PERMULAAN pembangunan fisiknya diresmikan oleh Menteri
Perindustrian A.R. Suhud Juni yang lalu. Seyogianya tiga bulan
kemudian, jika Menteri pergi lagi ke sana sesudah Lebaran ini,
diharapkan banyak kemajuan yang bisa dilihat. Tapi nyatanya
tidak.
Menurut laporan Amran Nasution dari TEMPO, ada kesan orang bahwa
pekerjaan di proyek Asahan "agak tersendat" sementara menunggu
hasil perundingan di Tokyo. Umpamanya di Tanjung Gading, tempat
yang disediakan untuk kota baru, beberapa bulldozer saja yang
dikerahkan untuk meratakan tanah. Di lepas pantai Kuala Tanjung,
di mana pelabuhan yang menjorok ke laut sejauh 2,5 km akan
dibangun, satu dari dua kapal keruk saja yang bekerja.
Mesin-mesin seberat 5500 ton sudah tiba di pelabuhan Belawan
tapi masih belum diangkut ke proyek.
Namun, kata seorang pejabat proyek berbangsa Jepang, "pekerjaan
masih sesuai dengan rencana. Semua berjalan lancar." Dia
membantah bahwa ada keterlambatan gara-gara perundingan di
Tokyo, Menteri Suhud telah pergi ke dan kembali dari Tokyo
membicarakan soal biaya proyek Asahan yang oleh pihak Jepang
diperkirakan akan meningkat ke 411 milyar Yen (sekitar $ 2.163
juta) jika hendak diselesaikan seperti rencana semula. Tiga
tahun lalu, biayanya ditaksir 250 milyar Yen ($ 812 juta,
berdasar kurs ketika itu).
Tadinya, Indonesia menyumbang 10% dari keseluruhan modal. Kini
dalam tempo dua tahun Indonesia harus meningkatkan bagian
sahamnya ke 25%. Sisanya dikuasai oleh kelompok modal Jepang,
termasuk badan resmi dan perbankan komersiilnya. Indonesia telah
menyanggupi untuk meningkatkan modalnya, bahkan sudah menyetujui
pula rencana penambahan pinjaman untuk keperluan proyek patungan
ini.
Disesuaikan Lagi
Maka dengan biayanya yang meningkat itu, perusahaan patungan
Indonesia-Jepang ini dimungkinkan untuk meminjam dalam jumlah
lebih besar. Pertimbangan modal-pinjaman dalam persetujuan baru
dirobah menjadi 22,2-77,8 dari yang tadinya 30-70. Sedang
partisipasi Indonesia pun makin lebih besar dalam memikul beban
keuangannya, terutama karena bagian modal Indonesia perlu
ditingkatkan dari 10% ke 25%.
Dengan persetujuan baru itu, proyek Asahan yang mencakup dua
pembangkit tenaga listrik, satu pabrik pengolahan aluminium,
pelabuhan, kota baru dan fasilitas lainnya akan terjamin untuk
dikerjakan terus. Pabrik aluminium itu akan berkapasitas
produksi 225.000 ton setahun pun diharapkan bisa mulai
menghasilkan pada tahun 1984.
Sementara itu di Asahan sendiri banyak orang bertanya-tanya
apakah biaya kontrak konstruksi yang ditutup sebelumnya juga
bisa disesuaikan lagi. Ini erat kaitannya dengan upah buruh.
Kontraktor setempat membayar buruh kasar Rp 700 sehari, tanpa
catu maupun tunjangan lainnya. Tingkat upah itu masih belum
menarik di pasaran tenaga kerja setempat.
Juga dipersoalkan orang bagaimana dengan harga tanah yang
tadinya ditetapkan proyek Rp 80 per meter. Penduduk setempat
sudah membayangkan kemungkinan adanya kenaikan harga ganti rugi.
Dalam bulan-bulan mendatang ini akan banyak tanah yang harus
dibebaskan di sana.
Tapi kenaikan biaya yang sudah disetujui di Tokyo masih belum
tentu otomatis semua harga resmi diiinkan naik di daerah
Asahan. Setidaknya, demikian kesan sementara yang diperoleh
koresponden TEMPO dari percakapan dengan para pejabat proyek
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini