ALMARI buku dalam ruangan kerjanya penuh berisi aneka macam
judul. Di atas mejanya terletak sebuah Al Qur'an, Bacaan Mulia,
terjemahan HB Jassin. "Saya mulai belajar Islam ketika umur 50
tahun. Selama Ramadhan lalu saya berpuasa sebulan penuh tanpa
ada yang batal. Sembahyang Ied di mesjid Kwitang, saya merasa
bahagia."
Orang itu, Masagung, kini berusia 51. Dahulu bernama Tjio Wie
Tay. Ia adalah pendiri PT Clunung Agung. Perusahaannya minggu
lalu merayakan usia 25 tahun, tepat pada hari kelahiran (8
September) wiraswasta itu.
PT Gunung Agung dimulai dengan modal dasar Rp 25 juta uang lama.
Di antara 100 pemegang sahamnya terdapat nama-nama bekas Wakil
Presiden Mohammad Hatta, Adinegoro almarhum), Sudiro, Sumanang
SH, Sutan Muhammad Zain, Jusuf Wibisono SH, HB Jassin, Zuber
Usman dan Adisuria (bekas The Kie Hoat), temannya Masagung
ketika perusahaan mereka masih bernama Firma Thay San Kongsie di
Kramat Bunder, Pasar Senen. Dalam masa 25 tahun ia berkembang
menjadi sebuah kelompok Agung Group.
Kelompok ini terdiri atas 9 perusahaan. Selain PT Gunung Agung
yang bergerak di bidang penerbitan dan perdagangan buku,
distributor dan agen tunggal bermacam barang seperti Parker,
rokok Dunhill dan Rothmans, makanan & minuman, alat tulis,
computers Cii Honeywell Bull dan majalah Time --terdapat di
situ PT Ayumas Gunung Agung (money changer), PT Sari Agung
(usaha bersama PT Dep. Store Indonesia Sarinah dan PT Gunung
Agung), PT Inter Delta (perdagangan film Kodak), PT Windusurya
(laboratorium pencucian Kodak), PT Jaya Bali Agung (usaha
bersama PT Pembangunan Jaya dan PT Gunung Agung di bidang
perhotelan dan Pariwisata), PT Jaya Mandarin Agung (dalam
pemilikan Mandarin Hotel), PT Indi Idayu Press (percetakan) dan
CV Ayumas Jakarta (toko buku Kwitang 6). Segera menyusul CV
Dawuh Agung, pabrik rokok kretek cap Kuda Putih Agung di
Semarang, yang dewasa ini baru dalam tahap produksi percobaan.
Selain itu, Masagung pribadi juga memiliki sebuah perusahaan di
Singapura (Ayu Mas Singapore Pte L.td).
Idayu
Bidang non-komersiil pun tak luput dari perhatiannya. Ia adalah
pendiri dan ketua Yayasan Idayu (nama ibu Presiden Sukarno
almarhum) yang bersifat sosial. Katanya: "Pengusaha tak cukup
hanya membayar pajak tapi juga punya kewajiban sosial." Di Idayu
terkumpul penerbitan apa pun yang dikeluarkan di Indonesia sejak
tahun 1945. Bahkan penerbitan luar negeri tentang Indonesia juga
memperkaya koleksi Yayasan Idayu.
Bisnis PT Gunung Agung oleh masyarakat terutama kalangan pelajar
dan mahasiswa identik dengan buku. Obyek perdagangannya yang
utama ialah buku yang banyak dibutuhkan oleh orang banyak. Tapi
seperti halnya perusahaan lain, PT Gunung Agung juga mengalami
pasang surut. Masa jayanya dalam penerbitan buku dialaminya pada
tahun 60-an. Di banyak tempat dibukanya cahang Gunung Agung.
Berbagai pameran buku diadakannya, juga di luar negeri.
"Saya betul-betul sedih dan gembira," katanya pada Yunus Kasim
dari TEMPO. "Sedih karena kini perdagangan buku hanya bagian
kecil dari kegiatan kami." Kegiatan terbesar dialihkannya kepada
non-buku. Ini disebabkan dicabutnya sistim subsidi yang dulu
dinikmati mahasiswa melalui Yayasan Lektur. "Akibat policy
pemerintah itu, PT Gunung Agung terpukul hebat, sekalipun tidak
sampai knock-out," kata Ketua Dewan Komisarisnya, Sudiro. Karena
subsidi bagi buku-buku ilmiah ini dihapuskan, harga buku menjadi
mahal, sukar dijangkau oleh kantong rakyat.
Walaupun buku tidak lagi menjadi bisnisnya yang utama, pengusaha
itu masih menyimpan secuil kegembiraan di bidang penerbitan.
"Saya berbahagia telah berhasil menerbitkan buku Wasiat Bung
Karno, meskipun dilarang beredar," katanya. Gara-gara
menerbitkan buku itu, ia sampai diperiksa oleh Kejaksaan Agung,
tapi dianggapnya itu Sebagai "suatu lehormatan". Juga ia mau
menerbitkan Otobiografi Ny Dewi Sukarno dalam bahasa Inggeris di
luar negeri. Edisi Jepang-nya sudah terbit di Tokyo. Sedang
edisi Indonesia-nya menunggu perkembangan. Ny Dewi berada di
Jakarta menghadiri upacara ulang tahun PT Gunung Agung (lihat
Pokok & Tokob).
Di mana kunci suksesnya Masagung? Pengusaha ini memulai karirnya
dengan menjual rokok ketengan, sebatang demi sebatang dengan
keliling berjalan kaki. Pendidikan resmi yang ditempuhnya hanya
sampai Sekolah Dasar. Itupun tidak tamat. "Saya orang bodoh,
hanya akal saya punya. Majunya usaha kami karena banyaknya
tantangan dan tentangan," katanya.
"Modal bukanlah satu-satunya syarat mutlak untuk menjadi
wiraswasta yang berhasil. Yang penting adalah kemauan keras,
keberanian, cita-cita, kepercayaan pada diri sendiri, dan juga
nama baik."
Baginya tak sukar untuk bersahabat dengan siapa pun. Mulai dari
pelajar, mahasiswa, para cendekiawan, para Menteri sampai
Presiden sekalipun. Dengan Bung Karno dan keluarga maupun para
jandanya ia bersahabat. Dengan Pak Harto dia pun bersahabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini