai menerapkan sistem acak terhadap semua proÂduk impor. Pada mekanisme ini, barang yang berada di jalur hijau bisa "ditarik" ke jalur merah bila kebetulan terkena sistem pemeriksaan acak. Saat ini, 40 persen barang elektronik berada di jalur prioritas, 20-25 persen di jalur merah. Sisanya berada di jalur hijau dan kuning.
Kemungkinan lain yang bisa mempengaruhi arus barang adalah regulasi. Finari menduga kelangkaan komponen produk elektronik saat ini terkait dengan peraturan Menteri Perdagangan yang baru terbit, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83 Tahun 2012 tentang ketentuan impor produk tertentu. Aturan yang mulai berlaku 1 Januari 2013 ini menggantikan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5 Tahun 2010, yang masa berlakunya tiga tahun sampai 31 Desember 2012.
Peraturan itu mengatur tujuh komoditas, yakni makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen makanan, kosmetik, pakaian jadi, elektronika, alas kaki, serta mainan anak. Komponen komputer tergolong komoditas yang diatur dalam peraturan baru ini, dengan kode HS 84.71, termasuk heater dan vacuum cleaner. Finari menjelaskan, produk-produk yang tercantum di dalam lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83 itu harus dilengkapi laporan surveyor. Sebelumnya tidak ada kewajiban itu.
Dengan demikian, bila ada barang masuk tanpa laporan surveyor, Bea-Cukai tidak bisa merilisnya. "Kami ketitipan aturan. Kami harus mengikuti ketentuan." Dalam pelaksanaannya, ujar Finari, Menteri Keuangan menerbitkan surat yang memberikan toleransi hingga 15 Maret 2013. Jadi, barang yang berangkat dari pelabuhÂan asal sebelum 15 Maret masih bisa diterima. Tapi barang tertanggal setelah 15 Maret dari pelabuhan asal harus mengikuti aturan baru.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi tak menampik kemungkinan tersendatnya komponen produk elektronik akibat dampak peraturan baru. Aturan tersebut bertujuan melindungi konsumen dari produk yang tidak jelas, tidak bergaransi, tidak dilengkapi petunjuk manual, atau tidak ada suku cadang. Sederhananya, membendung banjir produk pasar gelap alias black market.
Regulasi ini, Bayu menambahkan, juga untuk mencegah dijadikannya Indonesia cuma sebagai pasar oleh para produsen. Pemerintah belajar dari kasus BlackBerry, yang memilih membangun pabrik di Malaysia ketimbang di Indonesia. Selain itu, untuk mendorong investasi, baik domestik maupun asing. Termasuk mengakomodasi rencana investasi Foxconn, perusahaan pembuat perangkat keras dan perangkat lunak komputer serta komponen produk elektronik asal Taiwan.
Anak usaha Hon Hai Precision Industry ini mengeluhkan lemahnya penegakÂan hukum di Indonesia. Aparat dinilai tidak aktif membasmi penjualan telepon seluler tiruan. "Handset impor ilegal juga banyak ditemukan," ucap seorang eksekutif Foxconn, seperti diberitakan Central News Agency, 3 Januari lalu. Hal itu membuat rencana Foxconn menanamkan modal sebesar US$ 10 miliar (sekitar Rp 94,8 triliun) di Indonesia tak kunjung terwujud.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo