Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) resmi dihapus lewat UU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, penghapusan komisi ini akan setidaknya akan melahirkan dampak baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satunya yaitu berpotensi menjauhkan akses informasi, baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah. "Terutama di lokasi yang sulit terjangkau atau tidak ramah akses teknologi dalam menyusun amdal," kata Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, Komisi Penilai Amdal ini diatur dalam Pasal 29 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Komisi ini dibentuk oleh kepala daerah setempat.
Enam unsur ada di dalamnya yaitu dua dari pemerintah, dua dari tim pakar, dan satu wakil masyarakat yang berpotensi terdampak, dan organisasi lingkungan hidup.
Pasal 29 ini yang dihapus oleh Omnibus Law. Sebagai gantinya, ada tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat. Hanya ada tiga unsur yaitu pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat.
Kemarin, pemerintah mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan Omnibus Law. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar mengatakan perubahan ini untuk mengalihkan beban kerja Komisi Penilai Amdal yang overload.
Siti mengatakan bahwa dalam satu tahun, dokumen amdal yang harus dianalisis bisa mencapai sekitar 1.500. Ini yang disebut Siti overload dan membuat proses penyusunannya lama. "Oleh karena itu kami melakukan adjustment," kata dia.
Akan tetapi, komposisi tim uji kelayakan ini dikritik oleh Walhi karena tidak melibatkan unsur masyarakat, yang sebelumnya ada di Komisi Penilai Amdal. Kondisi ini, kata dia, akan menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki. "Berpeluang membuka paritisipasi semu yang manipulatif," kata dia.
Selain itu, Nur Hidayati juga mengatakan proyek yang berdampak pada lingkungan hidup justru terjadi di daerah. Sehingga, beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan mereka sendiri. "Dan laju kerusakan lingkungan hidup," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO