Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – Para operator kapal penyeberangan trayek Pelabuhan Merak (Banten)–Pelabuhan Bakauheni (Lampung) menuntut penundaan larangan pengoperasian kapal berukuran kurang dari 5.000 gross tonnage (GT). Sesuai dengan aturan, kapal dengan ukuran di bawah 5.000 GT harus berlayar di luar trayek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Simak: Hampir Sebulan Kapal Bermuatan Minyak Sawit Belum Ditemukan
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Aminuddin Rifai, mengatakan sebagian operator masih sulit beralih rute. “Sudah survei rute baru dari Sumatera sampai ke Bitung, kapal mereka sulit direlokasi,” ujar dia kepada Tempo, Jumat 1 Februari 2019.
Menurut Aminuddin, ada sedikitnya delapan dari jumlah total 73 kapal yang harus hengkang dari jalur Merak–Bakauheni. Mayoritas kapal berukuran rata-rata 2.000–3.000 GT itu dimiliki perusahaan swasta. Peralihan trayek, kata dia, dikeluhkan lantaran sulitnya mencari dermaga dan alur laut baru yang cocok. “Pemerintah belum berkoordinasi lagi dengan kami untuk menyelesaikan hal ini,” ucap dia.
Larangan memakai kapal berukuran di bawah 5.000 GT tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pengaturan Ukuran Kapal Angkutan Penyeberangan di Lintas Merak–Bakauheni. Pembatasan kapal kecil itu diklaim kementerian sebagai langkah mengatasi derasnya lalu lintas trayek tersebut.
Kementerian mencatat rute Merak–Bakauheni dilewati rata-rata 720 unit kendaraan per jam, atau setara hampir 17.300 unit per hari, dengan kondisi keberangkatan kapal setiap 10 menit. Jumlah itu belum termasuk lonjakan angka permintaan pada periode Lebaran dan masa liburan akhir tahun.
Sosialisasi larangan kapal kecil di rute Merak–Bakauheni itu berlangsung selama empat tahun, sejak penerbitannya. Pemberlakuan efektif, yang direncanakan terjadi pada 24 Desember tahun lalu, ditunda demi melancarkan transportasi pada masa libur Natal 2018 dan tahun baru 2019.
Pengelola operator penyeberangan PT Windu Karsa, Togar Napitupulu, menyoalkan kelengkapan infrastruktur dermaga daerah lain. Salah satu kapal perusahaannya tak dapat diperbaharui menjadi 5.000 GT, sehingga harus berpindah.
“Tak mungkin asal-asalan memilih trayek, karena model bisnis dan penumpangnya berbeda,” ucap dia kepada Tempo. “Trayek alternatif yang ditawarkan pemerintah juga belum sesuai kebutuhan.”
Adapun pengelola PT Trisakti Lautan Mas, Nanang, memanfaatkan aturan baru untuk menjajal trayek penyeberangan lain. Perusahaan berencana memindahkan kapal motor Trimas Laila, berukuran 3.000 GT, dari kawasan padat Selat Sunda menuju rute Padangbai (Bali)–Lembar (Lombok). “Tapi pemindahannya masih diproses.”
Kepala Subdirektorat Angkutan Penyeberangan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Arif Muljanto, mengatakan unitnya sudah menawarkan 14 rute alternatif untuk kapal yang terkena dampak pembatasan ukuran. Pilihan itu tersebar dari kawasan Aceh hingga Papua. “Di jalur-jalur itu demand kendaraan tinggi. Lagi pula ada permintaan dari pemerintah setempat juga,” tutur dia.
Menurut Arif, perubahan rute seharusnya tak menyulitkan pengusaha, karena masa sosialisasi yang panjang. “Kan sudah ada waktu empat tahun, tapi saat injury time begini ternyata ada yang belum siap.”
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, mengatakan lembaganya harus menertibkan jumlah dan jenis kapal alur Merak–Bakauheni. “Sering ada antrean panjang di dermaga karena pelayanan kapal yang tidak sejenis. Yang kecil pun bersandarnya terlalu lama,” ujar Budi.
HENDARTYO HANGGI | YOHANES PASKALIS PAE DALE