RASA garam masih tetap asin. Tapi, bagi petani di Gresik dan
Madura Jawa Timur, harga garam terasa pahit. Sampai minggu lalu
garam yang dikeruk dari ladang hanya laku Rp 4 sampai Rp 10 tiap
kg. Bahkan di Greges, tambak garam perbatasan Gresik dan
Surabaya yang lokasinya sulit dijangkau truk pengangkut, petani
mengobralnya sampai Rp 3 per kg. "Hasilnya memang melimpah
karena musim panas yang baik," kata Akhadun, petani yang menyewa
tambak seluas satu hektar dengan harga Rp 250.000. "Cuma kami
tidak tahu kapan PN Garam akan membelinya."
Biasanya, kalau harga mulai surut, KUD segera ditugaskan
menyedot garam rakyat itu. "Tapi KUD tidak mungkin menampung
tanpa ada isyarat dari PN Garam," kata Atdhar Rachman, ketua KUD
Kota Garam di Greges Kulon kepada TEMPO. Dan Perum Garam yang
bertugas sebagai penyangga harga agar tidak merosot, juga masih
diam pada puncak panen raya garam yang jatuh pada bulan ini.
"Perum Garam, sebelum membeli, juga harus menunggu instruksi
dari tim stok nasional," kata Alwi Usman, Kepala Humas Perum
Garam kepada TEMPO.
Tim nasional yang terdiri dari berbagai departemen dan lembaga
di Jakarta baru menurunkan perintah pembelian 1 September lalu
lewat surat Direktur Jenderal Aneka Industri. Sebagai langkah
persiapan, Senin lalu Perum Garam meneken kontrak dengan 31 KUD
se-JaTim di Surabaya yang kemudian disusul di daerah lain.
Rencana pembelian lewat 59 KUD "Garam" seluruh Indonesia sebesar
93.700 ton untuk tahap pertama. Harga dasar ditetapkan untuk
kualitas I Rp 25, II Rp 21 dan III Rp 17,50 tiap kg. "Pembelian
tahap berikutnya, tergantung dana yang didrop dari Departemen
Keuangan," kata B. Napitupulu, Direktur Pemasaran Perum Garam.
Nampaknya, walau KUD segera turun ke ladang, petani masih saja
dibayangi kecemasan. Kecuali musim hujan yang sebentar lagi akan
turun dan dana dari pusat yang nampaknya tidak lancar, mereka
juga menyangsikan kemampuan Perum Garam menampung produksi yang
melonjak menjadi 700.000 ton itu. Dari 809.131 ton yang ditimbun
di gudang selama 1977-1982, Perum Garam hanya bisa menjual
136.873 ton untuk konsumsi saja. "Seretnya pemasaran, karena
mutunya sangat rendah," kata Napitupulu.
Kemacetan pemasaran itu kini menjadi beban. Sisa stok 637.908
ton masih tertimbun di gudang sejak 5 tahun terakhir. Sejumlah
gudang stok nasional, misalnya di Madura Barat, Madura Timur,
Gresik, dan daerah Manyar Surabaya yang mempunyai daya tampung
115.000 ton, telah sarat sebelum mulai operasi pembelian.
Tinggal perusahaan swasta seperti PT Gerindo, PT Susanti dan PD
Sumatera yang diharapkan bisa membeli hasil petani garam itu
walau lewat tengkulak. "Tiap hari kami menerima 20-30 ton," kata
Wikong dari PD Sumatera, pabrik yang membikin garam briket cap
Kelinci. "Tidak ada jalan lain," kata seorang petani di Greges
putus asa. "Daripada dimakan hujan, dimakan tengkulak pun jadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini