SEORANG buruh wanita dari pabrik obat tradisional di pinggir
jalan raya Surabaya-Mojokerto tak hahis-habisnya mengeluh.
"Sudah sebulan saya tak bisa lembur," katanya.
Nasib buruh pabrik Sinten Nyono itu mungkin lebih baik ketimbang
buruh PT Kembang Bulan Farma yang terletak di dalam Kota
Surabaya. Di sini bukan saja tak ada kesempatan mencari tambahan
berupa lembur, 9 dari 25 buruhnya malah diberhentikan. "Ada
pemecatan. Nanti kalau pabrik jalan lagi akan dipanggil," kata
Ruliyah, 17 tahun. Pengantin baru ini cuma sebulan bekerja di
pabrik itu.
Keadaan itu berlangsung menyusul larangan Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan, Depkes, 16 Januari, terhadap Super
Heporine Capsules yang diduga mengakibatkan 12 bayi cacat
karena ibunya minum obat pelancar haid itu selagi mengandung.
(Setelah larangan terhadap produksi Sinten Nyono itu, 21 Januari
jatuh pula godam larangan untuk 5 macam obat tradisional lainnya
yang mengandung unsur obat-obatan sama. Masing-masing Femisin
Capsules buatan Fimedco Laboratories Ltd, New Hulingkie, New
Hulingkie Syrup, Super Hulingkie Capsules (tiga-tiganya buatan
PT Kembang Bulan Farma) dan Super Ivorine (keluaran
Asiapharco-Laboratories). Semuanya berpusat di Surabaya.
Untuk membuktikan obat-obatan tadi benar-benar berbahaya, Depkes
masih akan melakukan penelitian, termasuk minta bantuan
laboratorium luar negri sebagaimana dikatakan Menkes Suwardjono
Suryaningrat.
Keenam obat tradisional tersebut dilarang diperjualbelikan mulai
dari warung sampai apotik. Sedangkan yang sudah telanjur berada
di pasaran supaya segera ditarik kembali. "Surat keputusan
larangan memang tidak menyebutkan secara jelas kapan batas waktu
penarikan. Pokoknya secepat mungkin," kata R. Bambang Sutrisno,
kepala direktorat pengawasan obat tradisional, Depkes. Namun ia
sendiri mengharapkan dalam waktu 3 bulan sudah selesai.
Untuk mempercepat penarikan sebagaimana diceritakan Bambang
Sutrisno, Depkes tak banyak bisa membantu. Kecuali sedikit
keringanan, berupa disediakannya gudang kantor-kantor wilayah
Depkes di berbagai daerah sebagai tempat penitipan. "Yang di
Aceh misalnya, tak perlu harus dikirim ke pabrik. Bisa
dititipkan di kantor wilayah," ujarnya.
Kesibukan penarikan berjalan sejak awal Februari. Menurut Kepala
Balai Pengawasan Obat dan Makanan Jawa Timur, Drs. Hardoyono
penarikan melalui 2 jalur. "Jalur perusahaan dengan bantuan
grosir dan jalur pemerintah lewat BPOM," urainya.
Namun dalam prakteknya jalur perusahaanlah yang jalannya lebih
lancar. Super Heporine sudah habis tertarik sampai tingkat
grosir pada Januari. Sementara PT Kembang Bulan Farma yang
menalankan operasi penarikan 2 Februari, sampai sekarang sudah
berhasil menarik sekitar 60%. "Sejak 4 Februari kita melakukan
sendiri penarikan dengan sepeda motor. Sekarang sudah hampir
habis dari pasaran," kata Makmur Van, direktur Asiapharco. Buat
perusahaan ini penarikan agak gampallg karena pacaran utamanya
justru Surabaya sendiri.
Sejak awal sudah bisa dinyana Sinten Nyono paling banyak
menderita. Ketika penyegelan dilakukan petugas terhadap
gudangnya di luar Kota Surabaya, di sana masih tertimbul
200.000 kapsul SHC. Belum lagi dihitung bahan baku yang sudah
telanjur ditumpuk.
Masih mujur kelima produsen jamu pelancar haid yang lain. Begitu
tersiar larangan terhadap SHC mereka buru-buru menangguhkan
pesanan bahan baku. Itulah makanya barang-barang mereka yang
terjebak di gudang jauh lebih kecil. Padahal produksi mereka
separuh dari produksi SHC per bulan yang mencapai setengah juta
kapsul.
Omset SHC kapsul saja tiap bulan diperhitungkan sekitar Rp 11
juta. Sedangkan kelima jamu yang lain seluruhnya diperhitungkan
mencapai Rp 20 juta per bulan. Bisnis obat pelancar haid ini
rupanya menjadi tambang yang manis bagi produsen yang bertumpuk
di Surabaya itu. Banyak juga yang mereka nikmati dari seluruh
omset obat tradisional yang diperhitungkan mencapai Rp 10
milyar/tahun.
Penarikan yang tersulit adalah dari tangan pengecer. Di
toko-toko obat yang berjejer di daerah Keputran (Surabaya)
sebagaimana disaksikan wartawan TEMPO M. Baharun dan Slamet
Oerip Prihadi jamu-jamu tadi memang hilang dari pajangan. Tapi
di daerah bilangan Wonokromo masih ada yang mencari obat
pelancar haid terlarang itu. "Pernah satu malam dua orang
ielaki muda di tengah hujan minta 2 bungkus Super Heporine.
Semula saya enggan," kata pedagang bermarga Simatupang. "Tapi
karena dia mau dengan harga Rp 1000 ya saya carikan," sambungnya
kalem. Sebelum dilarang harganya Rp 450/lusin.
Para produsen tampak tak berdaya menghadapi larangan, meskipun
konsumen sendiri yang "menyalahgunakan obat pelancar haid itu
menjadi obat penggugur kehamilan. Mereka menunggu saja hasil
penelitian. Sementara yang masih bisa terjun dalam obat
kebutuhan wanita ini jalan terus. Kembang Bulan Farma misalnya
tetap jalan dengan produksinya yang bernama Hulingkie dalam
bentuk pil. "Lho yang dilarang 'kan hanya yang berbentuk kapsul
dan sirup," kilah J. Yosep pimpinan pabrik jamu itu. Pandai
juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini